Doyoung berdiri tidak sabar di atas trotoar menunggu lampu pejalan kaki menyala berwarna hijau. Ia merutuki dirinya sendiri karena telat bangun lima belas menit yang membuatnya telat datang ke kantor jika ia memutuskan memakan sarapannya seperti biasa. Tapi tidak, bagi ini Doyoung hanya makan sepotong roti tawar yang diolesi mentega asal ditambah sedikit gula diatasnya.
Tidak peduli dengan orang-orang di depannya, Doyoung lebih memilih untuk menyela dengan sedikit berlari saat menyebrang. Menjaga keseimbangan roti ditangannya agar tidak jatuh, karena sayang sekali jika sarapannya itu ia sia-siakan. Di kantor nanti kecil kemungkinannya untuk bisa sarapan terlebih dahulu. Ingatlah, pekerjaanmu sudah menumpuk di atas meja.
“Ah sial.” Doyoung akhirnya sampai di pintu lift tapi sayangnya terlambat karena sebelum ia masuk lift sudah penuh dan orang yang terakhir masuk adalah Yara, musuk bebuyutannya yang memberikan dia tatapan mengejek. “Dasar wanita itu!” Geram Doyoung dibuatnya sambil membenarkan posisi kacamata. Dan sekarang ia harus menunggu lift satunya yang sekarang sedang berada di lantai paling atas, akan memakan waktu.
“Ada apa dengan mukamu itu?” Seseorang datang dari arah belakang seakan berbicara pada dirinya.
“Oh s-selamat pagi sunbae...” Ucap Doyoung membukukan tubuhnya memberi hormat kepada sang senior.
“Telat? Lagi?”
“Uh iya...”
“Jangan tunjukkan muka seperti itu padaku, kau terlihat sangat kusut. Kita hanya perlu menunggu lift berikutnya, jangan khawatir. Aku juga telat jika kau sadar.”
Ya benar, seniornya itu datang tak lama setelahnya, itu berarti ia tidak datang terlambat sendirian hari ini.
Daripada berbincang lebih jauh, Doyoung lebih memilih menghabiskan sarapannya yang masih tinggal setengah itu. Seniornya ini benar-benar membuatnya tidak tenang! Doyoung ingin cepat-cepat beranjak dari sana. Ia menatap roti menyedihkan yang ia makan. Sungguh tidak elit sekali sarapannya itu, walaupun ia suka tapi Doyoung juga malu di sebelahnya ini ada si senior tampan.
Alhasil Doyoung cepat-cepat menghabiskan sarapannya sebelum sang senior melihat roti tipisnya itu.
“Bukankah menyenangkan jika sarapan telur mata sapi di Kantin?”
“Uhuk uhuk!” Benar-benar seniornya ini! Doyoung berusaha keras mengunyah roti yang memenuhi mulutnya namun suara sang senior membuatnya tersedak.
“Hei apakah kau tidak apa-apa?”
“Y-ya...” Doyoung menenangkan dirinya, dan sialnya lagi botol air putih miliknya tertinggal di meja kerja, lupa dibawa pulang kemarin.
“Butuh minum?”
“Aku tidak apa—uhuk uhuk!”
Sang senior mencari botol minum yang ia bawa. Saat berhasil mendapatkannya, ia menoleh kembali ke arag Doyoung namun anak itu tidak lagi ada di sana. Mencari ke sekitar, mengerutkan dahi tetapi sosok laki-laki kacamata itu tidak terlihat di manapun.
Sedangkan di sisi lain, Doyoung tengah mengatur napasnya, bersandar di dinding tangga darurat. Ia lari terbirit-birit karena terlalu malu. Jantungnya berdegup kencang. Jarang sekali ia berbicara santai sebanyak itu dengan seniornya. Biasanya hanya masalah pekerjaan, tetapi kejadian pagi ini perlu ia pamerkan kepada Jungwoo. Ia akan memberitahu sahabatnya itu bahwa pagi ini ia nyaris masuk ke ruang kantor bersama seniornya itu.
Dan sekarang yang menjadi masalah adalah, ruang kantornya ada di lantai sebelas, dan ia harus naik tangga untuk sampai di sana. Bisa saja nanti saat di lantai dua atau tiga ia memakai lift, namun tetap waspada oleh keberadaan seniornya.
“Cepat makan itu, atau aku akan menjadikanmu gantungan baju!” Yang bawel itu adalah Jungwoo, sahabat Doyoung. Setelah mengetahui sahabatnya itu belum sarapan, Jungwoo menjadi kesal. Ia tau badan Doyoung hampir mirip dengan setangkai sapu lidi, tapi makannya tetap seperti orang diet.
“Terima kasih kawanku.” Seperti biasa, Doyoung memamerkan senyum kelincinya.
“Jika kau seperti ini lagi lebih baik aku resign saja jadi kawanmu!” Ujar Jungwoo dalam maksud lainnya ia sangat khawatir.
“Ish jahatnya...”
Jungwoo memutar bola matanya malas lalu kembali ke meja kerjanya untuk menyemprot tanaman hias miliknya. Dilihat-lihat dari gerak-gerik Doyoung hari ini, ia terlihat seperti habis menang lotre.
“Ada apa gerangan kawanku? Apakah tokoh utama drama favorit mu itu sudah menyatakan perasaannya?” Ah ya, Doyoung ini adalah seorang drama series addict. Bahkan Jungwoo sudah bosan dan hapal ocehan Doyoung tentang series yang sedang ia tonton.
“Tentu tidak. Coba tebak lagi!”
Jungwoo mencebik. Doyoung tinggal dengan mudah bilang apa yang membuatnya senang hari ini, namun kutu buku itu hobi sekali memberikan kuis atau lebuh tepatnya tebak-tebakan dadakan.
“Apa? Kau dapat sugar daddy tampan?”
“Apa?! Tidak! Jangan samakan aku denganmu!”
“Baiklah aku menyerah. Cepat beritahu aku! Atau akan akan benar merubahmu menjadi gantungan baju.”
“Bagaimana caramu mengubahku menjadi gantungan baju? Apakah kau penyihir paruh waktu? Dimana tongkatmu?”
“CEPAT BERITAHU ATAU AKU AKAN MELEMPAR GUNTING INI.”
“Woah chill bro, kau akan terjerat pasal percobaan pembunuhan.”
Menjadi hiburan tersendiri saat melihat sahabatnya itu kesal. Lucu menurut Doyoung, apalagi melihat Jungwoo mengeluarkan raut wajah seperti itu. “Baiklah-baiklah... Jadi tadi pagi aku telat—”
“Ya aku tahu, cepat ke bagian intinya.”
“Aku hampir masuk bersama Taeil Sunbae. Kebetulan ia juga telat, dan kami bertemu saat hendak masuk lift. Tetapi sayangnya aku malah kabur ke tangga darurat.”
“YAK! KAU BODOH!”
“Mengaca bodoh!”
Untung saja ini sedang jam istirahat, jadi jika mereka ribut sekarang tidak terlalu masalah. Di meja lain orang-orang juga sedang asyik mengobrol dengan rekannya.
“Tapi tak apa, setidaknya aku berhasil mengobrol dengan Taeil sunbae! Setidaknya kau harus bangga dengan temanmu!”
“Lebih baik jika kau benar-benar masuk bersama Taeil sunbae. Jika hanya seperti itu, aku juga bisa melakukannya!”
Tak lama setelah itu, segerombolan orang memasuki kantor dengan pakaian serba rapih. Beberapa atasan termasuk Taeil berjalan memasuki ruang rapat bersama orang-orang tadi.
“Hei shhtt... Siapa mereka? Kau tahu?” Doyoung menghentikan ucapan Jungwoo sesaat.
“Tidak. Mereka semua terlihat seperti Intel—menurutku.” Jungwoo ikut menoleh ke arah yang dimaksud Doyoung. “Tapi sepertinya aku pernah lihat orang yang berjalan paling depan.”
“Iya kan? Aku juga. Apakah kita harus ikut masuk juga?”
“Tidak tahu—”
“Semuanya, masuk ke ruang rapat sekarang. Tolong kabari semua yang diluar kantor juga.” Ucap asisten atasan mereka.
Tentu Doyoung dan Jungwoo juga ikut serta. Tetapi mereka masih penasaran apa yang terjadi dan siapa yang baru saja datang. “Hey bung, siapa yang datang itu?” Tanya Jungwoo.
“Lee Taeyong.”
Sepertinya ada hal serius yang terjadi, sampai-sampai wakil SNI datang kemari. Terakhir saat Jung Jehyuk dan Jung Nahyun gugur di tugas terakhir mereka.
Semua anggota sedang beristirahat. Mereka masih akan melanjutkan rapat mereka setelah setengah jam beristirahat. Lee Taeyong sang wakil pemimpin SNI sedang berdiri menatap keluar jendela. Satu agent nya dinyatakan hilang di luat tugas. Taeyong sangat gusar, apalagi saat mengetahui semua itu ada hubungannya dengan sang kekasih.
Taeyong sempat marah besar tentunya. Pacarnya itu memang sudah naik tingkat, tapi itu bukan berarti bisa semena-mena memberikan tugas. Dan sekarang Na Jaemin dinyatakan hilang, bahkan cip pelacak yang memang ditanam pada semua agent tidak terdeteksi. Kekasihnya menceritakan semuanya. Ia juga tidak memaksa namun menawarkan. Dan dengan entengnya Jaemin menerima tawaran tugas pribadi itu.
Namun ia percaya bahwa agent Na masih hidup. Lelaki itu sangat terlatih dan berpengalaman selama bertahun-tahun. Tetapi tetap saja aja ketakutan di dalam diri Taeyong. Takut jika kecelakaan pasangan Jung akan terjadi pada Na Jaemin.
Kekasihnya menawarkan diri untuk turun tangan guna bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan, namun Taeyong melarangnya dengan alasan masih berbahaya. Orang yang mereka hadapi saat ini pasti sudah bersiaga jika Na Jaemin benar tertangkap. Orang ini tidak main-main. Walaupun Taeyong menganggapnya hanya anak kecil, namun kekasihnya itu memperingati bahwa sang adik ini cukup berbahaya.
Taeyong berbalik, ia hendak pergi untuk merokok. Saat di depan pintu lift, ia bersebalahan dengan seorang pemuda yang memakai kacamata sambil membawa beberapa berkas di dalam kardus. “Perlu bantuan?” Tawar Taeyong.
“Oh? Eh tidak terima kasih.” Jawab Doyoung kikuk.
“Kau yang membantu moderator rapat kan?”
“Iya... Begitulah...”
“Kim Doyoung.”
Doyoung menoleh dengan terkejut saat Lee Taeyong menyebutkan nama serta marganya. “What the... Bagaimana ia tahu namaku?!?” Batin Doyoung dengan sejuta pertanyaan di kepalanya.
“Apakah aku bisa mempercayaimu?” Tembak Taeyong tiba-tiba. Doyoung semakin kebingungan dengan apa yang dimaksud sebenarnya. Kepercayaan? Dalam konteks apa?
“Aku bisa membuat kopi, dengan takaran gula yang pas, semua atasan menyukainya.” Jawab Doyoung. Ia memang terkenal si juru kopi di kantor. Para bos selalu meminta kopi racikannya.
“Kkkk... Bukan itu maksudku..” Taeyong terkekeh dengan kelakuan polos Doyoung. “Aku ingin memberimu tugas. Dan aku ingin mempercayaimu.”
“Tugas?!” Doyoung meletakan kardus yang ia bawa di lantai. “Bisa! Sangat bisa! Kau bisa mempercayaiku.” Senyumnya merekah, Doyoung benar-benar bersemangat.
Taeyong mengeluarkan handphone miliknya, lalu melakukan sesuatu yang Doyoung tidak tahu sama sekali. “Coba lihat handphone-mu, apakah sudah masuk?”
Doyoung merasakan getaran di saku celana, buru-buru mengeluarkan benda pipih itu. “Ini...dibuka?” Tanya Doyoung.
“Silahkan. Itu tugasmu, Kim.”
Di sana terdapat dokumen berisi biodata seseorang. Doyoung benar-benar tidak mengenal orang di foto itu, dan membuang perhatian kepada Taeyong, “em... Ini apa?”
Pintu lift terbuka, mereka berdua masuk bersama-sama. Taeyong membantu Doyoung memasukkan kardus bawaannya saat lelaki berkacamata itu masih memegang handphone-nya.
“Maafkan aku.”
“Coba lihat dulu itu, kau akan membutuhkannya.”
“Ini...tugas? Apa maksudnya?”
“Itu adalah orang yang diduga menculik agent Na.”
“Mukanya tampak tidak asing.” Ujar Doyoung dengan suara sekecil-kecilnya, namhn Taeyong masih bisa mendengar itu.
“Adik Jung Jaehyun.”
Doyoung membolakan matanya, terkejut dengan apa yang ia dengar sekaligus memproses informasi yang tertulis. “Ini cukup rumit. Memang awalnya bukan tugas langsung yang wajib, ini masalah pribadi. Namun aku tidak mau kejadian waktu itu terjadi lagi. Agent Na harus kembali, kita harus mencarinya. Aku sudah menganggap Jaemin seperti adik sendiri, aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.”
Doyoung bisa mendengar sebuah ketulusan di sana. Mata Taeyong memberitahu semua kebenarannya. “Bahkan saat kau belum bekerja disini, SNI dan NFI sudah berkeja sama. Aku sangat mempercayai kalian.”
“Tapi...kenapa harus aku?”
“Apakah kau tidak bosan hanya membuat kopi untuk atasanmu? Turunlah sesekali ke lapangan.”
“Bukan itu. Maksudku, bagaimana jika aku menghianatimu? Aku bisa saja orang jahat yang sedang menyamar. Aku bisa saja membawa semua berkas ini kabur.”
Pintu lift terbuka, menunjukkan angka 11. Doyoung sudah sampai di tujuan akhir lift nya.
“Kau harus bekerja sama dengan Moon Taeil.”
“T-tapi aku hanyalah—”
“Cepat, pintu lift akan tertutup lagi. Aku akan berada di rooftop.” Taeyong mendorong pelan Doyoung keluar dari lift, meninggalkan lelaki jangkung itu dengan tugas penting mendadak.
“Aish! Apa yang aku harus lakukan?” Panik. Panik. Panik!
Ini adalah tugas yang cukup berat untuk Neo Federal Investigation. Mereka diberi tugas langsung oleh Lee Taeyong guna membantu mencari keberadaan agent mereka, Na Jaemin. Seluruh tim dikerahkan, tugas sudah dibagi masing-masing.
“Moon Taeil, kau harus mencari rekan.”
“Tapi aku terbiasa bekerja sendiri.”
“Hyung, kau tahu ini bukan masalah sepele. Bisa saja kecelakaan itu terjadi lagi. Jaemin sangat terancam. Orang ini tidak main-main. Walaupun aku belum yakin bahwa dia adalah dalang semua ini. Mungkin saja ada sesuatu yang lebib besar?” Ujar Taeyong.
“Dia hanya bocah yang baru melalui masa pubertas.”
“Moon, jangan memandang dia rendah. Ini semua masih perkiraan. Zero adalah bulannya, dia bumi, dan ada kemungkinan ada matahari yang belum diketahui. Kau ingat kasus waktu itu kan? Anak itu benar-benar dipenuhi dendam.”
Taeil menemukan ada benarnya juga dengan apa yang dikatakan Taeyong. Sesuatu yang terlihat kecil dan dianggap sepele malah membuat celaka—sampai melahirkan dendam besar ini. Mereka harus belajar dari pengalaman.
“Huft... Baiklah. Tapi siapa yang harus aku pilih? Kau punya rekomendasi?”
“Hei, ini kantormu, mengapa bertanya?”
Taeil melihat sekitarnya. Para anggota sedang sibuk dengan pekerjaan mereka. “Bagaimana dengan Jungwoo?”
“Kau gila?! Pekerjaannya sudah seperti gunung mau kau bebankan lagi dengan menjadi rekanmu?” Omel Taeyong.
Dalam lubuk hati terdalamnya Taeyong berharap Taeil akan memilih Doyoung, walaupun ia tidak yakin seratus persen. Dengan itu, Taeyong akhirnya berdiri dari kursinya, “perhatian semuanya.” Semua mata tertuju pada satu orang yang sama, mereka semua menunggu kelanjutan ucapan Taeyong, “beberapa dari kalian masih kosong pekerjaan, yang berkehendak menjadi rekan Taeil tolong angkat tangan.”
Mereka semua tahu bahwa Taeil ditugaskan untuk melacak. Dan semuanya tahu bahwa itu bukanlah tugas yang mudah. Namun karena itu Taeil, beberapa orang mengangkat tangannya—termasuk seorang wanita yang berdiri di dekat monitor, Yara. “Saya bersedia pak!” Ujarnya lantang percaya diri.
Taeyong memberikan isyarat pada Doyoung yang berdiri di ujung ruangan. Ingat perkataannya bahwa Doyoung harus sebisa mungkin berkerja sama dengan Taeil. Ia bisa saja memilih langsung, namun ini cukup menyenangkan. Bagaimana jika seorang anggota yang benar-benar jarang terlihat keberadaannya tiba-tiba terlibat karakter utama dalam tugas besar, dan Doyoung benar-benar melakukannya. Ia mengangkat tangan.
Awalnya Taeil agak bingung, dan tidak berekspetasi Taeyong akan melakukan hak yang tadi. Namun melihat laki-laki yang berdiri cukup terhalang oleh orang-orang dalam ruangan, namun pandangan Taeil langsung terpaku ke sana.
“Aku akan pergi dengannya, Kim Doyoung.” Senyum kecil merekah di bibirnya, walaupun ia sedikit khawatir membawa Doyoung ke dalam misi utamanya.
Dan begitulah Taeyong percaya dengan Doyoung. Ia sangat yakin bahwa dirinya dan Doyoung pernah bertemu waktu itu, namun sepertinya Doyoung tidak mengingatnya. Taeyeon ingat saat Doyoung hendak melamar pekerjaan, penampilannya agak sedikit berbeda tapi Taeyong yakin seyakin-yakinnya bahwa itu si kacamata, Kim Doyoung. Mulai dari situ Taeyong mencari tahu, dan memberikan tugas pertama Doyoung.
Tugas ini membuat Doyoung harus meninggalkan rumahnya selama beberapa hari. Ikan-ikan peliharanya sudah ia titipkan ke tetangga terdekat, lalu ia pergi dengan membawa beberapa pakaian bersama Taeil. Keduanya akan menempuh perjalanan cukup jauh keluar Kota, naik mobil yang sekarang sedang Taeil kendarai.
“Doyoung, kau tidak tidur?”
“Aku tidak mau meninggalkan sunbae menyetir sendirian.”
Taeil tersenyum kecil manis, ia menyetir dengan satu tangannya secara santai, “baiklah, lagipula sebentar lagi kita akan sampai ke penginapan.”
Mendengar itu Doyoung sedikit tersipu—jangan memikirkan yang tidak-tidak dasar Kim mesum Doyoung!
Ia merutuki pikirannya sendiri.
Mereka berdua akan memiliki kamar masing-masing, Doyoung yakin itu. Sangat yakin! Yang ia perlu hanyalah tetap berpikir positif.
Mereka sampai di sebuah motel pinggir kota, Taeil langsung memarkirkan mobilnya di sana. Keduanya keluar sambil membawa barang masing-masing, memasuki motel dengan lampu merah yang menerangi tulisan tempat itu.
“Permisi, aku ingin memesan dua kamar—”
“Kamar di motel kami tinggal satu.” Ucap sang penjaga memotong omongan Taeil dengan muka menyebalkan yang minta ditinju itu. Taeil yakin mengapa motel ini diberi bintang tiga karena resepsionis mereka sangat tidak ramah.
“B-baiklah aku akan ambil yang itu.” Taeil memberikan sejumlah uang yang diterima tidak bersahabat oleh sang resepsionis menyebalkan, dan ia diberikan kunci kamar bomor 17.
“Ayo.” Taeil mengajak Doyoung yang sedaru tadi menunggu sambil melihat-lihat majalah tua yang sepertinya tidak pernah diganti di ruang tunggu tamu.
“Kunci kamarku?”
“Tidak ada, kita sekamar.”
“Apa?!”
“Shhtt jangan kencang-kencang!” Dengan cepat Taeil membekap mulut Doyoung. “Mereka hanya punya satu kamar yang kosong.”
Doyoung awalnya tidak percaya karena mobil yang terparkir di depan motel tidak banyak jadi tidak mungkin kamar penuh. Ingin bertanya kepada sang resepsionis, namun ia mengurungkan niatnya karena melihat muka yang membuatnya malas itu. Doyoung lebih memilih untuk tidak protes dan mengiyakan perkataan Taeil.
Tak lama setelah itu ada tamu lain yang datang ke motel. Ia meminta dua kamar, namun lagi-lagi sang resepsionis mengatakan bahwa mereka hanya memiliki satu kamar. Sepertinya resepsionis ini memang menyebalkan. Setiap orang yang datang hanya diperbolehkan memesan satu kamar(?) Apakah motel ini selalu mengatakan hal itu??
Doyoung benar-benar akan menyumpahi sang resepsionis sialan itu karena satu kamar hanya diberikan satu ranjang. “OH TUHAN. YANG BENAR SAJA!!” Semua kecemasan Doyoung serta rasa gugupnya mulai muncul saat mereka masuk. Taeil tampak tidak terlalu mempermasalahkan, lain hal dengan Doyoung yang berusaha menarik pikirannya yang kemana-mana itu kembali ke dunia.
“Sunbae a-aku akan bersih-bersih dulu.” Dengan cepat Doyoung masuk ke dalam kamar mandi. Ia memandang pantulan dirinya di cermin. Rasa ke khawatiran nya bertambah besar.
Doyoung memiliki rahasia yang hanya diketahui Jungwoo dan beberapa orang terdekatnya. Ia sangat khawatir jika sisi lain dari dirinya kambuh kembali di keadaan seperti itu.
Doyoung memiliki Alter Ego.
Ya ia baru menyadari itu saat Jungwoo menceritakan bahwa Doyoung berperilaku aneh setiap pulang malam dari kantor (pada saat itu). Ia pergi ke psikiater dan melakukan beberapa tes uji coba, dan benar saja semua itu terjadi.
Awalnya Doyoung tidak percaya, namun ia pernah terbangun dari tidurnya dengan keadaan kamar panuh bau alkohol yang padahal bukan kebiasaan nya.
Doyoung berusaha tenang, ia tidak akan membiarkan alter ego menguasai dirinya hari ini. Ia akan satu ruangan bersama Taeil semalaman, ia tidak ingin alter ego nya melakukan hal yang tidak-tidak.
Setelah tenang, Doyoung mencuci tangan dan kaki, gosok gigi dan yang terakhir mencuci muka. Saat air mengalir di wastafel itu membasahi mukanya, Doyoung seketika berhenti. Mengangkat kepalanya, melihat ke arah kaca lalu senyum miriknya perlahan mengembang. Rasa kekhawatiran itu kini sudah berwujud.
Taeil merapihkan berkas-berkas yang ia bawa, berkutat dengan laptopnya sambil mengingat kembali apa-apa saja yang harus ia gabungkan dalam satu file.
Matanya tak sengaja melihat ke arah ransel Doyoung yang terbuka. Ia melihat suatu benda berbulu pink dengan telinga panjang terduduk tenang di dalam sana. Taeil mengangkat boneka kelinci pink itu, ia menaikkan sudut bibirnya karena ternyata Doyoung tidak membuang boneka pemberiannya.
Tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Doyoung yang awalnya memakai kacamata dengan kaus biasa, kini mengelap rambutnya dan kaus hitam tak berlengan membalut tubuhnya.
“Kim.”
Doyoung berjalan menyusuri tembok kamar. “Aku pernah melihat di film-film, banyak motel yang terdapat ruang tersembunyi untuk mengintip.” Doyoung menatap ke langit-langit, “atap,” ke samping, “dinding,” dan meja rias, “bahkan mungkin ini cermin dua sisi.” Ingin sekali Doyoung meninju kaca tersebut untuk mengecek keasliannya.
Taeil bangkit dari ranjang, berjalan ke arah Doyoung dan memeluk tubuh ramping itu dari belakang. “Jangan terlalu banyak menonton film seperti iti. Apakah ini benar-benar kau, Kim?” Tanya Taeil tepat di kuping Doyoung.
“Hm, Kim Doyoung sedang lelah sekarang, ia sudah tertidur.” Pandangan tajam dari mata sipit itu tak terelakkan. Perlu kau ketahui bahwa Doyoung yang kau hadapi untuk saat ini bukan Kim Doyoung si pembuat kopi melainkan Doyoung Kim si pembantai. Oh Taeil sangat menyukai bagian ini.
“Aku juga akan membersihkan diri dulu.” Taeil mengecup sekilas leher Doyoung lalu pergi meninggalkan pemuda itu yang masih berdiri di depan kaca, menatap curiga.
Doyoung berada di atas ranjang, sambil memakan potato chips sambil mencari cara untuk membantu Taeil dalam melacak keberadaan Jeno. Ia sedang mencari tahu mengapa cip Jaemin tiba-tiba mati. Bahkan jikapun seorang agent sudah tidak bernyawa, cip itu akan tetap menyala.
“Hmmhh...” Doyoung melenguh pelan kala Taeil naik ke tempat tidur dan langsung memasukkan tangan ke dalam kausnya untuk mengusap punggungnya.
“Apa yang kau dapatkan, sayang?”
“Belum ada. Kau ada ide?”
“Aku benar-benar tidak tahu siapa yang menculik Jaemin. Namun Taeyong mengatakan bahwa ini adalah campur tangan urusan pribadi?” Taeil semakin menempelkan tubuhnya dengan Doyoung, dan mulai menggerayangi tubuh Doyoung yang kebetulan sedang posisi terlungkup itu. Taeil menyingkap kaus hitam itu, mengecup pinggang hingga punggung bagian atas Doyoung.
“SNI juga terlibat, ini semua masalah dendam lama yang muncul kembali ke permukaan.” Ia lebih memilih menutup laptopnya dan mengubah posisinya menjadi terlentang menghadap Taeil yang ada di atasnya.
“Sudah lama sekali, Kim.”
“Kau sangat sibuk akhir-akhir ini.”
“Kau bisa menemuiku pada siang hari.”
“Hm, tapi Kim Doyoung sangat aktif pada waktu-waktu itu. Namun aku bisa kembali menguasainya pada saat malam hari.”
“Senang, hm?”
“Bisakah kita lanjutkan pekerjaan besok saja?”
“Tentu sayang, aku juga merindukanmu.” Taeil menurunkan kepalanya hingga tidak ada jarak lagi antara Doyoung dan dirinya. Bibir mereka berdua saling melumat, pangutan panas benar-benar tak terelakkan.
Singkat cerita, alter ego Doyoung dan Taeil memang memiliki suatu hubungan yang Doyoung sendiri tidak ketahui. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu berdua pada malan hari, dan akan kembali normal seakan tak terjadi apa-apa saat siang hari. Pertama kali Taeil mengetahui bahwa Doyoung berkepribadian ganda saat keduanya tak sengaja terjebak di malam lembur pada saat itu. Intinya, Taeil langsung menyadari saat keesokan harinya Doyoung tidak mengingat hal yang terjadi di malam sebelumnya.
Tanpa sepengetahuan Doyoung mereka menjalin hubungan. Yang Taeil tidak tahu adalah, bahwa Doyoung di siang hari juga menyukainya. Entah Taeil tidak peka atau ia tidak mau merusak Doyoung siang hari yang polos. Taeil sadar bahwa dirinya ini menjadi mesum saat di dekat Doyoung. Sebisa mungkin ia menjaga jarak saat di kantor, hubungan yang ia jalani dengan alter ego Doyoung ini lebih banyak ke hubungan intim. Ia tetap menikmati waktunya bersama alter ego Doyoung yang sangat berbanding terbalik, bisa dibilang sangat binal.
Apa yang akan Doyoung siang hari lakukan jika ia mengetahui bahwa dirinya sudah tidak perjaka lagi? Dirinya pada malam hari sudah berkali-kali melakukan hubungan intim dengan Taeil.
Doyoung siang hari yang malang.
Cumbuan Taeil turun ke leher jenjang Doyoung, ia menghirup aroma tubuh Doyoung yang sangat memabukkan. Masih tertinggal bau bayi dari Doyoung siang hari, ditambah erangan-erangan nikmat membuat libido Taeil semakin naik.
“Sayang...”
“Sekarang nghhh...”
Taeil turun memilin puting Doyoung dari luar kain. Ia mengecup serta memberikan jilatan tepat di atas tonjolan yang mencuat itu.
Doyoung membuka celananya dengan ribut karena tangannya sibuk menggerayangi tubuh Taeil juga. Dilanjutkan dengan menggesekkan kejantanannya yang kini hanya terbalut dalaman dengan Taeil yang masih menggunakan pakaian lengkap.
“Jika kita melakukannya disini, Kim Doyoung akan mengetahuinya besok pagi. Apakah kau sudah rela.”
“Anghh... Kau akan berhubungan juga denga dia?”
“Entahlah. Kim Doyoung tetaplah Kim Doyoung, kalau kau tahu. Kalian hanya memiliki sifat berbeda di dalam tubuh yang sama. Bagaimana menurutmu?”
“Kau akan memiliki dua pacar kalau begitu.”
“Siang hari aku akan memiliki Doyoung yang manis, lalu di malam hari aku bisa bermain dengan Doyoung yang seksi.” Senyum miriknya merekah, Taeil menekankan pada kata terakhirnya itu sambil meremas kuat bokong Doyoung.
“Ya kau berperilaku manis kepadaku selama ini. Walaupun aku tidak rela, tapi aku dan Doyoung memang orang sama.” Alter ego Doyoung memang membenci Doyoung siang hari. Namun sejak bertemu Taeil, kedua alter ego tersebut semakin mendekatkan diri. Selain Taeil yang memang selalu memperlakukannya dengan baik, tak ada salahnya. Jika mereka menikah nanti pun, Doyoung siang hari maupun sang alter ego harus berdamai. Mereka akan memiliki suami yang sama tentunya.
Dua jari Taeil menekan bibir manis itu untuk meminta akses masuk. Mengerti isyarat Taeil, dengan cekatan Doyoung menghisap jari tangan Taeil guna meninggal saliva di sana. Tatapan menggoda Doyoung tak terelakkan. Taeil mendesis melihat wajah seksi Doyoung, membayangkan penisnya lah yang dihisap oleh mulut itu. Taeil bisa merasakan area kemaluannya sangat sesak.
Doyoung merubah posisinya menjadi duduk sambil melebarkan pahanya, mengangkang. Bagaikan mempersembahkan tubuhnya untuk sang kekasih, alter ego Doyoung ini benar-benar liar! Lihat bagaimana cara ia menggoda lawan mainnya dengan tubuhnya. Untuk Taeil, sasaran empuk sudah ada di depan mata.
“Ahhh yeah disanahhh... Hhhh... menikahlah denganku, Moon Taeil.” Ucap Doyoung di sela-sela desahannya.
“Bagaimana dengan Kim Doyoung?”
“Beritahu dia semuanya. Besok—mhhh... Terushhhh ahh...!”
“Aku akan memasukkannya.”
Pagi harinya Doyoung terbangun karena cahaya matahari yang tanpa permisi masuk ke dalam kamar motel. Doyoung terbaring di bahu Taeil, keduanya sama sekali tidak menggunakan pakaian bekas kegiatan panas mereka tadi malam.
Melihat keadaan yang asing dan terasa tidak etis ini, Doyoung langsung melompat menjauhkan tubuhnya dari Taeil yang ikut terbangun tepat setelah tidurnya terusik.
Matanya terbuka lebar, “s-sunbae... Apa yang terjadi.” Taeil masih mengumpulkan nyawa sedangkan Doyoung berusaha menutupi tubuh bugilnya dan duduk di ujung ranjang dengan keadaan yang masih anat terkejut.
“Kita melakukan seks tadi malam.” Ucap Taeil entengnya seperti tidak ada dosa di mata Doyoung.
“A-apa maksudmu? JANGAN BERCANDA!”
Taeil mendekatkan tubuhnya, membenamkan wajahnya di leher Doyoung, “ya pasti kau tidak ingat karena itu alter egomu.”
Mendengar itu Doyoung semakin membolakan matanya. Bagaimana hal ini bisa terjadi padanya? Sejuta pertanyaan muncul seakan menjadi sarapannya pagi ini. Apalagi perlakuan Taeil yang memang Doyoung ketahui mereka hanya sebatas rekan kerja, senior dan junior. Dan sekarang Taeil terlihat sangat manja padanya.
“Doyoung-ah apa yang kau lakukan??” Taeil menahan tangan Doyoung yang memukul-mukul wajah serta kepalanya sendiri.
Doyoung ingin memastikan apakah semua ini hanya mimpi atau bukan. Tetapi semua itu terjawab kala ia bisa merasakan nyeri di bagian bokongnya.
“Biarkan aku menjelaskannya dulu.”
Doyoung memakai hoodie dan tak lupa kacamata keluar dari motel untuk mencari sarapan. Ia tidak pergi dengan Taeil karena Doyoung baru saja memberikan berkas-berkas soal Lee Jeno. Doyoung meminta agar Taeil membaca informasi tentang Jeno daripada ikut ke supermarket dengannya.
Jujur Doyoung maaih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengetahui bahwa dirinya sebenarnya berpacaran dengan seniornya sejak lama, walaupun itu adalah alter egonya. Pipinya kembali memanas kala membayangkan bagaimana dirinya menghabiskan malam yang panas bersama Taeil. Doyoung tidak mengingatnya, ia hanya bisa berimajinasi. Sepertinya ia harus melakukannya sebelum alter egonya kembali menguasai. Ayolah, Doyoung juga penasaran!
Setelah selesai membeli makanan untuk sarapan, Doyoung keluar dari supermarket yang terletak tak jauh dari motel.
Saat berjalan santai ingin kembali, Doyoung melihat sebuah mobil sedan mewah terparkir di depan toko perhiasan. Doyoung bersembunyi di balik dinding sambil mencatat plat mobil tersebut dalam kepalanya.
Mengapa Doyoung bisa mencurigai? Karena ia melihat Sungchan, yang diyakini sebagai salah satu anak buah Jeno. Doyoung yakin itu adalah Sungchan. Dari postur tubuhnya, lebih tinggi darinya, itu adalah Sungchan.
Doyoung mengambil sebuah kertas yang dibuang sembarang di jalan. Ia akan berpura-pura sedang memasukkan surat ke dalam kotak surat yang terletak di belakang mobil tersebut.
Kemudian diam-diam Doyoung memasang alat pelacak di mobil tersebut yang kemungkinan besar bisa menuntunnya ke kediaman Lee jeno.
Setelah melakukan aksinya, Doyoung kembali bersembunyi, menunggu orang-orang yang ada di dalam sana keluar. Sungchan masuk ke dalam mobil dengan beberapa bodyguard yang menemaninya. Orang-orang tersebut berpakaian serba hitam seperti ingin pergi ke pemakaman. Namun postur tubuh mereka sangat besar membuat Doyoung takut juga.
“Enghhpp—” hampir saja Doyoung teriak namun dengan cepat Taeil yang memakai hoodie abu-abu membekap mulutnya.
“Shht...”
“Apa yang sunbae lakukan disini?!”
“Aku mengikutimu.”
“Aku sudah memberikanmu data-data Lee Jeno, aku sudah bilang—”
“Ish iya iya... Ada yang masih ingin aku tanyakan. Sudah selesai kan? Ayo kembali.”
Doyoung agak terkejut saat Taeil mengganggam tangannya agar mereka jalan bersama kembali ke Motel. Doyoung menatap tangan dan sang seniornya itu. Ia masih tidak percaya bahwa ia sudah menjadi pacar Moon Taeil tanpa sadar. Terimakasih kepada alter ego seksinya itu.
“Dari mana kau mendapatkan data-data Lee Jeno ini?” Tanya Taeil penasaran.
“Lee Taeyong.”
“Huh? Bagaimana—”
“Aku juga tidak tahu sunbae, tapi ia berkata bahwa ia mempercayaiku, dan aku harus bekerja sama denganmu.” Setelah mendengar itu, Taeil menatap Doyoung agak curiga.
“Aku tidak mendapatkannya secara ilegal! Percayalah, ia benar-benar mengatakan itu padaku! Aku juga tidak tahu mengapa harus aku.” Doyoung mengembungkan pipinya membuat bibir miliknya berbentuk pout.
“Ya dia percaya denganmu karena kamu Kim Doyoung. Taeyong selalu tahu mana saja jalan yang harus ia ambil dan kepada siapa ia harus percaya. Taeyong pasti sudah memikirkannya, jangan khawatir.” Ucap Taeil sambil mengusak rambut Doyoung.
Doyoung melihat ke arah ponselnya. Sebuah titik berwarna hijau berjalan menyusuri jalanan. Itu adalah alat pelacak yang Doyoung letakan di mobil Sungchan. Benda itu masih bergerak tanda mobil masih berada di perjalanan.
“Aku tidak yakin, namun aku memiliki firasat yang sensitif.” Kata Doyoung menjelaskan semua apa yang ia rasakan. “Lee Jeno ini sudah terhalang dendam. Ia hanya ada di jalam yang salah namun pasti akan sulit membawanya kembali.
Di lain sisi, Na Jaemin terduduk lemah bersandar di samping kasur dengan tangan yang dibaluti perban berdarah.
“Cip Na Jaemin mati, hanya satu persen kemungkinannya jika tidak ada campur tangan orang lain. Seseorang pasti sengaja mengambilnya dan merusaknya.”
“Tapi cip itu tertanam?”
“Letaknya sangat mudah—di sekitar lengan. Namun hanya seseorang yang paham betul soal SNI akan melakukannya.”
Tubuh Jaemin semakin mengurus, bahkan ruangan yang ia tempati saat ini tidak memiliki jendela. Hanya ada satu pintu akses dan itu terkunci dari luar.
Kepalanya pening, semua tubuhnya sakit, rasa nyeri menjalar dimana-mana. Jaemin memang agent terlatih, tapi entah apa yang Jeno berikan sampai-sampai lelaki bermarga Na ini menjadi sangat lemah.
Pintu itu terbuka, Jaemin tidak mampu menoleh ke arah itu. Tubuhnya seketika meremang, mendengar langkah sepatu yang familiar berjalan perlahan ke arahnya.
“Semenjak orang tuanya tidak ada, Jeno mulai melakukan hal-hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Ia memiliki...ah tidak bisa kuceritakan lisan. Yang pastinya membangun suatu fetish aneh. Aneh menurutku.
Suara ikat pinggang menyapa telingannya, pergelangan tangannya yang mssih berbekas kemerahan kembali menjadi korban. Diangkatnya tubuh Jaemin kembali naik ke atas ranjang. Na tidak bisa melawan karena tubuhnya terlalu lemah, ditambah kurang asupan energi. Pasrah adalah satu-satunya yang akan ia lakukan sekarang.
“Kau tidak memakan sarapanmu lagi ya? Apa kau tidak lihat tubuhmu yang berubah drastis?” Ucap Jeno mengulum daun telinga Jaemin. “Aku tidak memasukkan apapun di sana. Bukankah kau butuh energi untuk melawanku? Atau setidaknya kau bisa melawan selama kita bermain itu akan lebih menyenangkan.
Doyoung melihat ke arah handphone nya, titik hijau itu berhenti di sebuah koordinat yang ia yakini adalah tujuan mobil Sungchan. Belum tentu itu kediaman Jeno namun tetap harus diperiksa. “Aku bertaruh Na Jaemin masih hidup, ia dijadikan sandera untuk memancing kita. Kau ingat tujuan utamanya berada dalam semua ini kan?”
Bola matanya terbuka lebar, “AKHHH!” Jaemin menjerit kala satu cambukan mendarat tepat di pipi bokongnya. Bagian itu muaki digerayangi lagi, dua jari sudah menyapa dinding rektumnya.
“Aku tidak melakukan sandera manapun sejauh ini. Kau kuat bisa bertahan sampai saat ini. Anggap dirimu spesial, begitu juga dengan aku.”
Titik hijau di layar handphone nya menghilang. Doyoung langsung panik takut alatnya tidak berfungsi. Namun sepertinya ia baru saja ketahuan. Alat pelacaknya itu sudah dimatikan, dalam kata lain ada yang mengambilnya. “Sunbae... Kita harus mengabari kantor pusat—ah tidak, Lee Taeyong dahulu.”
“Orang-orang itu sudah mulai bergerak rupanya, aku tidak sabar.” Ucap Jeno seduktif di telinga Jaemin. “Bagaimana menurutmu, apakah aku harus bertindak lebuh dulu atau tetap menunggu mereka?”
Jaemin sudah sulit berpikir jernih. Ia harus menjawab senua pertanyaan sialan itu atau ia akan menerima konsekuensinya. Bahkan mesin yang pernah memperkosanya sudah mulai berbunyi tanda Jeno menghidupkannya.
“Welcome back to the game.”
[ Fin. ]
©novadelue_2021🍿