novadelue

Markhyuck in Miami Beach

Haechan melempar kecil hp nya ke space kasur sebelahnya, ia menatap langit-langit kamar hotel dengan bosan. Sudah pukul setengah sembilan malam dan rasanya sangat sulit untuk tertidur padahal besok NCT 127 masih ada jadwal.

Ya, mereka sekarang tengah menginap di salah satu hotel dekat pantai Miami. Haechan yakin semua member rata-rata sudah tertidur, mungkin hanya tinggal Johnny yang belum memejamkan matanya karena hyung nya yang satu itu selalu tidur larut malam.

Manager sudah memberi tahu agar mereka semua segera beristirahat untuk hari esok tapi maknae yang satu ini sudah mencari berbagai macam cara dari menonton video membosankan di YouTube, mendengar lagu mellow, sampai menghitung domba yang melompati pagar di kepalanya (kata orang tua di luar negeri bisa bikin cepet tidur).

“Mataku tolong kerja samanya, besok giliran dipake kerja malah redup!” Haechan benar-benar frustasi dibuatnya.

Melihat keluar jendela yang sebagian hanya ditutupi gorden tipis, Haechan menyingkapnya untuk ia dapat melihat keluar jendela. Beberapa orang masih berlalu-lalang, dan tentu kebiasaan orang-orang luar negeri mereka sering mengadakan pesta. Apalagi di waktu-waktu ini memang bukan saatnya untuk tidur namun bersenang-senang. Masih ada beberapa stand yang berdiri, hanya sekedar menjual makanan ringan maupun minuman di sekitar pantai.

Haechan melihatnya tertarik. Di luar sana masih ramai, sedangkan lampu kamarnya sudah dimatikan karena Taeil (hyung yang sekamar dengan Haechan) sudah tertidur.

Manager hyung juga pastinya sudah tertidur dan Haechan melihat kesempatan bahwa mungkin ia bisa diam-diam keluar tanpa sepengetahuan manager hyung.

Ia mengambil dompetnya yang berisi beberapa pecahan dollar—berjaga-jaga ia nantinya ia tergiur oleh makanan-makanan ringan di bawah sana.

Haechan turun perlahan dari ranjang, berusaha agar tidak membangunkan Taeil, lalu ia keluar dari kamar setelah memakai sandalnya.

Kret~

Di lorong kamar terdengar ada kamar lain yang terbuka. Menoleh ke asal suara, Haechan mendapatkan salah satu kamar terbuka yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

“Mark?”

“Eoh, Haechan-ah? Kamu ngapain keluar? Mau cari manager hyung kah?”

“Engga, aku cuma... bosen?” Haechan takut bahwa Mark akan melaporkannya pada manager hyung jika ia mengatakan akan pergi keluar. Namun ketika melihat Mark menggendong gitar, ia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.

“Kamu... Mau jalan-jalan?”

Haechan membolakan matanya, “um... kita?”

“Iya, maksudnya kita....” Ujar Mark yang entah mengapa ia menjadi kikuk akhir-akhir ini setiap mengobrol berduaan dengan Haechan. Berbeda jika mereka bersama para hyung, namun jika hanya ada mereka berdua suasana seketika menjadi canggung!

Pada akhirnya duo maknae NCT 127 itu pergi bersama, dengan Haechan yang memakai sweater putihnya sedangkan Mark menggunakan topi dan membawa gitar miliknya.


“Uwaahhh~” Berbinar mata Haechan kala ia menginjakkan kaki di jalanan penuh stand makanan dan minuman. Para turis sedang lalu-lalang, bau makanan yang hangat langsung tercium di indra penciuman Haechan membuat pertahanan untuk tidak “makan apapun” nya goyah.

“Kenapa, kamu mau?” Tanya Mark di sela-sela perjalanan mereka.

“Udah malem sih, tapi pengen...”

“Yaudah mau apa, aku temenin.”

“Bingung~” Haechan melihat ke satu persatu stand yang ada disana sambil mengerucutkan bibirnya. Mark dibuat terkekeh diam-diam oleh kelakuan Haechan, tal jarang juga ada penjaga stand yang menawarkan dagangan kepada mereka.

“Mark, mau itu!” Haechan menunjuk ke salah satu stand yang menjual kentang goreng. Kentang goreng itu terlihat sangat lezat apalagi saat penjualnya mengeluarkan dari wajan dalam keadaan panas lalu ditaburi bumbu yang pasti menambah cita rasanya.

“Okay. Hello, can I get one please?” Mark berbicara dengan sang penjual menggunakan bahasa Inggris. Benar juga, jika Haechan jalan-jalan sendirian dan hendak membeli makanan mungkin ia akan kesulitan berbicara. Tapi untung saja ia bersama dengan Mark, untuk masalah komunikasi dengan orang asing tidak perlu khawatir.

“Nih, aku traktir.” Mark memberikan kentang goreng yang di sajikan dengan tusuk (yang ketang digoreng, dipotong-potong terus kayak ditusuk gitu jadinya panjang, ku lupa namanya apa༎ຶ‿༎ຶ).

“Eh, thanks Mark.”

Oh ya, Haechan lupa tadi ia belum bilang ingin rasa apa, namun ajaibnya Mark memesan apa yang ada di pikirannya. Tak terduga, namun Mark memang sering melakukannya seakan dia benar-benar tahu Haechan sedang ingin apa.

Wah... Ternyata ini alasannya mengapa para fans sering menyebut ia dan Mark sebagai soulmate...

Setiap memikirkan sijeuni yang mengatakan hal-hal tentang ia dan Mark, Haechan sering dibuat salah tingkah. Ia senang walaupun ia melihat ekspresi Mark seperti biasa saja dan merasa bahwa hanya ia disini yang senang saat para penggemar menyocokkan mereka.

“Mark mau?”

“Nanti aja.” Jawab Mark yang lagi sibuk liat ke pantai. Mereka masih belum masuk ke area pantai, mereka masih berdiri di jalan sekitar penjual-penjual stand.

“Nanti dinginkan cepetan! Kalo nggak aku abisin nih!” Mark menoleh dan mendapatkan Haechan dengan ekspresi kesalnya dengan kedua pipi mengembung sambil mengunyah.

“Buat kamu aja, nanti kamu nggak kenyang.”

“Nooo! Mark harus coba, ayok!” Haechan menyodorkan kentangnya yang disambut baik oleh Mark. Karena Haechan sudah berkata demikian, Mark tidak bisa menolak lagi.

Mereka kedua melanjutkan perjalanan dengan Haechan yang menghabiskan sisa kentang gorengnya. Tak butuh waktu lama, kentang goreng itu sudah lenyap. Mengikuti protokol kebersihan, tentu Haechan mencari tempat sampah untuk membuang tusuk kentangnya.

“MARK, SEBELAH SINI!” Mark sedang mendeskripsikan pantai Miami itu dalam hatinya, tapi itu sebelum Haechan meneriaki namanya dari ujung sana sambil melambaikan tangan. Entah sejak kapan anak itu sudah berada disana, Mark terlalu sibuk dengan merangkai kata-katanya.

Haechan kini berlarian di atas pasir pantai. Karena jarak mereka yang semakin jauh, Mark ikut mengejar takut jika ia kehilangan Haechan di tempat ramai ini.

“MARK SINI!” Haechan berada di bibir pantai, menunggu Mark yang tengah menuju padanya, agak kesulitan karena lelaki itu membawa gitar di punggungnya.

“Hahh... Kamu cepet banget!” Mark mencoba mengatur napasnya saat ia berhasil sampai ke Haechan.

Byur!

“Akh Haechan!”

“Hehehehe Mark wleee~” Haechan menjulurkan lidahnya sebelum ia kembali menyipratkan air laut pada Mark.

Pada akhirnya mereka bermain air, saling menyiprat satu sama lain sambil kejar-kejaran. Hampir saja Mark menjadi korban lagi, ia hampir di gendong oleh Haechan untuk di lempar ke air namun terhalangi karena gitar di punggungnya berhasil menyulitkan Haechan.

“Mark gak kena AHAHAHAHA~”

“Sini kamu Haechan! Awas yaaa!”

Setelah kejar-kejaran cukup lama, Haechan menyerah karena kelelahan, alhasil tubuhnya ditubruk oleh Mark hang berhasil menangkapnya.

“Yeeee ketangkep kan.”

“Ahahahaha Mark geli Mark hhh!”

“Lagian siapa juga yang mulai duluan?”

“Kamu!”

“Udah salah nggak mau ngaku, kamu!” Mark menggelitiki perut Haechan membuat yang lebih muda terkikik kegelian.

Merasa kakinya sudah dipenuhi pasir, Mark bangkit dan duduk di sebelah Haechan. Ia menyeka lengangnya yang terkena pasir, serta pasir yang masuk ke sela-sela kakinya.

Begitu pula dengan Haechan. Namun karena melihat kondisinya lebih parah, Mark membantu Haechan menyeka pasir di leher belakangnya serta bagian pipi.

“Hati-hati masuk mata.”

“Ini udah masuk baju.”

Mark terkekeh, ia melepaskan gitarnya dan meletakkannya di atas pangkuan. Sambil memandang laut di hadapannya, Mark sedang memikirkan lagu apa yang berhubungan dengan laut.

“Mark, nyanyi please?”

“Hm?”

“Itu nyanyi~” Haechan menunjuk gitar yang dipegang oleh Mark.

“Kamu mau lagu apa?”

“Mmm... Terserah Mark?”

Hati Mark berdegup saat Haechan memintanya untuk menyanyikan sebuah lagu. Jujur momen-momen seperti ini sudah sering terjadi namun entah kenapa kali ini ada yang berbeda.

Duduk berdua di atas pasir pantai, ditemani suara air laut yang tenang, Mark memikirkan satu lagu yang mungkin bisa mendeskripsikan apa yang sedang ia rasakan pada Haechan saat ini. Sangat sulit jika harus mengatakannya langsung, jadi mungkin saja bisa lewat lagu?

Mark mengangguk paham. Tak lama kemudian Mark mulai memetik senar gitarnya, suara dari benda tersebut mulai mengalun. Haechan pun merapatkan kakinya tanda, sangat excited ia siap mendengarkan nyanyian Mark.

“When your legs don't work like they used to before”

“And I can't sweep you off of your feet”

“Will your mouth still remember the taste of my love?” Mark menoleh pada Haechan sekilas.

“Will your eyes still smile from your cheeks?” Dan Haechan hanya membalasnya dengan senyuman kecil.

“And, darling, I will... Be loving you 'til we're 70”

Suara dari gitar Mark seakan menutupi seluruh kebisingan hiruk pikuk pantai Miami, dan dunia kini hanya berpusat kepada dua insan yang tengah larut dalam lagu.

“And, baby, my heart... Could still fall as hard at 23”

“And I'm thinking 'bout how...”

Baiklah sepertinya disini Mark menyadarkan sesuatu. Alasan mengapa ia akhir-akhir ini lebih canggung saat berduaan dengan sahabat seperjuangannya itu karena satu hal...

“People fall in love in mysterious ways”

“Maybe just the touch of a hand”

Mark mendongakkan kepalanya pada Haechan yang juga tengah menatapnya sambil bertumpu dengan lutut.

Haechan seperti...

Seperti Mark rasa ia sedang melihat dunianya?

“Well me, I fall in love with you every single day”

“And I just wanna tell you I am...”

Haechan mengangkat kepalanya. Ia melihat sesuatu yang lain di mata sahabatnya itu. Lirik serta perlakuan yang diberikan Mark seakan terhubung satu sama lain. Hatinya menghangat, malam yang terasa dingin ini tertutup oleh sang debaran hati yang tiba-tiba datang.

“So, honey, now... Take me into your loving arms...”

“Kiss me under the light of thousand stars...”

Haechan memegangi pipinya yang merah padam, di sisi lain Mark terkekeh melihat reaksinya.

“Place your head on my beating heart... I'm thinking out loud”

“Maybe we found love right where we are”

Haechan menggerakkan kepalanya saat hampir di penghujung lagu. Petikan gitar Mark yang mengiringi melengkapi setiap bait yang Mark nyanyikan. Dan Haechan di akhir juga ikut menyanyikan lirik yang sebelumnya kembali dinyanyikan untuk menutup lagu.

“Maybe we found love right where we are...”

Haechan menepuk tangannya kala lagu ditutup oleh gabungan suara mereka berdua yang terdengar serasih. Bahkan mereka tidak sadar beberapa orang yang lewat juga ikut terkagum saat mendengar lagu Ed Sheeran itu dinyanyikan oleh dua musisi asal Korea Selatan dan Kanada ini.

“Yashh daebak!”

“Hahahaha kamu bisa aja...”

“Tapi beneran, aku udah sering denger kamu nyanyi—bahkan kita sering collab tapi tadi keren banget.”

“Dimana kerennya?”

“Yaa... Kayak ada yang beda aja gitu...”

“Beda, hm?” Mark menatap Haechan bermaksud menggodanya.

“IH YA GITU DEH POKOKNYA, GATAUU!!” Haechan menutup mukanya dengan kedua tangan, terlalu malu untuk melihat Mark.

“Good deh kalo kamu suka.”

Mark menyenderkan gitarnya di sebelah dirinya, lalu ia selonjorkan kakinya yang mulai terasa pegal.

Haechan melirik Mark yang sedang menikmati angin sepoi-sepoi. Diam-diam Haechan mendekatkan duduknya pada Mark, sedikit demi sedikit hingga jarak mereka semakin mendekat.

Melihat itu Mark juga mengikutinya, melihat ke arah lain namun diam-diam mendekatkan duduknya ke Haechan sambil bersiul-siul kecil.

Kedua tangan mereka menjadi tumpuan, yang artinya posisinya kini berada di belakang badan.

Mark mengangkat jari-jarinya seakan sedang berjalan mendekati tangan Haechan di sebelahnya. Perlahan, jari-jari Mark naik ke punggung tangan Haechan dan mulai mengganggam nya dari sana.

Haechan yang terkejut langsung menoleh ke arah Mark, namun yang lebih tua ternyata juga sedang nyengir tanpa melihat Haechan.

“Mark!”

“Hm?”

Mata mereka akhirnya kembali bertemu. Namun kali ini Mark lebih menggoda membuat Haechan ikut terkekeh. “Jangan gitu ih liatnya!”

“Kenapa emangnya?”

“Bikin salting!”

“Salting apa salting???”

“Ih Mark!”

“AHAHAHAHA” Mark menarik Haechan ke pelukannya. Ia mencubit hidung Haechan gemas dan hampir saja menggigit pipi gembil itu.

“Udah ih, kamu suka banget bikin aku geli.”

“Kamu gemes sih.”

“Engga!”

“Ngoceh terus, mau aku cium?”

“Cium? Yaudah nih huuuummmmm~” Mark membolakan matanya saat Haechan memajukan bibirnya seakan benar-benar memintanya.

Mark menangkup pipi Haechan, dan benar-benar mendaratkan bibirnya di atas bibir ceri kenyal itu.

“Kok dilepas?!” Haechan tidak terima saat Mark mengangkat kepalanya lagi.

Karena kecupan saja tidak cukup, Mark menarik lengan Haechan yang membuat tubuh keduanya semakin menempelkan dan kembali menempelkan bibir mereka namun kali ini dengan sedikit pergerakan.

Keduanya saling menyesap dan memiringkan kepalanya kala menikmati bagian bibir atas dan bawah satu sama lain.

Rasanya menyenangkan! Perasaan gembira itu bergemuruh dalam dadanya, ribuan kupu-kupu menyerbu mereka berdua seakan pertanda bahwa degupan-degupan itu memang mutual. Perasaan yang mereka rasakan tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata, tapu dengan hanya sentuhan-sentuhan seperti ini mereka bisa merasakan betapa terikatknya hati mereka berdua.

Awalnya Mark memang tidak percaya apa itu cinta. Iya sadar bahwa cinta dan rasa sayang itu memiliki perbedaan.

Ia mendapatkan rasa sayang dari para hyung serta keluarganya. Namun bersama Haechan, ia melihat bentuk dunianya lewat lelaki manis itu.

Bentuk cinta; Mark Lee = Lee Haechan.

.

.

.

.

.

Fin.


Sesekali liat orang pacaran gapap lah—yang galau jangan sedih terus, jangan lupa bahagia!

꒰⑅ᵕ༚ᵕ꒱˖♡


© NOVADELUE_2021 🍿

Winwin bawa kopernya masuk ke dalam kamar Yuta. Katanya Winwin bisa tidur di kamarnya saja. Rumah Yita memang berbeda dari terakhir kali Winwin datang waktu itu. Ada dua tingkat dengan tambahan satu kamar di lantai dua.

Mau tidak mau Winwin akan tidur bersama Yuta, karena kamar tamu atas sudah dipakai oleh Ten dan Taeyong. Jika Winwin memaksa diri tidur bersama dua sahabatnya, rasa kamarnya pasti akan pengap. Kurang untuk diisi oleh tiga orang.

Disinilah Winwin sekarang. Ia baru saja meletakkan kopernya, menumpang kamar mandi pada Yuta karena ia harus membersihkan diri sebelum tidur.

Keluar dari kamar mandi, Winwin membawa kembali tas kecil berisi peralatan mandinya dan kembali masuk ke kamar.

Di atas tempat tidur sudah ada Yuta yang merebahkan kepalanya di kepala ranjang sambil berkutat dengan tablet miliknya.

Dengan perlahan Winwin menghampiri pria berdarah Jepang itu. Menyadari keberadaan Winwin, Yuta langsung menoleh lalu menepuk space kasur disebelahnya, mengisyaratkan Winwin agar duduk disana.

“Ngapain?”

“Ada kerjaan dikit tadi, ini udah mau selesai kok tinggal kirim email aja.” Ujar Yuta dengan santainya, tak lama kemudian ia letakan benda itu sesuai dengan apa yang dikatakan.

“Kenapa kamu?”

“Kenapa apanya?” Kata Winwin yang masih melihat ke arah jendela tanpa melihat lawan bicaranya.

“Liat aku dong, gak kangen emangnya??” Kata Yuta sambil condongin badannya ke samping Winwin. “Malu?”

“Gatau kalo aku ketemu langsung sama kamu jadinya canggung begini. Padahal kalo di chat seru tapi kamu akhir-akhir ini sibuk banget.”

Dari samping Yuta meluk pinggang Winwin, sama kepalanya di senderin ke bahu Winwin ikut ngeliat ke jendela yang Winwin daritadi liat keluar.

“Rumah mama jadi bisa di renov gara-gara aku kerja, coba kalo enggak temen-temen kamu gak ada tempat nginepnya.”

Winwin melakukan kilas balik kala ia pertama kali datang ke Jepang dan mampir ke rumah Yuta. Waktu itu ia dan Yuta hanya sebatas stranger yang lalu menjadi teman—bahkan mungkin lebih dari itu mamun mereka terpisah oleh jarak dan waktu selama bertahun-tahun.

“Good, aku seneng juga liat toko mama kamu jadi lebih gede, rame gak?”

“Ummm...” Yuta manjuin bibirnya berpikir, “makin dikenal sih, tapi mama udah gampang capek, biasanya siang-siang mama tidur yang lanjutin Shotaro kalo dia udah pulang sekolah.”

Winwin ngangguk sebagai jawaban. Sekarang dia udah noleh ke belakang, alhasil mukanya hadep-hadepan sama Yuta. Winwin sadar akan sesuatu yang berubah lagi.

“Rambut kamu panjangan ya?”

“Mau aku potong tapi belom sempet, padahal rasanya baru aja dipotong.” Yuta ngambil tangan Winwin yang tadi ada di kepalanya buat di genggaman. “Cepet panjangnya juga—gak tau kenapa.”

Terus ditarik, dan sekarang mereka sama-sama rebahan menghadap satu sama lain. Nggak tau apa yang masing-masing pikirin, tapi tilikan mata mereka mengarah ke satu sama lain.

“Yuta?”

“Win?”

Yuta majuin kepalanya buat bibirnya sama bibir Winwin ketemu. Nggak ada lumatan cuma ada kecupan singkat selamat malam, anggep sebagai penutup hari ini.

“Good night, Win...” Ucap Yuta yang langsung meluk Winwin yang udah tiduran di atas dadanya. Untuk semua hal yang mau dibicarakan semuanya di lanjut besok. Hari ini udah capek sama perjalanan jauh.

Winwin bawa kopernya masuk ke dalam kamar Yuta. Katanya Winwin bisa tidur di kamarnya saja. Rumah Yita memang berbeda dari terakhir kali Winwin datang waktu itu. Ada dua tingkat dengan tambahan satu kamar di lantai dua.

Mau tidak mau Winwin akan tidur bersama Yuta, karena kamar tamu atas sudah dipakai oleh Ten dan Taeyong. Jika Winwin memaksa diri tidur bersama dua sahabatnya, rasa kamarnya pasti akan pengap. Kurang untuk diisi oleh tiga orang.

Disinilah Winwin sekarang. Ia baru saja meletakkan kopernya, menumpang kamar mandi pada Yuta karena ia harus membersihkan diri sebelum tidur.

Keluar dari kamar mandi, Winwin membawa kembali tas kecil berisi peralatan mandinya dan kembali masuk ke kamar.

Di atas tempat tidur sudah ada Yuta yang merebahkan kepalanya di kepala ranjang sambil berkutat dengan tablet miliknya.

Dengan perlahan Winwin menghampiri pria berdarah Jepang itu. Menyadari keberadaan Winwin, Yuta langsung menoleh lalu menepuk space kasur disebelahnya, mengisyaratkan Winwin agar duduk disana.

“Ngapain?”

“Ada kerjaan dikit tadi, ini udah mau selesai kok tinggal kirim email aja.” Ujar Yuta dengan santainya, tak lama kemudian ia letakan benda itu sesuai dengan apa yang dikatakan.

“Kenapa kamu?”

“Kenapa apanya?” Kata Winwin yang masih melihat ke arah jendela tanpa melihat lawan bicaranya.

“Liat aku dong, gak kangen emangnya??” Kata Yuta sambil condongin badannya ke samping Winwin. “Malu?”

“Gatau kalo aku ketemu langsung sama kamu jadinya canggung begini. Padahal kalo di chat seru tapi kamu akhir-akhir ini sibuk banget.”

Dari samping Yuta meluk pinggang Winwin, sama kepalanya di senderin ke bahu Winwin ikut ngeliat ke jendela yang Winwin daritadi liat keluar.

“Rumah mama jadi bisa di renov gara-gara aku kerja, coba kalo enggak temen-temen kamu gak ada tempat nginepnya.”

Winwin melakukan kilas balik kala ia pertama kali datang ke Jepang dan mampir ke rumah Yuta. Waktu itu ia dan Yuta hanya sebatas stranger yang lalu menjadi teman—bahkan mungkin lebih dari itu mamun mereka terpisah oleh jarak dan waktu selama bertahun-tahun.

“Good, aku seneng juga liat toko mama kamu jadi lebih gede, rame gak?”

“Ummm...” Yuta manjuin bibirnya berpikir, “makin dikenal sih, tapi mama udah gampang capek, biasanya siang-siang mama tidur yang lanjutin Shotaro kalo dia udah pulang sekolah.”

Winwin ngangguk sebagai jawaban. Sekarang dia udah noleh ke belakang, alhasil mukanya hadep-hadepan sama Yuta. Winwin sadar akan sesuatu yang berubah lagi.

“Rambut kamu panjangan ya?”

“Mau aku potong tapi belom sempet, padahal rasanya baru aja dipotong.” Yuta ngambil tangan Winwin yang tadi ada di kepalanya buat di genggaman. “Cepet panjangnya juga—gak tau kenapa.”

Terus ditarik, dan sekarang mereka sama-sama rebahan menghadap satu sama lain. Nggak tau apa yang masing-masing pikirin, tapi tilikan mata mereka mengarah ke satu sama lain.

“Yuta?”

“Win?”

Yuta majuin kepalanya buat bibirnya sama bibir Winwin ketemu. Nggak ada lumatan cuma ada kecupan singkat selamat malam, anggep sebagai penutup hari ini.

“Good night, Win...” Ucap Yuta yang langsung meluk Winwin yang udah tiduran di atas dadanya. Untuk semua hal yang mau dibicarakan semuanya di lanjut besok. Hari ini udah capek sama perjalanan jauh.

DoReMiFaSolLa(Dil)Do

Semua penonton dari berbagai sekolah sudah berkumpul di lapangan indoor Neo Highschool. Sorak-sorai orang-orang semakin terdengar kala tim Neo dan sekolah sebelah akan bersiap bertanding.

Zhong Chenle beserta dua sahabatnya duduk di bangku paling depan. Ya itu adalah fasilitas yang diberikan pihak sekolah. Saat tau tuan muda ini ingin menonton pertandingan basket yang kebetulan sekolahnya menjadi tuan rumah, mereka memberikan tempat duduk paling depan untuk pemuda berdarah Cina itu.

Dua sahabatnya itu tengah mengoceh tentang salah satu anggota basket sekolahnya bernama Mark Lee. Kupingnya sudah bosan berkali-kali mendengar nama itu karena sungguh Haechan dan Jaemin tak berhenti memuji paras Mark dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Mata Mark dan Chenle tak sengaja bertemu saat kakak kelasnya itu melihat ke arah bangkunya. Yang banyak orang tidak tahu adalah Chenle dan Mark memang dekat satu sama lain. Chenle anak tunggal yang sering kesepian, maka ia sudah menganggap Mark seperti kakak laki-lakinya sendiri.

Lelaki berdarah setengah Kanada itu melempar senyum ke arah Chenle membuat Haechan dan Jaemin menjerit tidak jelas. Chenle memutar bola mata dibuatnya, karena dua lelaki di sampingnya itu mengira bahwa Mark memberikan senyuman itu pada mereka. Maklum, dua anak ini emang kelewat pede.

Terlepas dari Mark, Chenle melihat satu persatu anggota yang lain. Ada Lee Jeno si idola sekolah satu lagi dan pemain lainnya yang dia sering liat tapi gak hapal namanya, terakhir yang Chenle tau Lai Guanlin baru saja bergabung dengan anggota lainnya. Ayah mereka adalah rekan jadi sempat bertemu beberapa kali.

“Nih minum.” Renjun menyodorkan tas belanjaan isi minuman sama cemilan. Chenle lagi gak mood makan jadi dia coma ngambil cola nya. Sedangkan Haechan Jaemin langsung bilang makasih terus ngerampas hampir semua cuma disisain popcorn mini buat Renjun.

“Lama banget.”

“Abis nyemangatin doi, biasalah.”

Chenle udah gak heran sama Renjun karena dia satu-satunya yang udah taken diantara mereka berempat. Tinggal nunggu Jaemin sama Haechan, karena ia yakin akan menjadi yang paling akhir. Chenle sama sekali gak tertarik sama hubungan percintaan.

“Lo tau yang duduk paling ujung siapa?” Tanya Chenle sambil minum cola nya.

“Yang anak baru ya? Kalo gak salah tadi gue nanya pacar gue namanya Jisung, kenapa Le?”

“Cungkring amat.”

“Ya tapi tinggi njir, pantes lah dia kepilih buat gantiin si Younghoon.”

Chenle merhatiin Jisung dari sepatu sampe kepalanya. Keliatannya dia yang paling terpojok sendirian, paling gugup disaat semua anggotanya masih ngobrol dan pemanasan. Ngerti sih, mungkin ini pertandingan pertamanya Jisung dan dia deg-degan banget.

Jisung yang masih berusaha atur napas sambil gerak-gerakin kakinya gak sengaja ngeliat Chenle yang lagi mandang dia dan ekspresinya kurang enak bikin Jisung dua kali lipat lebih gugup. Berasa diliatin coach killer sumpah!

Chenle mengendikkan bahunya setelah mendengar pengumuman bahwa pertandingan akan dimulai lima menit lagi. Orang-orang masih ada yang baru dateng, bangkh bleacher udah mulai keisi semua.

Chenle yang emang notabene nya suka sama basket dan udah sering nonton pertandingan langsung ke luar negeri, ia mutusin buat sesekali liat tim sekolahnya sendiri tanding.

Well... Siapa tau gak kalah asik.


Jisung mulai ngerasa aneh waktu dia diliatin sama banyak murid-murid setelah selesai tanding kemaren. Oh ya, tim sekolah mereka menang dan Jisung juga banyak menjadi spotlight yang ngebuat dia tambah mulai dikenal banyak orang.

Tapi diantara banyaknya orang yang merhatiin dia, satu yang gak pernah ilang dari kepalanya itu waktu diliatin sama orang yang duduk diseberang dia kemaren. Walaupun Jisung langsung ngalihin pandangannya, tapi mereka sering pas-pasan di jalan ngebuat dia sering liat Chenle.

Jujur waktu di lapangan kemaren, baru kali itu Jisung ada yang merhatiin sampe segitunya. Karena selama ini Jisung cuma jadi siswa biasa yang temen pun cuma temen sekelas doang. Mukanya agak ngeselin tapi Jisung pernah gak sengaja ngeliat Chenle lagi ngobrol sama temen-temennya dan vibes nya tuh beda banget!

He's adorable af!

Sampe tau kebiasaan Chenle yang kalo bosen di kelas pasti larinya ke ruang musik. Kakak kelasnya itu sering main piano sambil nanyi, dan Jisung juga ada, di depan pintu ruang musik sambil ngintip dan dengerin pertunjukan musik live gratis. Bahkan beberapa kali ada Jisung rekam dan dia jadiin itu lagu penghantar tidur. Suara Chenle emang se sejuk itu kalo di kuping Jisung.

Tapi ada satu kebiasaan Chenle yang ngebuat adek kelasnya ini penasaran banget. Setiap hari Rabu dan Jumat, Chenle selalu pergi ke ruang laboratorium entah mau ngapain. Tapi dari situ Jisung nyimpulin kalo Chenle emang suka nongkrong atau ngelakuin percobaan something yang Jisung sendiri gak tau.

Tapi kebetulan, hari ini ekskul basket di skip dulu karena pelatih mereka ada urusan yang gak bisa ditinggal. Daripada gabung sama yang lain latihan bebas, Jisung lebih milih nangkring di deket kelas Chenle buat ngawasin apa kakak kelasnya itu bakal ke lab kayak biasa atau engga. Selama ini Jisung gak bisa mastiin karena Chenle selalu kesana bentrok sama jadwal latihan basket.

Dan bener aja, Chenle keluar dari kelas sambil ngegembok tasnya. Jisung yang diem-diem dari belakang ngikutin jinjit-jinjit biar suara sepatunya gak kedengeran dan semoga gak kedengeran.

Chenle itu kayaknya emang taat aama jadwalnya, dia itu teratur banget sama kebiasaannya. Buktinya sekarang Chenle udah masuk ke dalem ruang lab, diikutin sama Jisung yang ikut masuk sebelum pintunya ketutup lagi.

Jisung sembunyi di balik meja-meja disana pas Chenle jalan ke area pojok ruangan yang posisinya agak ke belakang. Di posisi yang pas, Jisung masih bisa ngeliat Chenle jelas.

Setiap gerak-gerik yang dilakuin Chenle, terekam di kepala Jisung. Tidak ingin dianggap stalker, Jisung hanya penasaran dengan apa yang dilakukan kakak kelasnya itu.

Chenle naro tasnya di samping lemari, terus dia senderan di depan pintunya. Yang Chenle lakukan selanjutnya berhasil ngebuat Jisung ngebolain matanya.

Tangan Chenle mulai ngeremes kemaluannya sendiri. Desahan-desahan tipis mulai keluar dan mengalun ke telinga Jisung. Chenle mijit-mijit punya nya sendiri sambil tangan satu lagi ngeremes pantatnya.

Saat dirasa mulai sesak, Chenle mengeluarkan miliknya dari dalam celana yang sudah setengah tegak. Tangan kanannya sibuk naik turun di atas penisnya, sedangkan yang kiri meremas sekaligus menampar bokongnya sendiri. Kesimpulannya, Chenle terlihat sangat frustasi sekarang ini.

“Oh mngfhhhh....”

Chenle membalik posisinya menjadi menghadap pintu lemari. Kejantanannya dia gesek-gesekin di pintu lemari sedangkan tangannya ngelepas celana sambil masih nampar-nampar pantatnya.

Dua jarinya mulai memasuki pintu lubangnya, dan menggerakkan keluar masuk disana.

PLAK!

PLAK!

“Nghhhh yashhh... Spank me morehh~”

Melihat kegiatan solo panas itu, Jisung menelan ludahnya dengan susah payah. Dirinya sudah panik karena ternyata menemukan Chenle tengah bermain dengan dirinya sendiri DI RUANG LAB.

Jisung pengen keluar tapi pasti bakal ketauan sama Chenle. Tapi kalo tetep disitu bisa bahaya juga, jadi Jisung cuma bisa tutup telinganya. Lain hal dengan kepala Jisung yang gak bisa diajak kerja sama, satu kali, dua kali pasti nengok terus ke arah Chenle.

Chenle sudah kepalang nafsu dan sangat frustasi. Tapi cuma ini yang bisa dia lakuin, ngebayangin ada orang yang gagahin dia dengan tubuh atletis, memanjakan lubang anal dan dadanya.

Dari lemari di depannya, Chenle mengeluarkan sebuah dildo yang emang disimpen disana. Well kalo dirumahnya Chenle gak bisa ngelakuin kayak gini karena pasti bakal dipantau sama orangtuanya, tapi karena ini di sekolah dan mumpung di lab juga nyimpen beberapa dildo jadi dia pake kesempatan itu.

Dildo yang emang selama ini dia pake buat muasin diri sendiri mulai dimasukin ke dalem lubangnya sambil ngebayangin kalo itu penis qbeneran. Gerakan tangannya mulai keluar masukin dildo nya sambil ngedesah lumayan kenceng waktu ujung dildo itu kena prostatnya.

Jisung udah ketar-ketir tapi cuma bisa diem dan ngeliatin. Tapi gak lama setelah itu ada langkah kaki dari luar yang ngarah ke ruang lab. Ngeliat pintu ada yang buka, Jisung langsung buru-buru lari ke arah Chenle terus ngebawa yang lebih tua masuk ke dalem lemari.

Dan apa yang Jisung denger bener-bener lagi ada di dalem ruangan. Gak tau siapa tapi Jisung bisa denger orang itu lagi naro sesuatu di ruang lab. Kemungkinan besar itu guru sih.

“Apa—”

“Sshht...diem dulu kak.” Jisung nahan tangan Chenle yang masih masukin dildonya ke dalam analnya, tangannya ngebekep mulut Chenle.

Selang beberapa menit, pintu ruangan kebuka lagi yang tandanya orang yang masuk tadi udah keluar. Ngebuka pintu lemari perlahan, Jisung mengintip sekitar apakah sudah kosong atau belum.

“Huft... Udah aman kak...”

Jisung menoleh ke arah kakak kelasnya yang ternyata sedang menunduk dengan wajah yang merah padam. Dilihatnya tangannya, Jisung masih nahan tangan Chenle yang lagi pegang dildo.

Sadar sama posisi mereka sekarang, muka Jisung jadi ikut merah sampe ke kuping. Tapi matanya lama-lama salfok ke bagian bawah Chenle yang udah gak di balut kain sama sekali, kulitnya putih banget kayak susu, tekstur nya kayak kulit bayi, pahanya mulus dan kakinya ramping. Jisung jadi deg-degan sendiri.

“Nghh—”

Jisung gak sengaja neken tangannya yang ngebuat dildo itu masuk lagi.

“L-lepasin gue!”

Badan Jisung bener-bener kaku banget sekarang. Di posisi ambigu kayak gini ngebuat mereka canggung mampus. Tapi bukannya malah ngelepas, Jisung malah dorong lagi dildonya terus ditarik keluar.

“Ahh jangan mhhh...” Chenle sudah napsu di ujung tanduk bercampur dengan rasa malu karena dia baru aja kepergok ngelakuin hal yang gak senonoh. Chenle udah ngumpat di dalem hati buat dirinya sendiri, moment ini bakal dia inget seumur hidup sebagai moment paling memalukan.

Jisung ngebawa Chenle ke meja yang terletak gak jauh dari mereka sekarang. Jisung berusaha nyingkirin tangan Chenle dari sana, “kak lepas dulu”.

“Lo yang lepasin gue—AKH! Jangan dimasukin lagi!”

“Tapi enak kak?”

Iya enak, BANGET kalo kata Chenle. Tapi sayangnya Chenle ini agak denial orangnya.

Setelah berhasil menyingkirkan tangan Chenle, dia mulai keluar masukin dildonya cepet banget bahkan Chenle gak bisa nahan tangan Jisung lagi.

Titik manisnya berkali-kali udah kena ujung dildo, erangan Chenle udah gak bisa dipendem lagi. Walaupun cuma sama dildo, rasanya Chenle udah mau terbang aja.

“Gerah ya kak?” Jisung ngeluarin dildonya, ngebuka sepatu Chenle sama kancing seragamnya. Gak tau dirasukin sama apa, tapi Chenle langsung ngebusungin dadanya kayak minta dijamah di area situ.

Karena lubangnya kerasa kosong, Chenle masukin jari-jarinya buat ngegelitikin dinding rektumnya. Tapi Jisung gak ngebiarin itu dan dia ganti pake jari-jari dia. Mulutnya juga ikut bertengger di puting mencuat Chenle buat di isep dua tonjolan itu.

“Jisung ahh! Jangan digigit!” Chenle ngerasa ngilu waktu putingnya digesek sama gigi-gigi Jisung. Jari adek kelasnya ini panjang banget, tapi gerakannya kaku jadi Chenle bantuin nambah kecepatannya.

“Anghhh...punya lo berdiri juga Ji...”

“Tapi kak...”

“Bodo amat kita omongin nanti! Sekarang keluarin dulu punya lo.”

Karena Jisung gak gerak juga, Chenle yang ambil alih buat nurunin zipper nya. Dengan mudah, Chenle ngeluarin apa yang udah engap di dalem sana, tapi Chenle langsung angkat tangannya lagi waktu liat punya Jisung.

“M-mau lo biarin kayak gitu hah?!”

“Terus harus gimana kak?”

“Ck, apa kek! Mau masukin gue juga gakpapa—” Ujar Chenle dengan wajah memerah sekaligus ngeri juga waktu ngeliat ukurannya.

Jisung langsung majuin mukanya buat nyium Chenle. Walaupun Jisung gapernah ciuman sebelumnya, tapi dia ngikutin naluri sama apa yang pernah dia liat di film-film.

“Serius kak? Gakpapa?”

Waktu ciumannya dilepas, Chenle ngalungin tangannya di leher Jisung buat nyatuin bibir mereka lagi. Lidah Chenle mulai gelut sama lidah Jisung sampe liur mereka netes sampe dagu. Chenle bisa rasain kalo sekarang jari-jari Jisung mulai milin putingnya lagi. Rasanya kayak ada sensasi berlipat yang ngebuat badannya gemeter.

“Balik badannya ya kak?” Setelah permisi, Jisung membalikkan tubuh Chenle dengan perlahan. Baju seragamnya di turunin pelan-pelan sampe batas lengan biar Jisung bisa leluasa gerayangin bahu mulusnya Chenle.

Jisung ngocok punya dia sendiri sampe bener-bener tegang. Terus tangan gedenya dipake buat nahan badan Chenle sama ngebekep biar desahan kakak kelasnya ketahan pas punyanya dimasukin nanti.

Terus dia bantuin Chenle buat nungging biar geraknya bisa lebih enak. Sebenernya Jisung agak ragu, udah di depan mata tinggal dorong tapi dia cuma ngeliatin doang gak dilanjut.

“Jisung?” Ngeliat Jisung diem aja Chenle jadi muter badannya lagi. Muka Jisung keliatan banget lagi nahan ereksinya, jadi Chenle langsung lingkarin tangannya di leher Jisung terus ngecup sekilas pipinya.

Karena keliatannya gerah banget walau AC di ruang lab masih nyala, Chenle ngebuka satu persatu kancing baju Jisung sampe badan atletisnya terpampang. Yang lebih tua langsung tambah kaget waktu ngeliat Jisung yang awalnya dikira cungkring ternyata punya perut kotak-kotak. Gak mau buang kesempatan, Chenle langsung ngasih elusan yang rasanya kayak listrik bagi Jisung.

Tangannya megang penis Jisung buat dikocok sebentar terus diarahin langsung ke hole nya yang dari tadi udah mangap minta dimasukin. “Anghhh jihh... Gak muat Jihh dorong masuk ahh...”

“S-sempit banget kak sakithh...”

“Sambil ciuman ya?”

Jisung ngangguk terus ngedeketin kepala Chenle lagi buat di raup bibirnya. Bisa diliat, bibi Chenle yang emang pada dasarnya udah kayak ceri sekarang tambah merah lagi. Di bagian bawah, Jisung masih berusaha masukin kejantanannya.

“Mhhhhffhhh Jiehhh...” Waktu udah dapet posisinya, Jisung mulai gerak keluar masukin lubang Chenle. Rasanya, punya dia dijepit kuat banget sama dinding rektum kakak kelas manisnya itu.

Waktu gerakan Jisung makin brutal, Chenle megangin ujung meja buat nahan badannya. Mau ngocok punyanya sendiri yang daritadi dibiarin gitu aja, tapi Chenle gabis karena gerakan Jisung gak bisa ditebak. Kadang cepet terus dipelanin lagi, udah gitu dicepetin lagi sampe Chenle hampir teriak tapi Jisung langsung masukin jari tangannya ke mulut Chenle biar di emut aja daripada Chenle nya teriak.

“Shhh kak—”

“Hmphhh jie ahh eunghhh... Dalem banget AKH!” Chenle bisa ngerasain prostatnya ditumbuk berkali-kali sama kepala penis Jisung. Rasanya berkali-kali lipat lebih enak daripada dildo dan kemungkinan besar bakal bikin Chenle kecanduan.

Waktu badan Chenle hampir ngejengkang ke belakang, Jisung langsung sigap ngangkat Chenle dari meja dan ngelanjutin genjotannya sambil di atas gendongan. Chenle cuma bisa nyalurin rasa nikmatnya ke jambakan rambut Jisung sama rematan di belakang kerah.

“Mau dipukul pantatnya Jiehh...” Jisung langsung ngebiarin Chenle turun buat balik lagi ke posisi yang awal. Penisnya mulai dimasukin lagi, sekarang posisinya Jisung nahan badan Chenle yang lagi nungging alis doggy style.

PLAK!

PLAK!

“Ouhhh nghhh Jisunghhh ahh-!”

Jisung ngelus bekas tamparannya di bokong Chenle. Permukaan kulit putih itu ninggalin bekas tangan besar Jisung yang warna merah.

Jisung ngeluarin punyanya terus masukin dalam sekali hentakan yang kenceng banget ngebuat badan Chenle jadi tersentak ke depan. Tamparan di bagian belakangnya masih berjalan atas kemauan Chenle sendiri. Rasanya perih, panas, dan penuh secara bersamaan.

Gak bisa Chenle pungkiri, emang rasanya seenak itu. Fuck dildo, sekarang Chenle gak bakal pake itu lagi buat muasin nafsunya. Kalo ada yang beneran, why not?

“Mau keluar kak ah-”

“J-jangan dulu...”

Jisung ngeluarin penisnya, terus Chenle jadi jongkok siap-siap buka mulutnya buat nampung cairannya Jisung yang udah minta keluar.

“Ahhh...”

Waktu Jisung ngeluarin cairan semennya, pertama kali Jisung ngerasa lega banget. Jujur dia gak pernah ngelakuin ini sama sekali bahkan masturbasi sekalipun. Tapi ini kali pertamanya dan rasanya bikin lega banget waktu udah keluar dan bikin keringetan parah.

Jisung ngebantuin Chenle waktu punya nya selesai dibantuin bersihin sisa-sisanya yang masih nempel. Yang lebih muda langsung nyium bibir candu kakak kelasnya itu yang bikin Jisung pengen lumatin terus setelah kejadian ini.


Chenle nyuci dildo yang abis dia pake di wastafel yang ada di lab terus dimasukin lagi ke dalem lemari yang tadi. Jalannya agak pincang karena bagian belakangnya masih sakit. Mereka berdua udah pake pakaian lengkap lagi, Jisung lagi nungguin Chenle sambil megangin tas nya.

“Naik ya kak?”

Chenle dibuat kaget pas Jisung tiba-tiba jongkok di depannya minta Chenle naik ke punggungnya. Yang namanya juga Chenle pasti awalnya gengsi. Tapi karena keadaan gak mendukung, dia akhirnya nurut sama kata-kata Jisung.

Mereka berdua keluar dari ruang lab abis matiin lampunya lagi. “Kak Chenle pulang sama siapa?” Tanya Jisung buka obrolan biar gak canggung-canggung banget.

“Udah ditungguin supir.”

“Di parkiran?”

Chenle ngangguk. Dia cuma bisa nyenderin kepalanya di bahu Jisung. “Kak Chenle kok malah di lab? Kenapa gak dirumah aja? Bisa aja kakak kepergok tadi kalo gue tadi gak ada.” Nahkan, pipi Chenle jadi nge blush lagi!

“Ck! Di rumah gue diawasin! Mau di kamar juga, mata sama kuping ada dimana-mana. Sekalinya kena gue bakal susah di lepas sama orang tua.”

Jisung cuma ngangguk doang, “hmmm...tapi kak Chenle jangan main sendirian lagi ya? Kalo lagi mau, gue pasti ada.”

“LAGIAN KENAPA SIH LO PAKE NGIKUTIN GUE SEGALA?! SECRET ADMIRER LO? SUKA SAMA GUE?”

Jisung jadi mikirin lagi sama apa yang dibilang Chenle. Bener juga ya kenapa dia malah ngikutin. Tapi dia emang sebenernya tertarik tambah penasaran sama Chenle. Well yang terjadi akhirnya Jisung ikut bantuin Chenle.

“Iya kak, kayaknya gue suka sama lo.” Jawab Jisung dengan yakin sepenuh hati. Dia udah nyimpulin kalo seluk beluk dari rasa penasarannya itu emang rasa suka. “Lo manis kak, muka lo judes pas liatin gue di lapangan waktu, tapi ternyata lo cantik kalo senyum.”

Chenle makin tersipu jadi dia gak berani buat jawab apa-apa. Cuma berharap Jisung gak bisa denger detak jantungnya yang udah gak karuan itu. Kalo misalnya digambarin, mungkin muka Chenle udah semerah tomat terus keluar asep dari kupingnya.

“Hehe... jangan ngeblush kak.”

DIEM JISUNG!

Waktu ada yang manggil nama Chenle, Jisung yakin kalo itu supirnya karena lagi berdiri di sebelah mobil. Langsung aja Jisung jalan ke arah orang yang pake baju item itu.

“Kenapa ini?”

“Tadi kepeleset, kakinya agak keseleo, ini temen yang bantuin.” Kata Chenle ke supirnya biar doi gak panik-panik banget. Bisa aja langsung di laporin ke ayahnya, tapi Chenle yakinin bisa sembuh lagi nanti bakal dipanggil tukang pijet pribadinya.

Sebelum masuk ke mobilnya, Chenle nyempetin diri buat noleh lagi ke Jisung yang masih setia berdiri di sana nungguin dia masuk mobil.

“Ji.”

“Um?”

“Makasih.” Abis itu Chenle langsung masuk ke dalem mobil. Dia gak mau liat Jisung jadi mukanya dia alihin ke sisi jendela mobil yang lain.

Lain hal di luar, Jisung udah senyum sampe matanya ilang. Chenle ternyata emang beneran segemes itu, emang kalo diliat dari cover nya pertama kali aja yang agak julid. Tapi kalo lagi itu, malah image nya berubah lagi jadi binal.

Duh Jisung gak boleh ngebayangin yang tadi, bisa-bisa adeknya tegang lagi kan gak seru banget.

Setelah mobil Chenle ilang dari pandangannya, dia langsung balik buat pulang. Sesekali ngerenggangin badannya karena dia juga ikutan pegel dan bajunya udah bekas keringet. Sampe rumah pokoknya harus langsung bersih-bersih, mandi sore biar seger.


Di sisi yang lain, sebenernya waktu Chenle sama Jisung masih ada di dalem ruang lab, ada yang ngintip. Awalnya pak guru mau balik lagi ke dalem karena masih ada yang ketinggalan, tapi pas balik kaget dong. Bukan nemu yang dia cari malah nemu orang lagi main pedang-pedangan.

Awalnya shock tapi pak guru gak mau ganggu dan tetep keep silent. Pelan-pelan dia buka hp nya, ke kamera terus ngarahin ke Jisung sama Chenle yang lagi desahin nama satu sama lain.

Untung aja kemaren pak guru baru beli hp yang kameranya bahkan bisa foto permukaan bulan. Pokoknya dari jarak segitu pasti hasilnya HD banget lah. Tapi mukanya pasti nanti bakal di full blur sih.

“Wah mantep ini bisa cuan lagi.”


©NOVADELUE_2021🍿

[ Fin. ]

Shotaro yang kini marganya sudah berganti dengan Jung itu berjalan turun dari ranjang, berjalan ke arah pintu kamar dimana suaminya sudah menunggu.

Pintu dibuka, Sungchan masuk tanpa memberi salam apapun langsung memeluk Shotaro dan memojokkannya di dinding.

“Uchan gak jadi lembur?” Tanya Shotaro membuka obrolan.

“Kamu tuh udah tau aku orangnya kepo mampus, kalo digantungin gitu ya mana bisaaaa... Yang ada malah kepikiran jadi gak fokus kerjanya.”

“Ih kan Taro udah bilang besok aja. Besok kan bisa?”

“Noooooo... Cepet kasih tau aku ada apa, atau nanti taro aku hukum ya udah bikin aku ngebut di jalan.”

“UCHAN NGEBUT?! BAHAYA TAUK! AH UDAH LAH TARO NGAMBEK! (╯ರ ~ ರ)╯”

“Yah jangan gitu dong sayanggggg.... Maafin aku tadi buru-buru takut ada apa-apa yang penting dari kamu kan, makanya aku agak ngebut. Lain kali gak gitu lagi deh janji.” Sungchan memberikan peace sign dengan mata yang berbinar agar Shotaro tidak berakhir merajuk.

“Humph! Iya deh Taro kasih tau tapi Sungchan harus bersih-bersih dulu, cuci kaki, cuci muka, gosok gigi—HARUS WANGI POKOKNYA YA!” Ujar Shotaro sambil melepaskan dasi yang Sungchan kenakan, lalu mengecup singkat pipi Sungchan sebelum naik ke tempat tidur.


Setelah selesai melakukan semua yang disuruh suaminya itu, Sungchan udah rapih sama baju tidurnya—atasan kaos putih sama bawahan piyama yang serasih sama punya Shotaro.

“Kamu gak enak badan, sayang?” Sungchan ngeliat Shotaro rebahan selimutan sampe batas leher langsung mengecek suhu tubuhnya dengan menempelkan punggung tangan di dahi Shotaro.

“Engga kok, Taro ngantuk ajaaa...”

“Yaudah kalo ngantuk tidur dong jangan nonton terus. Aku matiin ya tv nya—”

“NOOOUUUUU...! GA BOLEH YA! Taro nonton biar gak ketiduran, emangnya Uchan gak penasaran sama yang mau Taro kasih?”

“Oh penasaran donggg... Mana?”

Shotaro melirik ke jam digital di nakas sebelah tempat tidur. Waktu masih menunjukkan pukul 11.51, belum sesuai dengan jam yang direncanakan. “Iya tapi tunggu dulu.”

“Sampe kepan?”

“10 menit, okee??”

Sungchan sebenarnya tidak punya ide sama sekali dengan apa yang ingin Shotaro tunjukkan itu. Dirinya sudah bela-bela meninggalkan pekerjaan yang segunung itu demi pulang ke rumah bertemu kesayangannya. Sebenarnya selain Shotaro, ia mendapatkan panggilan pulang dari Beomgyu juga. Adiknya itu menyuruh dirinya pulang karena “ada sesuatu yang harus ia ketahui”.

Selang beberapa menit, Shotaro kembali melirik jam dan diam-diam mengeluarkan sesuatu dari laci nakas sewaktu Sungchan sedang serius-seriusnya dengan film di TV.

“Jam nya Uchan masih di servis?”

“Iya, baru selesai minggu depan kayaknya.”

“Kenapa gak beli yang baru aja?”

“Jam yang itu dulu dibeliin daddy, udah lama banget versinya sekarang gak keluar lagi. Aku nemu sih di eBay waktu itu, tapi kan ini dari daddy beda lah, masih bisa di servis juga kan. Kenapa tiba-tiba nanya, hm?” Ucap sang suaminya sambil menyalipkan rambut Shotaro ke telinga.

“Aku waktu itu lagi jalan-jalan bareng Beomgyu, sore-sore di jalan belakang taman sekarang suka ada bazzar makanan gitu tauuu!”

“Oh ya? Kok aku baru tau sih?”

“Iyalah ka Uchan sering berangkat pas langit masih gelap terus pulang pas langit udah gelap lagi. Sibuk banget kayaknya.” Shotaro mempoutkan bibirnya tanda protes beserta perkataannya barusan. Ia sebenarnya tidak masalah dengan Sungchan yang sudah bekerja sekarang, toh ini buat mereka berdua juga. Tapi tetap saja Shotaro sering merasa kesepian, akhir-akhir ini Sungchan lebih sering lembur.

“Taro liat toko jam waktu itu. Beomgyu mau masuk jadi kita masuk berdua. Terus masa Taro liat jam bagus banget, kata mas-mas di tokonya itu edisi terbaru. Taro langsung keinget Uchan, tapi pas mau beli harganya mahal banget!”

“Oh terus terus???”

“Tapi kata Beomgyu beli aja, soalnya jam Uchan kumuh-kumuh semua katanya.”

Sungchan memutar bola matanya malas, ia memang tidak bisa damai dengan Beomgyu. Tetapi yang dibicarakan itu bukan fitnah melainkan fakta. Jam tangan yang Sungchan pakai kebanyakan memang edisi lama. Selain pemberian orang terdekat termasuk keluarganya, Sungchan menyukai model-model jamnya. Ia memiliki satu jam pintar namun hanya dipakai saat berolahraga pagi.

“Terus katanya Beomgyu jam Uchan semuanya emang mahal-mahal. Jam nya juga cocok kalo Uchan pake menurut Beomgyu.”

“Terus? Kamu beli?”

“Iya.”

“KOK? KAMU PAKE UANG KAMU?!”

“Iyaaaa gak papa kan?”

“Wah bener-bener si gyu—”

“Ih jangan salahin Beomgyuuu~” Tangan Shotaro langsung mengalung di leher suaminya, “Taro juga mau beliin buat Uchan kok!”

“Tapi kan itu uang kamu sayangg... Tabungan kamu kan? Jadinya kepake dehh... Harusnya nanti kita aja beli sama-sama, kamu bisa pilihin tapi aku yang bayar.”

“Udah dibeli Uchaannn... Gak bisa dibalikin lagi ih.” Shotaro menyodorkan kotak yang sadari tadi ia pegang, dengan berbalut pita merah itu.

“Ini...apa? Boleh dibuka kah?”

“Iyaaaaa itu buat Uchan...!”

Dibukanya kotak krem itu, bisa dilihat sebuah jam (yang merk nya gak bisa disebutin) terpampang mewah di depan mata Sungchan. Ia mengetahui model ini yang pasti harganya tiga kali lipat lebih mahal dari smartwatch nya. Jujur Sungchan memang menyukai detail jam itu, sangat elegan dan warnanya cocok dengannya.

“Hmmm uchan...suka gak...?” Dengan nada yang agak takut-takut Shotaro bertanya. Takutnya suaminya itu tidak menyukai pilihannya dan berakhir menjadi pajangan tidak terpakai.

“Taro serius ini...”

“Kenapa? Mh! Gak suka ya?”

“Noooo bukan itu sayang.... Ini bagus banget, bisa aku pake kemana-mana nanti, tapi ini pasti mahal kan?”

“Udah Taro bilang tadi, tapi gak papa asal Uchan suka!” Girang Shotaro menunjukkan gigi-gigi putihnya. “Jangan pikirin uangnya, bukannya Taro kalo mau apa-apa selalu minta sama Uchan? Jadi sekarang gantian ehehehe(≧▽≦)”

Sungchan meletakkan jam nya di nakas sebelahnya dan langsung mendekap Shotaro. Nanti saja coba jam-nya, ia ingin memeluk suami mungil menggemaskannya ini. Setiap saat, setiap jam, setiap menit, setiap detik, Shotaro berhasil membuat hatinya tidak karuan dengan wajah yang mirip berang-berang imut itu.

Sungchan mengecupi setiap inci dari wajah Shotaro, membuat sang empu terkikik kegelian.

“Kamu punya siapa sih gemes banget ih sebel pengen gigit!”

“Punya ayah Yuta.”

“Iya tapi ayah Yuta udah ngasih tanggung jawab sekarang ke aku, jadi kamu punya aku—CUMA AKU POKOKNYA!”

Chup!

Chup!

Chup!

Tolong hentikan raksasa yang ingin menggigit pipi Shotaro ini. Shotaro dalam bahaya Aaaaaa! Kedua pipinya sudah menjadi korban Jung Sungchan, baju piyama nya juga semakin lama semakin kusut. Kedua anak adam yang sudah menyandang status pasusu itu asyik bergumul dibalik selimut.

“Uchan tau hari ini hari apa?” Tiba-tiba pertanyaan itu Shotaro lontarkan di tengah-tengah pergumulan mereka.

Melihat jam, “senin?”.

Keduanya saling memandang, mata Sungchan dan Shotaro. Perlahan lelaki berdarah Jepang itu mendekatkan wajahnya hingga tidak ada lagi jarak antara mereka. Kedua belahan kenyak itu bertemu, menghasilkan lumatan-lumatan dengan cinta yang menyelimuti keduanya. Walaupun usia pernikahan mereka hampir genap 2 tahun, rasanya masih sama seperti saat mereka baru-baru menikah. Tiada hari tanpa kasih sayang di antara dua anak adam ini.

Lidah mereka mulai bermain, saling melilit satu sama lain, sudah terbiasa jika saliva mereka pada akhirnya akan menyatu. Seperti layaknya malam-malam yang lalu, suasana di kamar semakin lama semakin memanas. Masih dalam rasa pasangan baru, Sungchan dan Shotaro mendekap tubuh pasangan mereka dengan tambahan sentuhan-sentuhan kecil yang lebih seduktif.

Dirasa pasokan udara menipis, keduanya memutuskan kontak antara dua belan bibir itu. Benang saliva menjadi satu-satunya penghubung yang tersisa. Perasaan yang membara kembali hadir tiap kali keduanya menautkan bibir. Rasanya seperti mereka jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya.

Jam digital menunjukkan pukul tengah malam lebih sepuluh menit. Perlahan yang lebih tua mendekatkan bibirnya ke telinga Sungchan, “Happy birthday my hubby...” Untuk yang kedua kalinya mereka menyatukan bibir. Namun kali ini tangan Sungchan mulai masuk ke dalam piyama milik Shotaro, mengelus permukaan yang rata di sana. Seakan ada listrik yang menyetrum nya, Shotaro akhirnya mengeluarkan erangan kecilnya. Kini lehernya menjadi korban dari cumbuan sang suami. Lidah Sungchan sesekali juga bermain di sana, menyapu leher jenjang kesayangannya yang membuat Shotaro semakin menjadi-jadi.

“Nghhh Uchan t-tunggu sebentar...”

“Ung kenapa?”

“Coba liat di kantong piyama Shotaro ada apa.” Dengan dagunya, Shotaro mengarahkan Sungchan ke kantong yang ada di bagian dada.

Dengan wajah yang bertanya-tanya Sungchan mengambil sesuatu yang ada di sana. Dari bawah sini Shotaro sedang menyaksikan reaksi apa yang akan Sungchan berikan kalan melihat benda tersebut.

“Sayang?”

“Um iya? Ayahnya baby kaget ya?”

Sungchan langsung menegakkan tubuhnya. Jantungnya seketika berdegup kencang melihat benda yang menunjukkan dua garis tersebut. Rasanya campur aduk. Antara kaget, senang dan ingin menangis. Akhirnya seluruh perasaan itu menyebabkan air mata yang membasahi wajah Sungchan.

“Uchaannn jangan nangis aduuuhhh.... Cup cup cup calon ayah masa nangis sihhh...”

Sungchan tidak bisa menyembunyikan air mata bahagianya itu. Sedangkan Shotaro sudah memeluk dirinya, memberikan comfort sebisa mungkin untuk menenangkan Sungchan.

“Makasih sayang...” Masih dalam isakan nya, Sungchan menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Shotaro. Ia tidak percaya bahwa hari yang ditunggu-tunggu datang saat ini. Ia menyeka air matanya dan langsung memberikan banyak kecupan manis di pipi serta dahi Shotaro.

Mengetahui fakta bahwa mereka tidak berdua lagi. Kini ada seseorang di dalam perut Shotaro yang tentunya masih sangat kecil. Sungchan merebahkan tubuh Shotaro dengan perlahan seakan Shotaro adalah barang yang mudah rusak. Ia mengecup dahi, lalu turun, ke leher lalu ke perut ratanya. Disingkapnya sedikit baju piyama itu, dan menempelkan bibirnya tepat di atas perut Shotaro.

“Taro masih banyak yang lain dan hasilnya positif semua hehehehe... Taro juga gak percaya waktu pertama kali nyoba, jadi beli banyak. Dan hasilnya positif semua yeay!”

“Kamu itu salah satu berkat paling berharga yang pernah aku dapet. Aku janji, dalam hidup dan mati aku bakal jagain kalian. Bahkan kalaupun suatu saat nanti aku udah keriput dan gak bisa jalan, gak bakal aku biarin ada seorangpun yang ngerampas kalian dari hidup aku.”

“Hmmm... Uchan barusan ngarang itu ya?”

“Noooo... Aku cuma bilang apa yang ada di dalem hati aku sekarang.” Tangannya mengelus wajah kesayangannya itu, mereka berdua bertatapan penuh kebahagiaan. Sebagai calon orang tua yang sebentar lagi akan bertemu sang buah hati, kini keduanya sangat menantikan saat dimana orang yang akan menjadi tanggung jawab dan mereka jaga sampai mati hadir ke dunia.

“Aku gak tau harus bilang aku sayang kamu berapa kali dan gimana. Yang pasti semuanya gak bisa aku ungkapin pake kata-kata. Aku benar-benar speechless, pengen aku keluarin semuanya tapi aku terlanjur bahagia banget hari ini.”

“Taro juga sayang uchan hihi!(・◡・)”

Chu~


©NOVADELUE_2021🍿

Shotaro yang kini marganya sudah berganti dengan Jung itu berjalan turun dari ranjang, berjalan ke arah pintu kamar dimana suaminya sudah menunggu.

Pintu dibuka, Sungchan masuk tanpa memberi salam apapun langsung memeluk Shotaro dan memojokkannya di dinding.

“Uchan gak jadi lembur?” Tanya Shotaro membuka obrolan.

“Kamu tuh udah tau aku orangnya kepo mampus, kalo digantungin gitu ya mana bisaaaa... Yang ada malah kepikiran jadi gak fokus kerjanya.”

“Ih kan Taro udah bilang besok aja. Besok kan bisa?”

“Noooooo... Cepet kasih tau aku ada apa, atau nanti taro aku hukum ya udah bikin aku ngebut di jalan.”

“UCHAN NGEBUT?! BAHAYA TAUK! AH UDAH LAH TARO NGAMBEK! (╯ರ ~ ರ)╯”

“Yah jangan gitu dong sayanggggg.... Maafin aku tadi buru-buru takut ada apa-apa yang penting dari kamu kan, makanya aku agak ngebut. Lain kali gak gitu lagi deh janji.” Sungchan memberikan peace sign dengan mata yang berbinar agar Shotaro tidak berakhir merajuk.

“Humph! Iya deh Taro kasih tau tapi Sungchan harus bersih-bersih dulu, cuci kaki, cuci muka, gosok gigi—HARUS WANGI POKOKNYA YA!” Ujar Shotaro sambil melepaskan dasi yang Sungchan kenakan, lalu mengecup singkat pipi Sungchan sebelum naik ke tempat tidur.


Setelah selesai melakukan semua yang disuruh suaminya itu, Sungchan udah rapih sama baju tidurnya—atasan kaos putih sama bawahan piyama yang serasih sama punya Shotaro.

“Kamu gak enak badan, sayang?” Sungchan ngeliat Shotaro rebahan selimutan sampe batas leher langsung mengecek suhu tubuhnya dengan menempelkan punggung tangan di dahi Shotaro.

“Engga kok, Taro ngantuk ajaaa...”

“Yaudah kalo ngantuk tidur dong jangan nonton terus. Aku matiin ya tv nya—”

“NOOOUUUUU...! GA BOLEH YA! Taro nonton biar gak ketiduran, emangnya Uchan gak penasaran sama yang mau Taro kasih?”

“Oh penasaran donggg... Mana?”

Shotaro melirik ke jam digital di nakas sebelah tempat tidur. Waktu masih menunjukkan pukul 11.51, belum sesuai dengan jam yang direncanakan. “Iya tapi tunggu dulu.”

“Sampe kepan?”

“10 menit, okee??”

Sungchan sebenarnya tidak punya ide sama sekali dengan apa yang ingin Shotaro tunjukkan itu. Dirinya sudah bela-bela meninggalkan pekerjaan yang segunung itu demi pulang ke rumah bertemu kesayangannya. Sebenarnya selain Shotaro, ia mendapatkan panggilan pulang dari Beomgyu juga. Adiknya itu menyuruh dirinya pulang karena “ada sesuatu yang harus ia ketahui”.

Selang beberapa menit, Shotaro kembali melirik jam dan diam-diam mengeluarkan sesuatu dari laci nakas sewaktu Sungchan sedang serius-seriusnya dengan film di TV.

“Jam nya Uchan masih di servis?”

“Iya, baru selesai minggu depan kayaknya.”

“Kenapa gak beli yang baru aja?”

“Jam yang itu dulu dibeliin daddy, udah lama banget versinya sekarang gak keluar lagi. Aku nemu sih di eBay waktu itu, tapi kan ini dari daddy beda lah, masih bisa di servis juga kan. Kenapa tiba-tiba nanya, hm?” Ucap sang suaminya sambil menyalipkan rambut Shotaro ke telinga.

“Aku waktu itu lagi jalan-jalan bareng Beomgyu, sore-sore di jalan belakang taman sekarang suka ada bazzar makanan gitu tauuu!”

“Oh ya? Kok aku baru tau sih?”

“Iyalah ka Uchan sering berangkat pas langit masih gelap terus pulang pas langit udah gelap lagi. Sibuk banget kayaknya.” Shotaro mempoutkan bibirnya tanda protes beserta perkataannya barusan. Ia sebenarnya tidak masalah dengan Sungchan yang sudah bekerja sekarang, toh ini buat mereka berdua juga. Tapi tetap saja Shotaro sering merasa kesepian, akhir-akhir ini Sungchan lebih sering lembur.

“Taro liat toko jam waktu itu. Beomgyu mau masuk jadi kita masuk berdua. Terus masa Taro liat jam bagus banget, kata mas-mas di tokonya itu edisi terbaru. Taro langsung keinget Uchan, tapi pas mau beli harganya mahal banget!”

“Oh terus terus???”

“Tapi kata Beomgyu beli aja, soalnya jam Uchan kumuh-kumuh semua katanya.”

Sungchan memutar bola matanya malas, ia memang tidak bisa damai dengan Beomgyu. Tetapi yang dibicarakan itu bukan fitnah melainkan fakta. Jam tangan yang Sungchan pakai kebanyakan memang edisi lama. Selain pemberian orang terdekat termasuk keluarganya, Sungchan menyukai model-model jamnya. Ia memiliki satu jam pintar namun hanya dipakai saat berolahraga pagi.

“Terus katanya Beomgyu jam Uchan semuanya emang mahal-mahal. Jam nya juga cocok kalo Uchan pake menurut Beomgyu.”

“Terus? Kamu beli?”

“Iya.”

“KOK? KAMU PAKE UANG KAMU?!”

“Iyaaaa gak papa kan?”

“Wah bener-bener si gyu—”

“Ih jangan salahin Beomgyuuu~” Tangan Shotaro langsung mengalung di leher suaminya, “Taro juga mau beliin buat Uchan kok!”

“Tapi kan itu uang kamu sayangg... Tabungan kamu kan? Jadinya kepake dehh... Harusnya nanti kita aja beli sama-sama, kamu bisa pilihin tapi aku yang bayar.”

“Udah dibeli Uchaannn... Gak bisa dibalikin lagi ih.” Shotaro menyodorkan kotak yang sadari tadi ia pegang, dengan berbalut pita merah itu.

“Ini...apa? Boleh dibuka kah?”

“Iyaaaaa itu buat Uchan...!”

Dibukanya kotak krem itu, bisa dilihat sebuah jam (yang merk nya gak bisa disebutin) terpampang mewah di depan mata Sungchan. Ia mengetahui model ini yang pasti harganya tiga kali lipat lebih mahal dari smartwatch nya. Jujur Sungchan memang menyukai detail jam itu, sangat elegan dan warnanya cocok dengannya.

“Hmmm uchan...suka gak...?” Dengan nada yang agak takut-takut Shotaro bertanya. Takutnya suaminya itu tidak menyukai pilihannya dan berakhir menjadi pajangan tidak terpakai.

“Taro serius ini...”

“Kenapa? Mh! Gak suka ya?”

“Noooo bukan itu sayang.... Ini bagus banget, bisa aku pake kemana-mana nanti, tapi ini pasti mahal kan?”

“Udah Taro bilang tadi, tapi gak papa asal Uchan suka!” Girang Shotaro menunjukkan gigi-gigi putihnya. “Jangan pikirin uangnya, bukannya Taro kalo mau apa-apa selalu minta sama Uchan? Jadi sekarang gantian ehehehe(≧▽≦)”

Sungchan meletakkan jam nya di nakas sebelahnya dan langsung mendekap Shotaro. Nanti saja coba jam-nya, ia ingin memeluk suami mungil menggemaskannya ini. Setiap saat, setiap jam, setiap menit, setiap detik, Shotaro berhasil membuat hatinya tidak karuan dengan wajah yang mirip berang-berang imut itu.

Sungchan mengecupi setiap inci dari wajah Shotaro, membuat sang empu terkikik kegelian.

“Kamu punya siapa sih gemes banget ih sebel pengen gigit!”

“Punya ayah Yuta.”

“Iya tapi ayah Yuta udah ngasih tanggung jawab sekarang ke aku, jadi kamu punya aku—CUMA AKU POKOKNYA!”

Chup!

Chup!

Chup!

Tolong hentikan raksasa yang ingin menggigit pipi Shotaro ini. Shotaro dalam bahaya Aaaaaa! Kedua pipinya sudah menjadi korban Jung Sungchan, baju piyama nya juga semakin lama semakin kusut. Kedua anak adam yang sudah menyandang status pasusu itu asyik bergumul dibalik selimut.

“Uchan tau hari ini hari apa?” Tiba-tiba pertanyaan itu Shotaro lontarkan di tengah-tengah pergumulan mereka.

Melihat jam, “senin?”.

Keduanya saling memandang, mata Sungchan dan Shotaro. Perlahan lelaki berdarah Jepang itu mendekatkan wajahnya hingga tidak ada lagi jarak antara mereka. Kedua belahan kenyak itu bertemu, menghasilkan lumatan-lumatan dengan cinta yang menyelimuti keduanya. Walaupun usia pernikahan mereka hampir genap 2 tahun, rasanya masih sama seperti saat mereka baru-baru menikah. Tiada hari tanpa kasih sayang di antara dua anak adam ini.

Lidah mereka mulai bermain, saling melilit satu sama lain, sudah terbiasa jika saliva mereka pada akhirnya akan menyatu. Seperti layaknya malam-malam yang lalu, suasana di kamar semakin lama semakin memanas. Masih dalam rasa pasangan baru, Sungchan dan Shotaro mendekap tubuh pasangan mereka dengan tambahan sentuhan-sentuhan kecil yang lebih seduktif.

Dirasa pasokan udara menipis, keduanya memutuskan kontak antara dua belan bibir itu. Benang saliva menjadi satu-satunya penghubung yang tersisa. Perasaan yang membara kembali hadir tiap kali keduanya menautkan bibir. Rasanya seperti mereka jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya.

Jam digital menunjukkan pukul tengah malam lebih sepuluh menit. Perlahan yang lebih tua mendekatkan bibirnya ke telinga Sungchan, “Happy birthday my hubby...” Untuk yang kedua kalinya mereka menyatukan bibir. Namun kali ini tangan Sungchan mulai masuk ke dalam piyama milik Shotaro, mengelus permukaan yang rata di sana. Seakan ada listrik yang menyetrum nya, Shotaro akhirnya mengeluarkan erangan kecilnya. Kini lehernya menjadi korban dari cumbuan sang suami. Lidah Sungchan sesekali juga bermain di sana, menyapu leher jenjang kesayangannya yang membuat Shotaro semakin menjadi-jadi.

“Nghhh Uchan t-tunggu sebentar...”

“Ung kenapa?”

“Coba liat di kantong piyama Shotaro ada apa.” Dengan dagunya, Shotaro mengarahkan Sungchan ke kantong yang ada di bagian dada.

Dengan wajah yang bertanya-tanya Sungchan mengambil sesuatu yang ada di sana. Dari bawah sini Shotaro sedang menyaksikan reaksi apa yang akan Sungchan berikan kalan melihat benda tersebut.

“Sayang?”

“Um iya? Ayahnya baby kaget ya?”

Sungchan langsung menegakkan tubuhnya. Jantungnya seketika berdegup kencang melihat benda yang menunjukkan dua garis tersebut. Rasanya campur aduk. Antara kaget, senang dan ingin menangis. Akhirnya seluruh perasaan itu menyebabkan air mata yang membasahi wajah Sungchan.

“Uchaannn jangan nangis aduuuhhh.... Cup cup cup calon ayah masa nangis sihhh...”

Sungchan tidak bisa menyembunyikan air mata bahagianya itu. Sedangkan Shotaro sudah memeluk dirinya, memberikan comfort sebisa mungkin untuk menenangkan Sungchan.

“Makasih sayang...” Masih dalam isakan nya, Sungchan menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Shotaro. Ia tidak percaya bahwa hari yang ditunggu-tunggu datang saat ini. Ia menyeka air matanya dan langsung memberikan banyak kecupan manis di pipi serta dahi Shotaro.

Mengetahui fakta bahwa mereka tidak berdua lagi. Kini ada seseorang di dalam perut Shotaro yang tentunya masih sangat kecil. Sungchan merebahkan tubuh Shotaro dengan perlahan seakan Shotaro adalah barang yang mudah rusak. Ia mengecup dahi, lalu turun, ke leher lalu ke perut ratanya. Disingkapnya sedikit baju piyama itu, dan menempelkan bibirnya tepat di atas perut Shotaro.

“Taro masih banyak yang lain dan hasilnya positif semua hehehehe... Taro juga gak percaya waktu pertama kali nyoba, jadi beli banyak. Dan hasilnya positif semua yeay!”

“Kamu itu salah satu berkat paling berharga yang pernah aku dapet. Aku janji, dalam hidup dan mati aku bakal jagain kalian. Bahkan kalaupun suatu saat nanti aku udah keriput dan gak bisa jalan, gak bakal aku biarin ada seorangpun yang ngerampas kalian dari hidup aku.”

“Hmmm... Uchan barusan ngarang itu ya?”

“Noooo... Aku cuma bilang apa yang ada di dalem hati aku sekarang.” Tangannya mengelus wajah kesayangannya itu, mereka berdua bertatapan penuh kebahagiaan. Sebagai calon orang tua yang sebentar lagi akan bertemu sang buah hati, kini keduanya sangat menantikan saat dimana orang yang akan menjadi tanggung jawab dan mereka jaga sampai mati hadir ke dunia.

“Aku gak tau harus bilang aku sayang kamu berapa kali dan gimana. Yang pasti semuanya gak bisa aku ungkapin pake kata-kata. Aku benar-benar speechless, pengen aku keluarin semuanya tapi aku terlanjur bahagia bangeg hari ini.”

“Taro juga sayang uchan hihi!(・◡・)”

Chu~


©NOVADELUE_2021🍿

Doyoung berdiri tidak sabar di atas trotoar menunggu lampu pejalan kaki menyala berwarna hijau. Ia merutuki dirinya sendiri karena telat bangun lima belas menit yang membuatnya telat datang ke kantor jika ia memutuskan memakan sarapannya seperti biasa. Tapi tidak, bagi ini Doyoung hanya makan sepotong roti tawar yang diolesi mentega asal ditambah sedikit gula diatasnya.

Tidak peduli dengan orang-orang di depannya, Doyoung lebih memilih untuk menyela dengan sedikit berlari saat menyebrang. Menjaga keseimbangan roti ditangannya agar tidak jatuh, karena sayang sekali jika sarapannya itu ia sia-siakan. Di kantor nanti kecil kemungkinannya untuk bisa sarapan terlebih dahulu. Ingatlah, pekerjaanmu sudah menumpuk di atas meja.

“Ah sial.” Doyoung akhirnya sampai di pintu lift tapi sayangnya terlambat karena sebelum ia masuk lift sudah penuh dan orang yang terakhir masuk adalah Yara, musuk bebuyutannya yang memberikan dia tatapan mengejek. “Dasar wanita itu!” Geram Doyoung dibuatnya sambil membenarkan posisi kacamata. Dan sekarang ia harus menunggu lift satunya yang sekarang sedang berada di lantai paling atas, akan memakan waktu.

“Ada apa dengan mukamu itu?” Seseorang datang dari arah belakang seakan berbicara pada dirinya.

“Oh s-selamat pagi sunbae...” Ucap Doyoung membukukan tubuhnya memberi hormat kepada sang senior.

“Telat? Lagi?”

“Uh iya...”

“Jangan tunjukkan muka seperti itu padaku, kau terlihat sangat kusut. Kita hanya perlu menunggu lift berikutnya, jangan khawatir. Aku juga telat jika kau sadar.”

Ya benar, seniornya itu datang tak lama setelahnya, itu berarti ia tidak datang terlambat sendirian hari ini.

Daripada berbincang lebih jauh, Doyoung lebih memilih menghabiskan sarapannya yang masih tinggal setengah itu. Seniornya ini benar-benar membuatnya tidak tenang! Doyoung ingin cepat-cepat beranjak dari sana. Ia menatap roti menyedihkan yang ia makan. Sungguh tidak elit sekali sarapannya itu, walaupun ia suka tapi Doyoung juga malu di sebelahnya ini ada si senior tampan.

Alhasil Doyoung cepat-cepat menghabiskan sarapannya sebelum sang senior melihat roti tipisnya itu.

“Bukankah menyenangkan jika sarapan telur mata sapi di Kantin?”

“Uhuk uhuk!” Benar-benar seniornya ini! Doyoung berusaha keras mengunyah roti yang memenuhi mulutnya namun suara sang senior membuatnya tersedak.

“Hei apakah kau tidak apa-apa?”

“Y-ya...” Doyoung menenangkan dirinya, dan sialnya lagi botol air putih miliknya tertinggal di meja kerja, lupa dibawa pulang kemarin.

“Butuh minum?”

“Aku tidak apa—uhuk uhuk!”

Sang senior mencari botol minum yang ia bawa. Saat berhasil mendapatkannya, ia menoleh kembali ke arag Doyoung namun anak itu tidak lagi ada di sana. Mencari ke sekitar, mengerutkan dahi tetapi sosok laki-laki kacamata itu tidak terlihat di manapun.

Sedangkan di sisi lain, Doyoung tengah mengatur napasnya, bersandar di dinding tangga darurat. Ia lari terbirit-birit karena terlalu malu. Jantungnya berdegup kencang. Jarang sekali ia berbicara santai sebanyak itu dengan seniornya. Biasanya hanya masalah pekerjaan, tetapi kejadian pagi ini perlu ia pamerkan kepada Jungwoo. Ia akan memberitahu sahabatnya itu bahwa pagi ini ia nyaris masuk ke ruang kantor bersama seniornya itu.

Dan sekarang yang menjadi masalah adalah, ruang kantornya ada di lantai sebelas, dan ia harus naik tangga untuk sampai di sana. Bisa saja nanti saat di lantai dua atau tiga ia memakai lift, namun tetap waspada oleh keberadaan seniornya.


“Cepat makan itu, atau aku akan menjadikanmu gantungan baju!” Yang bawel itu adalah Jungwoo, sahabat Doyoung. Setelah mengetahui sahabatnya itu belum sarapan, Jungwoo menjadi kesal. Ia tau badan Doyoung hampir mirip dengan setangkai sapu lidi, tapi makannya tetap seperti orang diet.

“Terima kasih kawanku.” Seperti biasa, Doyoung memamerkan senyum kelincinya.

“Jika kau seperti ini lagi lebih baik aku resign saja jadi kawanmu!” Ujar Jungwoo dalam maksud lainnya ia sangat khawatir.

“Ish jahatnya...”

Jungwoo memutar bola matanya malas lalu kembali ke meja kerjanya untuk menyemprot tanaman hias miliknya. Dilihat-lihat dari gerak-gerik Doyoung hari ini, ia terlihat seperti habis menang lotre.

“Ada apa gerangan kawanku? Apakah tokoh utama drama favorit mu itu sudah menyatakan perasaannya?” Ah ya, Doyoung ini adalah seorang drama series addict. Bahkan Jungwoo sudah bosan dan hapal ocehan Doyoung tentang series yang sedang ia tonton.

“Tentu tidak. Coba tebak lagi!”

Jungwoo mencebik. Doyoung tinggal dengan mudah bilang apa yang membuatnya senang hari ini, namun kutu buku itu hobi sekali memberikan kuis atau lebuh tepatnya tebak-tebakan dadakan.

“Apa? Kau dapat sugar daddy tampan?”

“Apa?! Tidak! Jangan samakan aku denganmu!”

“Baiklah aku menyerah. Cepat beritahu aku! Atau akan akan benar merubahmu menjadi gantungan baju.”

“Bagaimana caramu mengubahku menjadi gantungan baju? Apakah kau penyihir paruh waktu? Dimana tongkatmu?”

“CEPAT BERITAHU ATAU AKU AKAN MELEMPAR GUNTING INI.”

“Woah chill bro, kau akan terjerat pasal percobaan pembunuhan.”

Menjadi hiburan tersendiri saat melihat sahabatnya itu kesal. Lucu menurut Doyoung, apalagi melihat Jungwoo mengeluarkan raut wajah seperti itu. “Baiklah-baiklah... Jadi tadi pagi aku telat—”

“Ya aku tahu, cepat ke bagian intinya.”

“Aku hampir masuk bersama Taeil Sunbae. Kebetulan ia juga telat, dan kami bertemu saat hendak masuk lift. Tetapi sayangnya aku malah kabur ke tangga darurat.”

“YAK! KAU BODOH!”

“Mengaca bodoh!”

Untung saja ini sedang jam istirahat, jadi jika mereka ribut sekarang tidak terlalu masalah. Di meja lain orang-orang juga sedang asyik mengobrol dengan rekannya.

“Tapi tak apa, setidaknya aku berhasil mengobrol dengan Taeil sunbae! Setidaknya kau harus bangga dengan temanmu!”

“Lebih baik jika kau benar-benar masuk bersama Taeil sunbae. Jika hanya seperti itu, aku juga bisa melakukannya!”

Tak lama setelah itu, segerombolan orang memasuki kantor dengan pakaian serba rapih. Beberapa atasan termasuk Taeil berjalan memasuki ruang rapat bersama orang-orang tadi.

“Hei shhtt... Siapa mereka? Kau tahu?” Doyoung menghentikan ucapan Jungwoo sesaat.

“Tidak. Mereka semua terlihat seperti Intel—menurutku.” Jungwoo ikut menoleh ke arah yang dimaksud Doyoung. “Tapi sepertinya aku pernah lihat orang yang berjalan paling depan.”

“Iya kan? Aku juga. Apakah kita harus ikut masuk juga?”

“Tidak tahu—”

“Semuanya, masuk ke ruang rapat sekarang. Tolong kabari semua yang diluar kantor juga.” Ucap asisten atasan mereka.

Tentu Doyoung dan Jungwoo juga ikut serta. Tetapi mereka masih penasaran apa yang terjadi dan siapa yang baru saja datang. “Hey bung, siapa yang datang itu?” Tanya Jungwoo.

“Lee Taeyong.”

Sepertinya ada hal serius yang terjadi, sampai-sampai wakil SNI datang kemari. Terakhir saat Jung Jehyuk dan Jung Nahyun gugur di tugas terakhir mereka.


Semua anggota sedang beristirahat. Mereka masih akan melanjutkan rapat mereka setelah setengah jam beristirahat. Lee Taeyong sang wakil pemimpin SNI sedang berdiri menatap keluar jendela. Satu agent nya dinyatakan hilang di luat tugas. Taeyong sangat gusar, apalagi saat mengetahui semua itu ada hubungannya dengan sang kekasih.

Taeyong sempat marah besar tentunya. Pacarnya itu memang sudah naik tingkat, tapi itu bukan berarti bisa semena-mena memberikan tugas. Dan sekarang Na Jaemin dinyatakan hilang, bahkan cip pelacak yang memang ditanam pada semua agent tidak terdeteksi. Kekasihnya menceritakan semuanya. Ia juga tidak memaksa namun menawarkan. Dan dengan entengnya Jaemin menerima tawaran tugas pribadi itu.

Namun ia percaya bahwa agent Na masih hidup. Lelaki itu sangat terlatih dan berpengalaman selama bertahun-tahun. Tetapi tetap saja aja ketakutan di dalam diri Taeyong. Takut jika kecelakaan pasangan Jung akan terjadi pada Na Jaemin.

Kekasihnya menawarkan diri untuk turun tangan guna bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan, namun Taeyong melarangnya dengan alasan masih berbahaya. Orang yang mereka hadapi saat ini pasti sudah bersiaga jika Na Jaemin benar tertangkap. Orang ini tidak main-main. Walaupun Taeyong menganggapnya hanya anak kecil, namun kekasihnya itu memperingati bahwa sang adik ini cukup berbahaya.

Taeyong berbalik, ia hendak pergi untuk merokok. Saat di depan pintu lift, ia bersebalahan dengan seorang pemuda yang memakai kacamata sambil membawa beberapa berkas di dalam kardus. “Perlu bantuan?” Tawar Taeyong.

“Oh? Eh tidak terima kasih.” Jawab Doyoung kikuk.

“Kau yang membantu moderator rapat kan?”

“Iya... Begitulah...”

“Kim Doyoung.”

Doyoung menoleh dengan terkejut saat Lee Taeyong menyebutkan nama serta marganya. “What the... Bagaimana ia tahu namaku?!?” Batin Doyoung dengan sejuta pertanyaan di kepalanya.

“Apakah aku bisa mempercayaimu?” Tembak Taeyong tiba-tiba. Doyoung semakin kebingungan dengan apa yang dimaksud sebenarnya. Kepercayaan? Dalam konteks apa?

“Aku bisa membuat kopi, dengan takaran gula yang pas, semua atasan menyukainya.” Jawab Doyoung. Ia memang terkenal si juru kopi di kantor. Para bos selalu meminta kopi racikannya.

“Kkkk... Bukan itu maksudku..” Taeyong terkekeh dengan kelakuan polos Doyoung. “Aku ingin memberimu tugas. Dan aku ingin mempercayaimu.”

“Tugas?!” Doyoung meletakan kardus yang ia bawa di lantai. “Bisa! Sangat bisa! Kau bisa mempercayaiku.” Senyumnya merekah, Doyoung benar-benar bersemangat.

Taeyong mengeluarkan handphone miliknya, lalu melakukan sesuatu yang Doyoung tidak tahu sama sekali. “Coba lihat handphone-mu, apakah sudah masuk?”

Doyoung merasakan getaran di saku celana, buru-buru mengeluarkan benda pipih itu. “Ini...dibuka?” Tanya Doyoung.

“Silahkan. Itu tugasmu, Kim.”

Di sana terdapat dokumen berisi biodata seseorang. Doyoung benar-benar tidak mengenal orang di foto itu, dan membuang perhatian kepada Taeyong, “em... Ini apa?”

Pintu lift terbuka, mereka berdua masuk bersama-sama. Taeyong membantu Doyoung memasukkan kardus bawaannya saat lelaki berkacamata itu masih memegang handphone-nya.

“Maafkan aku.”

“Coba lihat dulu itu, kau akan membutuhkannya.”

“Ini...tugas? Apa maksudnya?”

“Itu adalah orang yang diduga menculik agent Na.”

“Mukanya tampak tidak asing.” Ujar Doyoung dengan suara sekecil-kecilnya, namhn Taeyong masih bisa mendengar itu.

“Adik Jung Jaehyun.”

Doyoung membolakan matanya, terkejut dengan apa yang ia dengar sekaligus memproses informasi yang tertulis. “Ini cukup rumit. Memang awalnya bukan tugas langsung yang wajib, ini masalah pribadi. Namun aku tidak mau kejadian waktu itu terjadi lagi. Agent Na harus kembali, kita harus mencarinya. Aku sudah menganggap Jaemin seperti adik sendiri, aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.”

Doyoung bisa mendengar sebuah ketulusan di sana. Mata Taeyong memberitahu semua kebenarannya. “Bahkan saat kau belum bekerja disini, SNI dan NFI sudah berkeja sama. Aku sangat mempercayai kalian.”

“Tapi...kenapa harus aku?”

“Apakah kau tidak bosan hanya membuat kopi untuk atasanmu? Turunlah sesekali ke lapangan.”

“Bukan itu. Maksudku, bagaimana jika aku menghianatimu? Aku bisa saja orang jahat yang sedang menyamar. Aku bisa saja membawa semua berkas ini kabur.”

Pintu lift terbuka, menunjukkan angka 11. Doyoung sudah sampai di tujuan akhir lift nya.

“Kau harus bekerja sama dengan Moon Taeil.”

“T-tapi aku hanyalah—”

“Cepat, pintu lift akan tertutup lagi. Aku akan berada di rooftop.” Taeyong mendorong pelan Doyoung keluar dari lift, meninggalkan lelaki jangkung itu dengan tugas penting mendadak.

“Aish! Apa yang aku harus lakukan?” Panik. Panik. Panik!


Ini adalah tugas yang cukup berat untuk Neo Federal Investigation. Mereka diberi tugas langsung oleh Lee Taeyong guna membantu mencari keberadaan agent mereka, Na Jaemin. Seluruh tim dikerahkan, tugas sudah dibagi masing-masing.

“Moon Taeil, kau harus mencari rekan.”

“Tapi aku terbiasa bekerja sendiri.”

“Hyung, kau tahu ini bukan masalah sepele. Bisa saja kecelakaan itu terjadi lagi. Jaemin sangat terancam. Orang ini tidak main-main. Walaupun aku belum yakin bahwa dia adalah dalang semua ini. Mungkin saja ada sesuatu yang lebib besar?” Ujar Taeyong.

“Dia hanya bocah yang baru melalui masa pubertas.”

“Moon, jangan memandang dia rendah. Ini semua masih perkiraan. Zero adalah bulannya, dia bumi, dan ada kemungkinan ada matahari yang belum diketahui. Kau ingat kasus waktu itu kan? Anak itu benar-benar dipenuhi dendam.”

Taeil menemukan ada benarnya juga dengan apa yang dikatakan Taeyong. Sesuatu yang terlihat kecil dan dianggap sepele malah membuat celaka—sampai melahirkan dendam besar ini. Mereka harus belajar dari pengalaman.

“Huft... Baiklah. Tapi siapa yang harus aku pilih? Kau punya rekomendasi?”

“Hei, ini kantormu, mengapa bertanya?”

Taeil melihat sekitarnya. Para anggota sedang sibuk dengan pekerjaan mereka. “Bagaimana dengan Jungwoo?”

“Kau gila?! Pekerjaannya sudah seperti gunung mau kau bebankan lagi dengan menjadi rekanmu?” Omel Taeyong.

Dalam lubuk hati terdalamnya Taeyong berharap Taeil akan memilih Doyoung, walaupun ia tidak yakin seratus persen. Dengan itu, Taeyong akhirnya berdiri dari kursinya, “perhatian semuanya.” Semua mata tertuju pada satu orang yang sama, mereka semua menunggu kelanjutan ucapan Taeyong, “beberapa dari kalian masih kosong pekerjaan, yang berkehendak menjadi rekan Taeil tolong angkat tangan.”

Mereka semua tahu bahwa Taeil ditugaskan untuk melacak. Dan semuanya tahu bahwa itu bukanlah tugas yang mudah. Namun karena itu Taeil, beberapa orang mengangkat tangannya—termasuk seorang wanita yang berdiri di dekat monitor, Yara. “Saya bersedia pak!” Ujarnya lantang percaya diri.

Taeyong memberikan isyarat pada Doyoung yang berdiri di ujung ruangan. Ingat perkataannya bahwa Doyoung harus sebisa mungkin berkerja sama dengan Taeil. Ia bisa saja memilih langsung, namun ini cukup menyenangkan. Bagaimana jika seorang anggota yang benar-benar jarang terlihat keberadaannya tiba-tiba terlibat karakter utama dalam tugas besar, dan Doyoung benar-benar melakukannya. Ia mengangkat tangan.

Awalnya Taeil agak bingung, dan tidak berekspetasi Taeyong akan melakukan hak yang tadi. Namun melihat laki-laki yang berdiri cukup terhalang oleh orang-orang dalam ruangan, namun pandangan Taeil langsung terpaku ke sana.

“Aku akan pergi dengannya, Kim Doyoung.” Senyum kecil merekah di bibirnya, walaupun ia sedikit khawatir membawa Doyoung ke dalam misi utamanya.

Dan begitulah Taeyong percaya dengan Doyoung. Ia sangat yakin bahwa dirinya dan Doyoung pernah bertemu waktu itu, namun sepertinya Doyoung tidak mengingatnya. Taeyeon ingat saat Doyoung hendak melamar pekerjaan, penampilannya agak sedikit berbeda tapi Taeyong yakin seyakin-yakinnya bahwa itu si kacamata, Kim Doyoung. Mulai dari situ Taeyong mencari tahu, dan memberikan tugas pertama Doyoung.


Tugas ini membuat Doyoung harus meninggalkan rumahnya selama beberapa hari. Ikan-ikan peliharanya sudah ia titipkan ke tetangga terdekat, lalu ia pergi dengan membawa beberapa pakaian bersama Taeil. Keduanya akan menempuh perjalanan cukup jauh keluar Kota, naik mobil yang sekarang sedang Taeil kendarai.

“Doyoung, kau tidak tidur?”

“Aku tidak mau meninggalkan sunbae menyetir sendirian.”

Taeil tersenyum kecil manis, ia menyetir dengan satu tangannya secara santai, “baiklah, lagipula sebentar lagi kita akan sampai ke penginapan.”

Mendengar itu Doyoung sedikit tersipu—jangan memikirkan yang tidak-tidak dasar Kim mesum Doyoung!

Ia merutuki pikirannya sendiri.

Mereka berdua akan memiliki kamar masing-masing, Doyoung yakin itu. Sangat yakin! Yang ia perlu hanyalah tetap berpikir positif.

Mereka sampai di sebuah motel pinggir kota, Taeil langsung memarkirkan mobilnya di sana. Keduanya keluar sambil membawa barang masing-masing, memasuki motel dengan lampu merah yang menerangi tulisan tempat itu.

“Permisi, aku ingin memesan dua kamar—”

“Kamar di motel kami tinggal satu.” Ucap sang penjaga memotong omongan Taeil dengan muka menyebalkan yang minta ditinju itu. Taeil yakin mengapa motel ini diberi bintang tiga karena resepsionis mereka sangat tidak ramah.

“B-baiklah aku akan ambil yang itu.” Taeil memberikan sejumlah uang yang diterima tidak bersahabat oleh sang resepsionis menyebalkan, dan ia diberikan kunci kamar bomor 17.

“Ayo.” Taeil mengajak Doyoung yang sedaru tadi menunggu sambil melihat-lihat majalah tua yang sepertinya tidak pernah diganti di ruang tunggu tamu.

“Kunci kamarku?”

“Tidak ada, kita sekamar.”

“Apa?!”

“Shhtt jangan kencang-kencang!” Dengan cepat Taeil membekap mulut Doyoung. “Mereka hanya punya satu kamar yang kosong.”

Doyoung awalnya tidak percaya karena mobil yang terparkir di depan motel tidak banyak jadi tidak mungkin kamar penuh. Ingin bertanya kepada sang resepsionis, namun ia mengurungkan niatnya karena melihat muka yang membuatnya malas itu. Doyoung lebih memilih untuk tidak protes dan mengiyakan perkataan Taeil.

Tak lama setelah itu ada tamu lain yang datang ke motel. Ia meminta dua kamar, namun lagi-lagi sang resepsionis mengatakan bahwa mereka hanya memiliki satu kamar. Sepertinya resepsionis ini memang menyebalkan. Setiap orang yang datang hanya diperbolehkan memesan satu kamar(?) Apakah motel ini selalu mengatakan hal itu??


Doyoung benar-benar akan menyumpahi sang resepsionis sialan itu karena satu kamar hanya diberikan satu ranjang. “OH TUHAN. YANG BENAR SAJA!!” Semua kecemasan Doyoung serta rasa gugupnya mulai muncul saat mereka masuk. Taeil tampak tidak terlalu mempermasalahkan, lain hal dengan Doyoung yang berusaha menarik pikirannya yang kemana-mana itu kembali ke dunia.

“Sunbae a-aku akan bersih-bersih dulu.” Dengan cepat Doyoung masuk ke dalam kamar mandi. Ia memandang pantulan dirinya di cermin. Rasa ke khawatiran nya bertambah besar.

Doyoung memiliki rahasia yang hanya diketahui Jungwoo dan beberapa orang terdekatnya. Ia sangat khawatir jika sisi lain dari dirinya kambuh kembali di keadaan seperti itu.

Doyoung memiliki Alter Ego.

Ya ia baru menyadari itu saat Jungwoo menceritakan bahwa Doyoung berperilaku aneh setiap pulang malam dari kantor (pada saat itu). Ia pergi ke psikiater dan melakukan beberapa tes uji coba, dan benar saja semua itu terjadi.

Awalnya Doyoung tidak percaya, namun ia pernah terbangun dari tidurnya dengan keadaan kamar panuh bau alkohol yang padahal bukan kebiasaan nya.

Doyoung berusaha tenang, ia tidak akan membiarkan alter ego menguasai dirinya hari ini. Ia akan satu ruangan bersama Taeil semalaman, ia tidak ingin alter ego nya melakukan hal yang tidak-tidak.

Setelah tenang, Doyoung mencuci tangan dan kaki, gosok gigi dan yang terakhir mencuci muka. Saat air mengalir di wastafel itu membasahi mukanya, Doyoung seketika berhenti. Mengangkat kepalanya, melihat ke arah kaca lalu senyum miriknya perlahan mengembang. Rasa kekhawatiran itu kini sudah berwujud.


Taeil merapihkan berkas-berkas yang ia bawa, berkutat dengan laptopnya sambil mengingat kembali apa-apa saja yang harus ia gabungkan dalam satu file.

Matanya tak sengaja melihat ke arah ransel Doyoung yang terbuka. Ia melihat suatu benda berbulu pink dengan telinga panjang terduduk tenang di dalam sana. Taeil mengangkat boneka kelinci pink itu, ia menaikkan sudut bibirnya karena ternyata Doyoung tidak membuang boneka pemberiannya.

Tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Doyoung yang awalnya memakai kacamata dengan kaus biasa, kini mengelap rambutnya dan kaus hitam tak berlengan membalut tubuhnya.

“Kim.”

Doyoung berjalan menyusuri tembok kamar. “Aku pernah melihat di film-film, banyak motel yang terdapat ruang tersembunyi untuk mengintip.” Doyoung menatap ke langit-langit, “atap,” ke samping, “dinding,” dan meja rias, “bahkan mungkin ini cermin dua sisi.” Ingin sekali Doyoung meninju kaca tersebut untuk mengecek keasliannya.

Taeil bangkit dari ranjang, berjalan ke arah Doyoung dan memeluk tubuh ramping itu dari belakang. “Jangan terlalu banyak menonton film seperti iti. Apakah ini benar-benar kau, Kim?” Tanya Taeil tepat di kuping Doyoung.

“Hm, Kim Doyoung sedang lelah sekarang, ia sudah tertidur.” Pandangan tajam dari mata sipit itu tak terelakkan. Perlu kau ketahui bahwa Doyoung yang kau hadapi untuk saat ini bukan Kim Doyoung si pembuat kopi melainkan Doyoung Kim si pembantai. Oh Taeil sangat menyukai bagian ini.

“Aku juga akan membersihkan diri dulu.” Taeil mengecup sekilas leher Doyoung lalu pergi meninggalkan pemuda itu yang masih berdiri di depan kaca, menatap curiga.


Doyoung berada di atas ranjang, sambil memakan potato chips sambil mencari cara untuk membantu Taeil dalam melacak keberadaan Jeno. Ia sedang mencari tahu mengapa cip Jaemin tiba-tiba mati. Bahkan jikapun seorang agent sudah tidak bernyawa, cip itu akan tetap menyala.

“Hmmhh...” Doyoung melenguh pelan kala Taeil naik ke tempat tidur dan langsung memasukkan tangan ke dalam kausnya untuk mengusap punggungnya.

“Apa yang kau dapatkan, sayang?”

“Belum ada. Kau ada ide?”

“Aku benar-benar tidak tahu siapa yang menculik Jaemin. Namun Taeyong mengatakan bahwa ini adalah campur tangan urusan pribadi?” Taeil semakin menempelkan tubuhnya dengan Doyoung, dan mulai menggerayangi tubuh Doyoung yang kebetulan sedang posisi terlungkup itu. Taeil menyingkap kaus hitam itu, mengecup pinggang hingga punggung bagian atas Doyoung.

“SNI juga terlibat, ini semua masalah dendam lama yang muncul kembali ke permukaan.” Ia lebih memilih menutup laptopnya dan mengubah posisinya menjadi terlentang menghadap Taeil yang ada di atasnya.

“Sudah lama sekali, Kim.”

“Kau sangat sibuk akhir-akhir ini.”

“Kau bisa menemuiku pada siang hari.”

“Hm, tapi Kim Doyoung sangat aktif pada waktu-waktu itu. Namun aku bisa kembali menguasainya pada saat malam hari.”

“Senang, hm?”

“Bisakah kita lanjutkan pekerjaan besok saja?”

“Tentu sayang, aku juga merindukanmu.” Taeil menurunkan kepalanya hingga tidak ada jarak lagi antara Doyoung dan dirinya. Bibir mereka berdua saling melumat, pangutan panas benar-benar tak terelakkan.

Singkat cerita, alter ego Doyoung dan Taeil memang memiliki suatu hubungan yang Doyoung sendiri tidak ketahui. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu berdua pada malan hari, dan akan kembali normal seakan tak terjadi apa-apa saat siang hari. Pertama kali Taeil mengetahui bahwa Doyoung berkepribadian ganda saat keduanya tak sengaja terjebak di malam lembur pada saat itu. Intinya, Taeil langsung menyadari saat keesokan harinya Doyoung tidak mengingat hal yang terjadi di malam sebelumnya.

Tanpa sepengetahuan Doyoung mereka menjalin hubungan. Yang Taeil tidak tahu adalah, bahwa Doyoung di siang hari juga menyukainya. Entah Taeil tidak peka atau ia tidak mau merusak Doyoung siang hari yang polos. Taeil sadar bahwa dirinya ini menjadi mesum saat di dekat Doyoung. Sebisa mungkin ia menjaga jarak saat di kantor, hubungan yang ia jalani dengan alter ego Doyoung ini lebih banyak ke hubungan intim. Ia tetap menikmati waktunya bersama alter ego Doyoung yang sangat berbanding terbalik, bisa dibilang sangat binal.

Apa yang akan Doyoung siang hari lakukan jika ia mengetahui bahwa dirinya sudah tidak perjaka lagi? Dirinya pada malam hari sudah berkali-kali melakukan hubungan intim dengan Taeil.

Doyoung siang hari yang malang.

Cumbuan Taeil turun ke leher jenjang Doyoung, ia menghirup aroma tubuh Doyoung yang sangat memabukkan. Masih tertinggal bau bayi dari Doyoung siang hari, ditambah erangan-erangan nikmat membuat libido Taeil semakin naik.

“Sayang...”

“Sekarang nghhh...”

Taeil turun memilin puting Doyoung dari luar kain. Ia mengecup serta memberikan jilatan tepat di atas tonjolan yang mencuat itu.

Doyoung membuka celananya dengan ribut karena tangannya sibuk menggerayangi tubuh Taeil juga. Dilanjutkan dengan menggesekkan kejantanannya yang kini hanya terbalut dalaman dengan Taeil yang masih menggunakan pakaian lengkap.

“Jika kita melakukannya disini, Kim Doyoung akan mengetahuinya besok pagi. Apakah kau sudah rela.”

“Anghh... Kau akan berhubungan juga denga dia?”

“Entahlah. Kim Doyoung tetaplah Kim Doyoung, kalau kau tahu. Kalian hanya memiliki sifat berbeda di dalam tubuh yang sama. Bagaimana menurutmu?”

“Kau akan memiliki dua pacar kalau begitu.”

“Siang hari aku akan memiliki Doyoung yang manis, lalu di malam hari aku bisa bermain dengan Doyoung yang seksi.” Senyum miriknya merekah, Taeil menekankan pada kata terakhirnya itu sambil meremas kuat bokong Doyoung.

“Ya kau berperilaku manis kepadaku selama ini. Walaupun aku tidak rela, tapi aku dan Doyoung memang orang sama.” Alter ego Doyoung memang membenci Doyoung siang hari. Namun sejak bertemu Taeil, kedua alter ego tersebut semakin mendekatkan diri. Selain Taeil yang memang selalu memperlakukannya dengan baik, tak ada salahnya. Jika mereka menikah nanti pun, Doyoung siang hari maupun sang alter ego harus berdamai. Mereka akan memiliki suami yang sama tentunya.

Dua jari Taeil menekan bibir manis itu untuk meminta akses masuk. Mengerti isyarat Taeil, dengan cekatan Doyoung menghisap jari tangan Taeil guna meninggal saliva di sana. Tatapan menggoda Doyoung tak terelakkan. Taeil mendesis melihat wajah seksi Doyoung, membayangkan penisnya lah yang dihisap oleh mulut itu. Taeil bisa merasakan area kemaluannya sangat sesak.

Doyoung merubah posisinya menjadi duduk sambil melebarkan pahanya, mengangkang. Bagaikan mempersembahkan tubuhnya untuk sang kekasih, alter ego Doyoung ini benar-benar liar! Lihat bagaimana cara ia menggoda lawan mainnya dengan tubuhnya. Untuk Taeil, sasaran empuk sudah ada di depan mata.

“Ahhh yeah disanahhh... Hhhh... menikahlah denganku, Moon Taeil.” Ucap Doyoung di sela-sela desahannya.

“Bagaimana dengan Kim Doyoung?”

“Beritahu dia semuanya. Besok—mhhh... Terushhhh ahh...!”

“Aku akan memasukkannya.”


Pagi harinya Doyoung terbangun karena cahaya matahari yang tanpa permisi masuk ke dalam kamar motel. Doyoung terbaring di bahu Taeil, keduanya sama sekali tidak menggunakan pakaian bekas kegiatan panas mereka tadi malam.

Melihat keadaan yang asing dan terasa tidak etis ini, Doyoung langsung melompat menjauhkan tubuhnya dari Taeil yang ikut terbangun tepat setelah tidurnya terusik.

Matanya terbuka lebar, “s-sunbae... Apa yang terjadi.” Taeil masih mengumpulkan nyawa sedangkan Doyoung berusaha menutupi tubuh bugilnya dan duduk di ujung ranjang dengan keadaan yang masih anat terkejut.

“Kita melakukan seks tadi malam.” Ucap Taeil entengnya seperti tidak ada dosa di mata Doyoung.

“A-apa maksudmu? JANGAN BERCANDA!”

Taeil mendekatkan tubuhnya, membenamkan wajahnya di leher Doyoung, “ya pasti kau tidak ingat karena itu alter egomu.”

Mendengar itu Doyoung semakin membolakan matanya. Bagaimana hal ini bisa terjadi padanya? Sejuta pertanyaan muncul seakan menjadi sarapannya pagi ini. Apalagi perlakuan Taeil yang memang Doyoung ketahui mereka hanya sebatas rekan kerja, senior dan junior. Dan sekarang Taeil terlihat sangat manja padanya.

“Doyoung-ah apa yang kau lakukan??” Taeil menahan tangan Doyoung yang memukul-mukul wajah serta kepalanya sendiri.

Doyoung ingin memastikan apakah semua ini hanya mimpi atau bukan. Tetapi semua itu terjawab kala ia bisa merasakan nyeri di bagian bokongnya.

“Biarkan aku menjelaskannya dulu.”


Doyoung memakai hoodie dan tak lupa kacamata keluar dari motel untuk mencari sarapan. Ia tidak pergi dengan Taeil karena Doyoung baru saja memberikan berkas-berkas soal Lee Jeno. Doyoung meminta agar Taeil membaca informasi tentang Jeno daripada ikut ke supermarket dengannya.

Jujur Doyoung maaih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengetahui bahwa dirinya sebenarnya berpacaran dengan seniornya sejak lama, walaupun itu adalah alter egonya. Pipinya kembali memanas kala membayangkan bagaimana dirinya menghabiskan malam yang panas bersama Taeil. Doyoung tidak mengingatnya, ia hanya bisa berimajinasi. Sepertinya ia harus melakukannya sebelum alter egonya kembali menguasai. Ayolah, Doyoung juga penasaran!

Setelah selesai membeli makanan untuk sarapan, Doyoung keluar dari supermarket yang terletak tak jauh dari motel.

Saat berjalan santai ingin kembali, Doyoung melihat sebuah mobil sedan mewah terparkir di depan toko perhiasan. Doyoung bersembunyi di balik dinding sambil mencatat plat mobil tersebut dalam kepalanya.

Mengapa Doyoung bisa mencurigai? Karena ia melihat Sungchan, yang diyakini sebagai salah satu anak buah Jeno. Doyoung yakin itu adalah Sungchan. Dari postur tubuhnya, lebih tinggi darinya, itu adalah Sungchan.

Doyoung mengambil sebuah kertas yang dibuang sembarang di jalan. Ia akan berpura-pura sedang memasukkan surat ke dalam kotak surat yang terletak di belakang mobil tersebut.

Kemudian diam-diam Doyoung memasang alat pelacak di mobil tersebut yang kemungkinan besar bisa menuntunnya ke kediaman Lee jeno.

Setelah melakukan aksinya, Doyoung kembali bersembunyi, menunggu orang-orang yang ada di dalam sana keluar. Sungchan masuk ke dalam mobil dengan beberapa bodyguard yang menemaninya. Orang-orang tersebut berpakaian serba hitam seperti ingin pergi ke pemakaman. Namun postur tubuh mereka sangat besar membuat Doyoung takut juga.

“Enghhpp—” hampir saja Doyoung teriak namun dengan cepat Taeil yang memakai hoodie abu-abu membekap mulutnya.

“Shht...”

“Apa yang sunbae lakukan disini?!”

“Aku mengikutimu.”

“Aku sudah memberikanmu data-data Lee Jeno, aku sudah bilang—”

“Ish iya iya... Ada yang masih ingin aku tanyakan. Sudah selesai kan? Ayo kembali.”

Doyoung agak terkejut saat Taeil mengganggam tangannya agar mereka jalan bersama kembali ke Motel. Doyoung menatap tangan dan sang seniornya itu. Ia masih tidak percaya bahwa ia sudah menjadi pacar Moon Taeil tanpa sadar. Terimakasih kepada alter ego seksinya itu.


“Dari mana kau mendapatkan data-data Lee Jeno ini?” Tanya Taeil penasaran.

“Lee Taeyong.”

“Huh? Bagaimana—”

“Aku juga tidak tahu sunbae, tapi ia berkata bahwa ia mempercayaiku, dan aku harus bekerja sama denganmu.” Setelah mendengar itu, Taeil menatap Doyoung agak curiga.

“Aku tidak mendapatkannya secara ilegal! Percayalah, ia benar-benar mengatakan itu padaku! Aku juga tidak tahu mengapa harus aku.” Doyoung mengembungkan pipinya membuat bibir miliknya berbentuk pout.

“Ya dia percaya denganmu karena kamu Kim Doyoung. Taeyong selalu tahu mana saja jalan yang harus ia ambil dan kepada siapa ia harus percaya. Taeyong pasti sudah memikirkannya, jangan khawatir.” Ucap Taeil sambil mengusak rambut Doyoung.

Doyoung melihat ke arah ponselnya. Sebuah titik berwarna hijau berjalan menyusuri jalanan. Itu adalah alat pelacak yang Doyoung letakan di mobil Sungchan. Benda itu masih bergerak tanda mobil masih berada di perjalanan.

“Aku tidak yakin, namun aku memiliki firasat yang sensitif.” Kata Doyoung menjelaskan semua apa yang ia rasakan. “Lee Jeno ini sudah terhalang dendam. Ia hanya ada di jalam yang salah namun pasti akan sulit membawanya kembali.

Di lain sisi, Na Jaemin terduduk lemah bersandar di samping kasur dengan tangan yang dibaluti perban berdarah.

“Cip Na Jaemin mati, hanya satu persen kemungkinannya jika tidak ada campur tangan orang lain. Seseorang pasti sengaja mengambilnya dan merusaknya.”

“Tapi cip itu tertanam?”

“Letaknya sangat mudah—di sekitar lengan. Namun hanya seseorang yang paham betul soal SNI akan melakukannya.”

Tubuh Jaemin semakin mengurus, bahkan ruangan yang ia tempati saat ini tidak memiliki jendela. Hanya ada satu pintu akses dan itu terkunci dari luar.

Kepalanya pening, semua tubuhnya sakit, rasa nyeri menjalar dimana-mana. Jaemin memang agent terlatih, tapi entah apa yang Jeno berikan sampai-sampai lelaki bermarga Na ini menjadi sangat lemah.

Pintu itu terbuka, Jaemin tidak mampu menoleh ke arah itu. Tubuhnya seketika meremang, mendengar langkah sepatu yang familiar berjalan perlahan ke arahnya.

“Semenjak orang tuanya tidak ada, Jeno mulai melakukan hal-hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Ia memiliki...ah tidak bisa kuceritakan lisan. Yang pastinya membangun suatu fetish aneh. Aneh menurutku.

Suara ikat pinggang menyapa telingannya, pergelangan tangannya yang mssih berbekas kemerahan kembali menjadi korban. Diangkatnya tubuh Jaemin kembali naik ke atas ranjang. Na tidak bisa melawan karena tubuhnya terlalu lemah, ditambah kurang asupan energi. Pasrah adalah satu-satunya yang akan ia lakukan sekarang.

“Kau tidak memakan sarapanmu lagi ya? Apa kau tidak lihat tubuhmu yang berubah drastis?” Ucap Jeno mengulum daun telinga Jaemin. “Aku tidak memasukkan apapun di sana. Bukankah kau butuh energi untuk melawanku? Atau setidaknya kau bisa melawan selama kita bermain itu akan lebih menyenangkan.

Doyoung melihat ke arah handphone nya, titik hijau itu berhenti di sebuah koordinat yang ia yakini adalah tujuan mobil Sungchan. Belum tentu itu kediaman Jeno namun tetap harus diperiksa. “Aku bertaruh Na Jaemin masih hidup, ia dijadikan sandera untuk memancing kita. Kau ingat tujuan utamanya berada dalam semua ini kan?”

Bola matanya terbuka lebar, “AKHHH!” Jaemin menjerit kala satu cambukan mendarat tepat di pipi bokongnya. Bagian itu muaki digerayangi lagi, dua jari sudah menyapa dinding rektumnya.

“Aku tidak melakukan sandera manapun sejauh ini. Kau kuat bisa bertahan sampai saat ini. Anggap dirimu spesial, begitu juga dengan aku.”

Titik hijau di layar handphone nya menghilang. Doyoung langsung panik takut alatnya tidak berfungsi. Namun sepertinya ia baru saja ketahuan. Alat pelacaknya itu sudah dimatikan, dalam kata lain ada yang mengambilnya. “Sunbae... Kita harus mengabari kantor pusat—ah tidak, Lee Taeyong dahulu.”

“Orang-orang itu sudah mulai bergerak rupanya, aku tidak sabar.” Ucap Jeno seduktif di telinga Jaemin. “Bagaimana menurutmu, apakah aku harus bertindak lebuh dulu atau tetap menunggu mereka?”

Jaemin sudah sulit berpikir jernih. Ia harus menjawab senua pertanyaan sialan itu atau ia akan menerima konsekuensinya. Bahkan mesin yang pernah memperkosanya sudah mulai berbunyi tanda Jeno menghidupkannya.

“Welcome back to the game.”


[ Fin. ]

©novadelue_2021🍿

1.2

Doyoung berdiri tidak sabar di atas trotoar menunggu lampu pejalan kaki menyala berwarna hijau. Ia merutuki dirinya sendiri karena telat bangun lima belas menit yang membuatnya telat datang ke kantor jika ia memutuskan memakan sarapannya seperti biasa. Tapi tidak, bagi ini Doyoung hanya makan sepotong roti tawar yang diolesi mentega asal ditambah sedikit gula diatasnya.

Tidak peduli dengan orang-orang di depannya, Doyoung lebih memilih untuk menyela dengan sedikit berlari saat menyebrang. Menjaga keseimbangan roti ditangannya agar tidak jatuh, karena sayang sekali jika sarapannya itu ia sia-siakan. Di kantor nanti kecil kemungkinannya untuk bisa sarapan terlebih dahulu. Ingatlah, pekerjaanmu sudah menumpuk di atas meja.

“Ah sial.” Doyoung akhirnya sampai di pintu lift tapi sayangnya terlambat karena sebelum ia masuk lift sudah penuh dan orang yang terakhir masuk adalah Yara, musuk bebuyutannya yang memberikan dia tatapan mengejek. “Dasar wanita itu!” Geram Doyoung dibuatnya sambil membenarkan posisi kacamata. Dan sekarang ia harus menunggu lift satunya yang sekarang sedang berada di lantai paling atas, akan memakan waktu.

“Ada apa dengan mukamu itu?” Seseorang datang dari arah belakang seakan berbicara pada dirinya.

“Oh s-selamat pagi sunbae...” Ucap Doyoung membukukan tubuhnya memberi hormat kepada sang senior.

“Telat? Lagi?”

“Uh iya...”

“Jangan tunjukkan muka seperti itu padaku, kau terlihat sangat kusut. Kita hanya perlu menunggu lift berikutnya, jangan khawatir. Aku juga telat jika kau sadar.”

Ya benar, seniornya itu datang tak lama setelahnya, itu berarti ia tidak datang terlambat sendirian hari ini.

Daripada berbincang lebih jauh, Doyoung lebih memilih menghabiskan sarapannya yang masih tinggal setengah itu. Seniornya ini benar-benar membuatnya tidak tenang! Doyoung ingin cepat-cepat beranjak dari sana. Ia menatap roti menyedihkan yang ia makan. Sungguh tidak elit sekali sarapannya itu, walaupun ia suka tapi Doyoung juga malu di sebelahnya ini ada si senior tampan.

Alhasil Doyoung cepat-cepat menghabiskan sarapannya sebelum sang senior melihat roti tipisnya itu.

“Bukankah menyenangkan jika sarapan telur mata sapi di Kantin?”

“Uhuk uhuk!” Benar-benar seniornya ini! Doyoung berusaha keras mengunyah roti yang memenuhi mulutnya namun suara sang senior membuatnya tersedak.

“Hei apakah kau tidak apa-apa?”

“Y-ya...” Doyoung menenangkan dirinya, dan sialnya lagi botol air putih miliknya tertinggal di meja kerja, lupa dibawa pulang kemarin.

“Butuh minum?”

“Aku tidak apa—uhuk uhuk!”

Sang senior mencari botol minum yang ia bawa. Saat berhasil mendapatkannya, ia menoleh kembali ke arag Doyoung namun anak itu tidak lagi ada di sana. Mencari ke sekitar, mengerutkan dahi tetapi sosok laki-laki kacamata itu tidak terlihat di manapun.

Sedangkan di sisi lain, Doyoung tengah mengatur napasnya, bersandar di dinding tangga darurat. Ia lari terbirit-birit karena terlalu malu. Jantungnya berdegup kencang. Jarang sekali ia berbicara santai sebanyak itu dengan seniornya. Biasanya hanya masalah pekerjaan, tetapi kejadian pagi ini perlu ia pamerkan kepada Jungwoo. Ia akan memberitahu sahabatnya itu bahwa pagi ini ia nyaris masuk ke ruang kantor bersama seniornya itu.

Dan sekarang yang menjadi masalah adalah, ruang kantornya ada di lantai sebelas, dan ia harus naik tangga untuk sampai di sana. Bisa saja nanti saat di lantai dua atau tiga ia memakai lift, namun tetap waspada oleh keberadaan seniornya.


“Cepat makan itu, atau aku akan menjadikanmu gantungan baju!” Yang bawel itu adalah Jungwoo, sahabat Doyoung. Setelah mengetahui sahabatnya itu belum sarapan, Jungwoo menjadi kesal. Ia tau badan Doyoung hampir mirip dengan setangkai sapu lidi, tapi makannya tetap seperti orang diet.

“Terima kasih kawanku.” Seperti biasa, Doyoung memamerkan senyum kelincinya.

“Jika kau seperti ini lagi lebih baik aku resign saja jadi kawanmu!” Ujar Jungwoo dalam maksud lainnya ia sangat khawatir.

“Ish jahatnya...”

Jungwoo memutar bola matanya malas lalu kembali ke meja kerjanya untuk menyemprot tanaman hias miliknya. Dilihat-lihat dari gerak-gerik Doyoung hari ini, ia terlihat seperti habis menang lotre.

“Ada apa gerangan kawanku? Apakah tokoh utama drama favorit mu itu sudah menyatakan perasaannya?” Ah ya, Doyoung ini adalah seorang drama series addict. Bahkan Jungwoo sudah bosan dan hapal ocehan Doyoung tentang series yang sedang ia tonton.

“Tentu tidak. Coba tebak lagi!”

Jungwoo mencebik. Doyoung tinggal dengan mudah bilang apa yang membuatnya senang hari ini, namun kutu buku itu hobi sekali memberikan kuis atau lebuh tepatnya tebak-tebakan dadakan.

“Apa? Kau dapat sugar daddy tampan?”

“Apa?! Tidak! Jangan samakan aku denganmu!”

“Baiklah aku menyerah. Cepat beritahu aku! Atau akan akan benar merubahmu menjadi gantungan baju.”

“Bagaimana caramu mengubahku menjadi gantungan baju? Apakah kau penyihir paruh waktu? Dimana tongkatmu?”

“CEPAT BERITAHU ATAU AKU AKAN MELEMPAR GUNTING INI.”

“Woah chill bro, kau akan terjerat pasal percobaan pembunuhan.”

Menjadi hiburan tersendiri saat melihat sahabatnya itu kesal. Lucu menurut Doyoung, apalagi melihat Jungwoo mengeluarkan raut wajah seperti itu. “Baiklah-baiklah... Jadi tadi pagi aku telat—”

“Ya aku tahu, cepat ke bagian intinya.”

“Aku hampir masuk bersama Taeil Sunbae. Kebetulan ia juga telat, dan kami bertemu saat hendak masuk lift. Tetapi sayangnya aku malah kabur ke tangga darurat.”

“YAK! KAU BODOH!”

“Mengaca bodoh!”

Untung saja ini sedang jam istirahat, jadi jika mereka ribut sekarang tidak terlalu masalah. Di meja lain orang-orang juga sedang asyik mengobrol dengan rekannya.

“Tapi tak apa, setidaknya aku berhasil mengobrol dengan Taeil sunbae! Setidaknya kau harus bangga dengan temanmu!”

“Lebih baik jika kau benar-benar masuk bersama Taeil sunbae. Jika hanya seperti itu, aku juga bisa melakukannya!”

Tak lama setelah itu, segerombolan orang memasuki kantor dengan pakaian serba rapih. Beberapa atasan termasuk Taeil berjalan memasuki ruang rapat bersama orang-orang tadi.

“Hei shhtt... Siapa mereka? Kau tahu?” Doyoung menghentikan ucapan Jungwoo sesaat.

“Tidak. Mereka semua terlihat seperti Intel—menurutku.” Jungwoo ikut menoleh ke arah yang dimaksud Doyoung. “Tapi sepertinya aku pernah lihat orang yang berjalan paling depan.”

“Iya kan? Aku juga. Apakah kita harus ikut masuk juga?”

“Tidak tahu—”

“Semuanya, masuk ke ruang rapat sekarang. Tolong kabari semua yang diluar kantor juga.” Ucap asisten atasan mereka.

Tentu Doyoung dan Jungwoo juga ikut serta. Tetapi mereka masih penasaran apa yang terjadi dan siapa yang baru saja datang. “Hey bung, siapa yang datang itu?” Tanya Jungwoo.

“Lee Taeyong.”

Sepertinya ada hal serius yang terjadi, sampai-sampai wakil SNI datang kemari. Terakhir saat Jung Jehyuk dan Jung Nahyun gugur di tugas terakhir mereka.


Semua anggota sedang beristirahat. Mereka masih akan melanjutkan rapat mereka setelah setengah jam beristirahat. Lee Taeyong sang wakil pemimpin SNI sedang berdiri menatap keluar jendela. Satu agent nya dinyatakan hilang di luat tugas. Taeyong sangat gusar, apalagi saat mengetahui semua itu ada hubungannya dengan sang kekasih.

Taeyong sempat marah besar tentunya. Pacarnya itu memang sudah naik tingkat, tapi itu bukan berarti bisa semena-mena memberikan tugas. Dan sekarang Na Jaemin dinyatakan hilang, bahkan cip pelacak yang memang ditanam pada semua agent tidak terdeteksi. Kekasihnya menceritakan semuanya. Ia juga tidak memaksa namun menawarkan. Dan dengan entengnya Jaemin menerima tawaran tugas pribadi itu.

Namun ia percaya bahwa agent Na masih hidup. Lelaki itu sangat terlatih dan berpengalaman selama bertahun-tahun. Tetapi tetap saja aja ketakutan di dalam diri Taeyong. Takut jika kecelakaan pasangan Jung akan terjadi pada Na Jaemin.

Kekasihnya menawarkan diri untuk turun tangan guna bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan, namun Taeyong melarangnya dengan alasan masih berbahaya. Orang yang mereka hadapi saat ini pasti sudah bersiaga jika Na Jaemin benar tertangkap. Orang ini tidak main-main. Walaupun Taeyong menganggapnya hanya anak kecil, namun kekasihnya itu memperingati bahwa sang adik ini cukup berbahaya.

Taeyong berbalik, ia hendak pergi untuk merokok. Saat di depan pintu lift, ia bersebalahan dengan seorang pemuda yang memakai kacamata sambil membawa beberapa berkas di dalam kardus. “Perlu bantuan?” Tawar Taeyong.

“Oh? Eh tidak terima kasih.” Jawab Doyoung kikuk.

“Kau yang membantu moderator rapat kan?”

“Iya... Begitulah...”

“Kim Doyoung.”

Doyoung menoleh dengan terkejut saat Lee Taeyong menyebutkan nama serta marganya. “What the... Bagaimana ia tahu namaku?!?” Batin Doyoung dengan sejuta pertanyaan di kepalanya.

“Apakah aku bisa mempercayaimu?” Tembak Taeyong tiba-tiba. Doyoung semakin kebingungan dengan apa yang dimaksud sebenarnya. Kepercayaan? Dalam konteks apa?

“Aku bisa membuat kopi, dengan takaran gula yang pas, semua atasan menyukainya.” Jawab Doyoung. Ia memang terkenal si juru kopi di kantor. Para bos selalu meminta kopi racikannya.

“Kkkk... Bukan itu maksudku..” Taeyong terkekeh dengan kelakuan polos Doyoung. “Aku ingin memberimu tugas. Dan aku ingin mempercayaimu.”

“Tugas?!” Doyoung meletakan kardus yang ia bawa di lantai. “Bisa! Sangat bisa! Kau bisa mempercayaiku.” Senyumnya merekah, Doyoung benar-benar bersemangat.

Taeyong mengeluarkan handphone miliknya, lalu melakukan sesuatu yang Doyoung tidak tahu sama sekali. “Coba lihat handphone-mu, apakah sudah masuk?”

Doyoung merasakan getaran di saku celana, buru-buru mengeluarkan benda pipih itu. “Ini...dibuka?” Tanya Doyoung.

“Silahkan. Itu tugasmu, Kim.”

Di sana terdapat dokumen berisi biodata seseorang. Doyoung benar-benar tidak mengenal orang di foto itu, dan membuang perhatian kepada Taeyong, “em... Ini apa?”

Pintu lift terbuka, mereka berdua masuk bersama-sama. Taeyong membantu Doyoung memasukkan kardus bawaannya saat lelaki berkacamata itu masih memegang handphone-nya.

“Maafkan aku.”

“Coba lihat dulu itu, kau akan membutuhkannya.”

“Ini...tugas? Apa maksudnya?”

“Itu adalah orang yang diduga menculik agent Na.”

“Mukanya tampak tidak asing.” Ujar Doyoung dengan suara sekecil-kecilnya, namhn Taeyong masih bisa mendengar itu.

“Adik Jung Jaehyun.”

Doyoung membolakan matanya, terkejut dengan apa yang ia dengar sekaligus memproses informasi yang tertulis. “Ini cukup rumit. Memang awalnya bukan tugas langsung yang wajib, ini masalah pribadi. Namun aku tidak mau kejadian waktu itu terjadi lagi. Agent Na harus kembali, kita harus mencarinya. Aku sudah menganggap Jaemin seperti adik sendiri, aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.”

Doyoung bisa mendengar sebuah ketulusan di sana. Mata Taeyong memberitahu semua kebenarannya. “Bahkan saat kau belum bekerja disini, SNI dan NFI sudah berkeja sama. Aku sangat mempercayai kalian.”

“Tapi...kenapa harus aku?”

“Apakah kau tidak bosan hanya membuat kopi untuk atasanmu? Turunlah sesekali ke lapangan.”

“Bukan itu. Maksudku, bagaimana jika aku menghianatimu? Aku bisa saja orang jahat yang sedang menyamar. Aku bisa saja membawa semua berkas ini kabur.”

Pintu lift terbuka, menunjukkan angka 11. Doyoung sudah sampai di tujuan akhir lift nya.

“Kau harus bekerja sama dengan Moon Taeil.”

“T-tapi aku hanyalah—”

“Cepat, pintu lift akan tertutup lagi. Aku akan berada di rooftop.” Taeyong mendorong pelan Doyoung keluar dari lift, meninggalkan lelaki jangkung itu dengan tugas penting mendadak.

“Aish! Apa yang aku harus lakukan?” Panik. Panik. Panik!


Ini adalah tugas yang cukup berat untuk Neo Federal Investigation. Mereka diberi tugas langsung oleh Lee Taeyong guna membantu mencari keberadaan agent mereka, Na Jaemin. Seluruh tim dikerahkan, tugas sudah dibagi masing-masing.

“Moon Taeil, kau harus mencari rekan.”

“Tapi aku terbiasa bekerja sendiri.”

“Hyung, kau tahu ini bukan masalah sepele. Bisa saja kecelakaan itu terjadi lagi. Jaemin sangat terancam. Orang ini tidak main-main. Walaupun aku belum yakin bahwa dia adalah dalang semua ini. Mungkin saja ada sesuatu yang lebib besar?” Ujar Taeyong.

“Dia hanya bocah yang baru melalui masa pubertas.”

“Moon, jangan memandang dia rendah. Ini semua masih perkiraan. Zero adalah bulannya, dia bumi, dan ada kemungkinan ada matahari yang belum diketahui. Kau ingat kasus waktu itu kan? Anak itu benar-benar dipenuhi dendam.”

Taeil menemukan ada benarnya juga dengan apa yang dikatakan Taeyong. Sesuatu yang terlihat kecil dan dianggap sepele malah membuat celaka—sampai melahirkan dendam besar ini. Mereka harus belajar dari pengalaman.

“Huft... Baiklah. Tapi siapa yang harus aku pilih? Kau punya rekomendasi?”

“Hei, ini kantormu, mengapa bertanya?”

Taeil melihat sekitarnya. Para anggota sedang sibuk dengan pekerjaan mereka. “Bagaimana dengan Jungwoo?”

“Kau gila?! Pekerjaannya sudah seperti gunung mau kau bebankan lagi dengan menjadi rekanmu?” Omel Taeyong.

Dalam lubuk hati terdalamnya Taeyong berharap Taeil akan memilih Doyoung, walaupun ia tidak yakin seratus persen. Dengan itu, Taeyong akhirnya berdiri dari kursinya, “perhatian semuanya.” Semua mata tertuju pada satu orang yang sama, mereka semua menunggu kelanjutan ucapan Taeyong, “beberapa dari kalian masih kosong pekerjaan, yang berkehendak menjadi rekan Taeil tolong angkat tangan.”

Mereka semua tahu bahwa Taeil ditugaskan untuk melacak. Dan semuanya tahu bahwa itu bukanlah tugas yang mudah. Namun karena itu Taeil, beberapa orang mengangkat tangannya—termasuk seorang wanita yang berdiri di dekat monitor, Yara. “Saya bersedia pak!” Ujarnya lantang percaya diri.

Taeyong memberikan isyarat pada Doyoung yang berdiri di ujung ruangan. Ingat perkataannya bahwa Doyoung harus sebisa mungkin berkerja sama dengan Taeil. Ia bisa saja memilih langsung, namun ini cukup menyenangkan. Bagaimana jika seorang anggota yang benar-benar jarang terlihat keberadaannya tiba-tiba terlibat karakter utama dalam tugas besar, dan Doyoung benar-benar melakukannya. Ia mengangkat tangan.

Awalnya Taeil agak bingung, dan tidak berekspetasi Taeyong akan melakukan hak yang tadi. Namun melihat laki-laki yang berdiri cukup terhalang oleh orang-orang dalam ruangan, namun pandangan Taeil langsung terpaku ke sana.

“Aku akan pergi dengannya, Kim Doyoung.” Senyum kecil merekah di bibirnya, walaupun ia sedikit khawatir membawa Doyoung ke dalam misi utamanya.

Dan begitulah Taeyong percaya dengan Doyoung. Ia sangat yakin bahwa dirinya dan Doyoung pernah bertemu waktu itu, namun sepertinya Doyoung tidak mengingatnya. Taeyeon ingat saat Doyoung hendak melamar pekerjaan, penampilannya agak sedikit berbeda tapi Taeyong yakin seyakin-yakinnya bahwa itu si kacamata, Kim Doyoung. Mulai dari situ Taeyong mencari tahu, dan memberikan tugas pertama Doyoung.


Tugas ini membuat Doyoung harus meninggalkan rumahnya selama beberapa hari. Ikan-ikan peliharanya sudah ia titipkan ke tetangga terdekat, lalu ia pergi dengan membawa beberapa pakaian bersama Taeil. Keduanya akan menempuh perjalanan cukup jauh keluar Kota, naik mobil yang sekarang sedang Taeil kendarai.

“Doyoung, kau tidak tidur?”

“Aku tidak mau meninggalkan sunbae menyetir sendirian.”

Taeil tersenyum kecil manis, ia menyetir dengan satu tangannya secara santai, “baiklah, lagipula sebentar lagi kita akan sampai ke penginapan.”

Mendengar itu Doyoung sedikit tersipu—jangan memikirkan yang tidak-tidak dasar Kim mesum Doyoung!

Ia merutuki pikirannya sendiri.

Mereka berdua akan memiliki kamar masing-masing, Doyoung yakin itu. Sangat yakin! Yang ia perlu hanyalah tetap berpikir positif.

Mereka sampai di sebuah motel pinggir kota, Taeil langsung memarkirkan mobilnya di sana. Keduanya keluar sambil membawa barang masing-masing, memasuki motel dengan lampu merah yang menerangi tulisan tempat itu.

“Permisi, aku ingin memesan dua kamar—”

“Kamar di motel kami tinggal satu.” Ucap sang penjaga memotong omongan Taeil dengan muka menyebalkan yang minta ditinju itu. Taeil yakin mengapa motel ini diberi bintang tiga karena resepsionis mereka sangat tidak ramah.

“B-baiklah aku akan ambil yang itu.” Taeil memberikan sejumlah uang yang diterima tidak bersahabat oleh sang resepsionis menyebalkan, dan ia diberikan kunci kamar bomor 17.

“Ayo.” Taeil mengajak Doyoung yang sedaru tadi menunggu sambil melihat-lihat majalah tua yang sepertinya tidak pernah diganti di ruang tunggu tamu.

“Kunci kamarku?”

“Tidak ada, kita sekamar.”

“Apa?!”

“Shhtt jangan kencang-kencang!” Dengan cepat Taeil membekap mulut Doyoung. “Mereka hanya punya satu kamar yang kosong.”

Doyoung awalnya tidak percaya karena mobil yang terparkir di depan motel tidak banyak jadi tidak mungkin kamar penuh. Ingin bertanya kepada sang resepsionis, namun ia mengurungkan niatnya karena melihat muka yang membuatnya malas itu. Doyoung lebih memilih untuk tidak protes dan mengiyakan perkataan Taeil.

Tak lama setelah itu ada tamu lain yang datang ke motel. Ia meminta dua kamar, namun lagi-lagi sang resepsionis mengatakan bahwa mereka hanya memiliki satu kamar. Sepertinya resepsionis ini memang menyebalkan. Setiap orang yang datang hanya diperbolehkan memesan satu kamar(?) Apakah motel ini selalu mengatakan hal itu??


Doyoung benar-benar akan menyumpahi sang resepsionis sialan itu karena satu kamar hanya diberikan satu ranjang. “OH TUHAN. YANG BENAR SAJA!!” Semua kecemasan Doyoung serta rasa gugupnya mulai muncul saat mereka masuk. Taeil tampak tidak terlalu mempermasalahkan, lain hal dengan Doyoung yang berusaha menarik pikirannya yang kemana-mana itu kembali ke dunia.

“Sunbae a-aku akan bersih-bersih dulu.” Dengan cepat Doyoung masuk ke dalam kamar mandi. Ia memandang pantulan dirinya di cermin. Rasa ke khawatiran nya bertambah besar.

Doyoung memiliki rahasia yang hanya diketahui Jungwoo dan beberapa orang terdekatnya. Ia sangat khawatir jika sisi lain dari dirinya kambuh kembali di keadaan seperti itu.

Doyoung memiliki Alter Ego.

Ya ia baru menyadari itu saat Jungwoo menceritakan bahwa Doyoung berperilaku aneh setiap pulang malam dari kantor (pada saat itu). Ia pergi ke psikiater dan melakukan beberapa tes uji coba, dan benar saja semua itu terjadi.

Awalnya Doyoung tidak percaya, namun ia pernah terbangun dari tidurnya dengan keadaan kamar panuh bau alkohol yang padahal bukan kebiasaan nya.

Doyoung berusaha tenang, ia tidak akan membiarkan alter ego menguasai dirinya hari ini. Ia akan satu ruangan bersama Taeil semalaman, ia tidak ingin alter ego nya melakukan hal yang tidak-tidak.

Setelah tenang, Doyoung mencuci tangan dan kaki, gosok gigi dan yang terakhir mencuci muka. Saat air mengalir di wastafel itu membasahi mukanya, Doyoung seketika berhenti. Mengangkat kepalanya, melihat ke arah kaca lalu senyum miriknya perlahan mengembang. Rasa kekhawatiran itu kini sudah berwujud.


Taeil merapihkan berkas-berkas yang ia bawa, berkutat dengan laptopnya sambil mengingat kembali apa-apa saja yang harus ia gabungkan dalam satu file.

Matanya tak sengaja melihat ke arah ransel Doyoung yang terbuka. Ia melihat suatu benda berbulu pink dengan telinga panjang terduduk tenang di dalam sana. Taeil mengangkat boneka kelinci pink itu, ia menaikkan sudut bibirnya karena ternyata Doyoung tidak membuang boneka pemberiannya.

Tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Doyoung yang awalnya memakai kacamata dengan kaus biasa, kini mengelap rambutnya dan kaus hitam tak berlengan membalut tubuhnya.

“Kim.”

Doyoung berjalan menyusuri tembok kamar. “Aku pernah melihat di film-film, banyak motel yang terdapat ruang tersembunyi untuk mengintip.” Doyoung menatap ke langit-langit, “atap,” ke samping, “dinding,” dan meja rias, “bahkan mungkin ini cermin dua sisi.” Ingin sekali Doyoung meninju kaca tersebut untuk mengecek keasliannya.

Taeil bangkit dari ranjang, berjalan ke arah Doyoung dan memeluk tubuh ramping itu dari belakang. “Jangan terlalu banyak menonton film seperti iti. Apakah ini benar-benar kau, Kim?” Tanya Taeil tepat di kuping Doyoung.

“Hm, Kim Doyoung sedang lelah sekarang, ia sudah tertidur.” Pandangan tajam dari mata sipit itu tak terelakkan. Perlu kau ketahui bahwa Doyoung yang kau hadapi untuk saat ini bukan Kim Doyoung si pembuat kopi melainkan Doyoung Kim si pembantai. Oh Taeil sangat menyukai bagian ini.

“Aku juga akan membersihkan diri dulu.” Taeil mengecup sekilas leher Doyoung lalu pergi meninggalkan pemuda itu yang masih berdiri di depan kaca, menatap curiga.


Doyoung berada di atas ranjang, sambil memakan potato chips sambil mencari cara untuk membantu Taeil dalam melacak keberadaan Jeno. Ia sedang mencari tahu mengapa cip Jaemin tiba-tiba mati. Bahkan jikapun seorang agent sudah tidak bernyawa, cip itu akan tetap menyala.

“Hmmhh...” Doyoung melenguh pelan kala Taeil naik ke tempat tidur dan langsung memasukkan tangan ke dalam kausnya untuk mengusap punggungnya.

“Apa yang kau dapatkan, sayang?”

“Belum ada. Kau ada ide?”

“Aku benar-benar tidak tahu siapa yang menculik Jaemin. Namun Taeyong mengatakan bahwa ini adalah campur tangan urusan pribadi?” Taeil semakin menempelkan tubuhnya dengan Doyoung, dan mulai menggerayangi tubuh Doyoung yang kebetulan sedang posisi terlungkup itu. Taeil menyingkap kaus hitam itu, mengecup pinggang hingga punggung bagian atas Doyoung.

“SNI juga terlibat, ini semua masalah dendam lama yang muncul kembali ke permukaan.” Ia lebih memilih menutup laptopnya dan mengubah posisinya menjadi terlentang menghadap Taeil yang ada di atasnya.

“Sudah lama sekali, Kim.”

“Kau sangat sibuk akhir-akhir ini.”

“Kau bisa menemuiku pada siang hari.”

“Hm, tapi Kim Doyoung sangat aktif pada waktu-waktu itu. Namun aku bisa kembali menguasainya pada saat malam hari.”

“Senang, hm?”

“Bisakah kita lanjutkan pekerjaan besok saja?”

“Tentu sayang, aku juga merindukanmu.” Taeil menurunkan kepalanya hingga tidak ada jarak lagi antara Doyoung dan dirinya. Bibir mereka berdua saling melumat, pangutan panas benar-benar tak terelakkan.

Singkat cerita, alter ego Doyoung dan Taeil memang memiliki suatu hubungan yang Doyoung sendiri tidak ketahui. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu berdua pada malan hari, dan akan kembali normal seakan tak terjadi apa-apa saat siang hari. Pertama kali Taeil mengetahui bahwa Doyoung berkepribadian ganda saat keduanya tak sengaja terjebak di malam lembur pada saat itu. Intinya, Taeil langsung menyadari saat keesokan harinya Doyoung tidak mengingat hal yang terjadi di malam sebelumnya.

Tanpa sepengetahuan Doyoung mereka menjalin hubungan. Yang Taeil tidak tahu adalah, bahwa Doyoung di siang hari juga menyukainya. Entah Taeil tidak peka atau ia tidak mau merusak Doyoung siang hari yang polos. Taeil sadar bahwa dirinya ini menjadi mesum saat di dekat Doyoung. Sebisa mungkin ia menjaga jarak saat di kantor, hubungan yang ia jalani dengan alter ego Doyoung ini lebih banyak ke hubungan intim. Ia tetap menikmati waktunya bersama alter ego Doyoung yang sangat berbanding terbalik, bisa dibilang sangat binal.

Apa yang akan Doyoung siang hari lakukan jika ia mengetahui bahwa dirinya sudah tidak perjaka lagi? Dirinya pada malam hari sudah berkali-kali melakukan hubungan intim dengan Taeil.

Doyoung siang hari yang malang.

Cumbuan Taeil turun ke leher jenjang Doyoung, ia menghirup aroma tubuh Doyoung yang sangat memabukkan. Masih tertinggal bau bayi dari Doyoung siang hari, ditambah erangan-erangan nikmat membuat libido Taeil semakin naik.

“Sayang...”

“Sekarang nghhh...”

Taeil turun memilin puting Doyoung dari luar kain. Ia mengecup serta memberikan jilatan tepat di atas tonjolan yang mencuat itu.

Doyoung membuka celananya dengan ribut karena tangannya sibuk menggerayangi tubuh Taeil juga. Dilanjutkan dengan menggesekkan kejantanannya yang kini hanya terbalut dalaman dengan Taeil yang masih menggunakan pakaian lengkap.

“Jika kita melakukannya disini, Kim Doyoung akan mengetahuinya besok pagi. Apakah kau sudah rela.”

“Anghh... Kau akan berhubungan juga denga dia?”

“Entahlah. Kim Doyoung tetaplah Kim Doyoung, kalau kau tahu. Kalian hanya memiliki sifat berbeda di dalam tubuh yang sama. Bagaimana menurutmu?”

“Kau akan memiliki dua pacar kalau begitu.”

“Siang hari aku akan memiliki Doyoung yang manis, lalu di malam hari aku bisa bermain dengan Doyoung yang seksi.” Senyum miriknya merekah, Taeil menekankan pada kata terakhirnya itu sambil meremas kuat bokong Doyoung.

“Ya kau berperilaku manis kepadaku selama ini. Walaupun aku tidak rela, tapi aku dan Doyoung memang orang sama.” Alter ego Doyoung memang membenci Doyoung siang hari. Namun sejak bertemu Taeil, kedua alter ego tersebut semakin mendekatkan diri. Selain Taeil yang memang selalu memperlakukannya dengan baik, tak ada salahnya. Jika mereka menikah nanti pun, Doyoung siang hari maupun sang alter ego harus berdamai. Mereka akan memiliki suami yang sama tentunya.

Dua jari Taeil menekan bibir manis itu untuk meminta akses masuk. Mengerti isyarat Taeil, dengan cekatan Doyoung menghisap jari tangan Taeil guna meninggal saliva di sana. Tatapan menggoda Doyoung tak terelakkan. Taeil mendesis melihat wajah seksi Doyoung, membayangkan penisnya lah yang dihisap oleh mulut itu. Taeil bisa merasakan area kemaluannya sangat sesak.

Doyoung merubah posisinya menjadi duduk sambil melebarkan pahanya, mengangkang. Bagaikan mempersembahkan tubuhnya untuk sang kekasih, alter ego Doyoung ini benar-benar liar! Lihat bagaimana cara ia menggoda lawan mainnya dengan tubuhnya. Untuk Taeil, sasaran empuk sudah ada di depan mata.

“Ahhh yeah disanahhh... Hhhh... menikahlah denganku, Moon Taeil.” Ucap Doyoung di sela-sela desahannya.

“Bagaimana dengan Kim Doyoung?”

“Beritahu dia semuanya. Besok—mhhh... Terushhhh ahh...!”

“Aku akan memasukkannya.”


Pagi harinya Doyoung terbangun karena cahaya matahari yang tanpa permisi masuk ke dalam kamar motel. Doyoung terbaring di bahu Taeil, keduanya sama sekali tidak menggunakan pakaian bekas kegiatan panas mereka tadi malam.

Melihat keadaan yang asing dan terasa tidak etis ini, Doyoung langsung melompat menjauhkan tubuhnya dari Taeil yang ikut terbangun tepat setelah tidurnya terusik.

Matanya terbuka lebar, “s-sunbae... Apa yang terjadi.” Taeil masih mengumpulkan nyawa sedangkan Doyoung berusaha menutupi tubuh bugilnya dan duduk di ujung ranjang dengan keadaan yang masih anat terkejut.

“Kita melakukan seks tadi malam.” Ucap Taeil entengnya seperti tidak ada dosa di mata Doyoung.

“A-apa maksudmu? JANGAN BERCANDA!”

Taeil mendekatkan tubuhnya, membenamkan wajahnya di leher Doyoung, “ya pasti kau tidak ingat karena itu alter egomu.”

Mendengar itu Doyoung semakin membolakan matanya. Bagaimana hal ini bisa terjadi padanya? Sejuta pertanyaan muncul seakan menjadi sarapannya pagi ini. Apalagi perlakuan Taeil yang memang Doyoung ketahui mereka hanya sebatas rekan kerja, senior dan junior. Dan sekarang Taeil terlihat sangat manja padanya.

“Doyoung-ah apa yang kau lakukan??” Taeil menahan tangan Doyoung yang memukul-mukul wajah serta kepalanya sendiri.

Doyoung ingin memastikan apakah semua ini hanya mimpi atau bukan. Tetapi semua itu terjawab kala ia bisa merasakan nyeri di bagian bokongnya.

“Biarkan aku menjelaskannya dulu.”


Doyoung memakai hoodie dan tak lupa kacamata keluar dari motel untuk mencari sarapan. Ia tidak pergi dengan Taeil karena Doyoung baru saja memberikan berkas-berkas soal Lee Jeno. Doyoung meminta agar Taeil membaca informasi tentang Jeno daripada ikut ke supermarket dengannya.

Jujur Doyoung maaih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengetahui bahwa dirinya sebenarnya berpacaran dengan seniornya sejak lama, walaupun itu adalah alter egonya. Pipinya kembali memanas kala membayangkan bagaimana dirinya menghabiskan malam yang panas bersama Taeil. Doyoung tidak mengingatnya, ia hanya bisa berimajinasi. Sepertinya ia harus melakukannya sebelum alter egonya kembali menguasai. Ayolah, Doyoung juga penasaran!

Setelah selesai membeli makanan untuk sarapan, Doyoung keluar dari supermarket yang terletak tak jauh dari motel.

Saat berjalan santai ingin kembali, Doyoung melihat sebuah mobil sedan mewah terparkir di depan toko perhiasan. Doyoung bersembunyi di balik dinding sambil mencatat plat mobil tersebut dalam kepalanya.

Mengapa Doyoung bisa mencurigai? Karena ia melihat Sungchan, yang diyakini sebagai salah satu anak buah Jeno. Doyoung yakin itu adalah Sungchan. Dari postur tubuhnya, lebih tinggi darinya, itu adalah Sungchan.

Doyoung mengambil sebuah kertas yang dibuang sembarang di jalan. Ia akan berpura-pura sedang memasukkan surat ke dalam kotak surat yang terletak di belakang mobil tersebut.

Kemudian diam-diam Doyoung memasang alat pelacak di mobil tersebut yang kemungkinan besar bisa menuntunnya ke kediaman Lee jeno.

Setelah melakukan aksinya, Doyoung kembali bersembunyi, menunggu orang-orang yang ada di dalam sana keluar. Sungchan masuk ke dalam mobil dengan beberapa bodyguard yang menemaninya. Orang-orang tersebut berpakaian serba hitam seperti ingin pergi ke pemakaman. Namun postur tubuh mereka sangat besar membuat Doyoung takut juga.

“Enghhpp—” hampir saja Doyoung teriak namun dengan cepat Taeil yang memakai hoodie abu-abu membekap mulutnya.

“Shht...”

“Apa yang sunbae lakukan disini?!”

“Aku mengikutimu.”

“Aku sudah memberikanmu data-data Lee Jeno, aku sudah bilang—”

“Ish iya iya... Ada yang masih ingin aku tanyakan. Sudah selesai kan? Ayo kembali.”

Doyoung agak terkejut saat Taeil mengganggam tangannya agar mereka jalan bersama kembali ke Motel. Doyoung menatap tangan dan sang seniornya itu. Ia masih tidak percaya bahwa ia sudah menjadi pacar Moon Taeil tanpa sadar. Terimakasih kepada alter ego seksinya itu.


“Dari mana kau mendapatkan data-data Lee Jeno ini?” Tanya Taeil penasaran.

“Lee Taeyong.”

“Huh? Bagaimana—”

“Aku juga tidak tahu sunbae, tapi ia berkata bahwa ia mempercayaiku, dan aku harus bekerja sama denganmu.” Setelah mendengar itu, Taeil menatap Doyoung agak curiga.

“Aku tidak mendapatkannya secara ilegal! Percayalah, ia benar-benar mengatakan itu padaku! Aku juga tidak tahu mengapa harus aku.” Doyoung mengembungkan pipinya membuat bibir miliknya berbentuk pout.

“Ya dia percaya denganmu karena kamu Kim Doyoung. Taeyong selalu tahu mana saja jalan yang harus ia ambil dan kepada siapa ia harus percaya. Taeyong pasti sudah memikirkannya, jangan khawatir.” Ucap Taeil sambil mengusak rambut Doyoung.

Doyoung melihat ke arah ponselnya. Sebuah titik berwarna hijau berjalan menyusuri jalanan. Itu adalah alat pelacak yang Doyoung letakan di mobil Sungchan. Benda itu masih bergerak tanda mobil masih berada di perjalanan.

“Aku tidak yakin, namun aku memiliki firasat yang sensitif.” Kata Doyoung menjelaskan semua apa yang ia rasakan. “Lee Jeno ini sudah terhalang dendam. Ia hanya ada di jalam yang salah namun pasti akan sulit membawanya kembali.

Di lain sisi, Na Jaemin terduduk lemah bersandar di samping kasur dengan tangan yang dibaluti perban berdarah.

“Cip Na Jaemin mati, hanya satu persen kemungkinannya jika tidak ada campur tangan orang lain. Seseorang pasti sengaja mengambilnya dan merusaknya.”

“Tapi cip itu tertanam?”

“Letaknya sangat mudah—di sekitar lengan. Namun hanya seseorang yang paham betul soal SNI akan melakukannya.”

Tubuh Jaemin semakin mengurus, bahkan ruangan yang ia tempati saat ini tidak memiliki jendela. Hanya ada satu pintu akses dan itu terkunci dari luar.

Kepalanya pening, semua tubuhnya sakit, rasa nyeri menjalar dimana-mana. Jaemin memang agent terlatih, tapi entah apa yang Jeno berikan sampai-sampai lelaki bermarga Na ini menjadi sangat lemah.

Pintu itu terbuka, Jaemin tidak mampu menoleh ke arah itu. Tubuhnya seketika meremang, mendengar langkah sepatu yang familiar berjalan perlahan ke arahnya.

“Semenjak orang tuanya tidak ada, Jeno mulai melakukan hal-hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Ia memiliki...ah tidak bisa kuceritakan lisan. Yang pastinya membangun suatu fetish aneh. Aneh menurutku.

Suara ikat pinggang menyapa telingannya, pergelangan tangannya yang mssih berbekas kemerahan kembali menjadi korban. Diangkatnya tubuh Jaemin kembali naik ke atas ranjang. Na tidak bisa melawan karena tubuhnya terlalu lemah, ditambah kurang asupan energi. Pasrah adalah satu-satunya yang akan ia lakukan sekarang.

“Kau tidak memakan sarapanmu lagi ya? Apa kau tidak lihat tubuhmu yang berubah drastis?” Ucap Jeno mengulum daun telinga Jaemin. “Aku tidak memasukkan apapun di sana. Bukankah kau butuh energi untuk melawanku? Atau setidaknya kau bisa melawan selama kita bermain itu akan lebih menyenangkan.

Doyoung melihat ke arah handphone nya, titik hijau itu berhenti di sebuah koordinat yang ia yakini adalah tujuan mobil Sungchan. Belum tentu itu kediaman Jeno namun tetap harus diperiksa. “Aku bertaruh Na Jaemin masih hidup, ia dijadikan sandera untuk memancing kita. Kau ingat tujuan utamanya berada dalam semua ini kan?”

Bola matanya terbuka lebar, “AKHHH!” Jaemin menjerit kala satu cambukan mendarat tepat di pipi bokongnya. Bagian itu muaki digerayangi lagi, dua jari sudah menyapa dinding rektumnya.

“Aku tidak melakukan sandera manapun sejauh ini. Kau kuat bisa bertahan sampai saat ini. Anggap dirimu spesial, begitu juga dengan aku.”

Titik hijau di layar handphone nya menghilang. Doyoung langsung panik takut alatnya tidak berfungsi. Namun sepertinya ia baru saja ketahuan. Alat pelacaknya itu sudah dimatikan, dalam kata lain ada yang mengambilnya. “Sunbae... Kita harus mengabari kantor pusat—ah tidak, Lee Taeyong dahulu.”

“Orang-orang itu sudah mulai bergerak rupanya, aku tidak sabar.” Ucap Jeno seduktif di telinga Jaemin. “Bagaimana menurutmu, apakah aku harus bertindak lebuh dulu atau tetap menunggu mereka?”

Jaemin sudah sulit berpikir jernih. Ia harus menjawab senua pertanyaan sialan itu atau ia akan menerima konsekuensinya. Bahkan mesin yang pernah memperkosanya sudah mulai berbunyi tanda Jeno menghidupkannya.

“Welcome back to the game.”


[ Fin. ]

©novadelue_2021🍿

Jaemin mencintai pekerjaannya. Selama hampir 5 tahun sudah ia bekerja di SNI, berkali-kali nyaris mati namun itulah momen-momen yang ia nikmati selama menjalani tugas. Biarpun nyawa nya menjadi taruhan, Jaemin menyerahkan segalanya pada Tuhan. Tetapi bertahan hidup tetap penting.

Die? Not today.

Jikapun Jaemin mati hari ini, itu sudah menjadi takdirnya. Misi-misi nya akan selalu berhadapan dengan orang-orang yang menyalahgunakan kecerdasan mereka dan lebih memilih jalan ilegal. Tidak jarang juga Jaemin berurusan dengan orang-orang penting negara yang berkhianat.

Jaemin tengah berlatih kelenturan tubuhnya—kebiasaan nya setiap pagi. Sejak kecil Jaemin bergabung dengan club gymnastics, karena koneksi pamannya yang ternyata bekerja dengan badan intelijen negara, Jaemin direkrut menjadi anggota lima tahun lalu.

Misi pertamanya adalah menjaga batu berlian bernilai ratusan miliar di sebuah gedung di kawasan tengah kota. Kala itu, Jaemin gagal menuntaskan tugas utamanya. Berlian tersebut berhasil dicuri. Namun sang paman terus memberikan Jaemin dukungan hingga akhirnya ia berhasil mendapatkan kembali berlian tersebut dan menangkap orang-orang yang bertanggung jawab atas pencurian itu.

“Na Jaemin”. Suara bariton itu berhasil mengalihkan perhatiannya. Orang yang memanggilnya adalah Jaehyun, senior yang berteman baik sejak Jaemin bergabung dengan Secret Neo Intelligence.

“Ya hyung?” Jaemin turun dari arena latihannya, menghampiri Jaehyun yang sudah membawa beberapa berkas di tangannya.

“Aku perlu bicara denganmu tapi tidak di sini. Aku punya satu misi, apa kau tertar?”

Tanpa ditawar pun Jaemin akan menyanggupinya jika yang membicarakan itu adalah Jaehyun. Jaemin mengangguk lalu Jaehyun menyuruh Jaemin mengikutinya ke suatu tempat.

“Pertama, kau harus tahu bahwa ini bukanlah tugas resmi. Jika kau benar-benar ingin melakukannya, kau harus menyelesaikan sebelum kau mendapatkan misi lain.”

“Kau bahkan belum mengatakan apapun tentang kasus yang kau maksud. Tidak resmi? Apa ini tentang masalah pribadi?”

Jaehyun menunduk lalu menghela napas. “Aku akan memberitahu ini karena aku mempercayaimu. Kau boleh buka ini.”

Jaemin menerima berkas yang Jaehyun bawa. Itu berisi data seseorang dan berbagai informasi tentangnya. “Lee Jeno?”

“Apa kau tidak penasaran mengapa Zero belum tertangkap hingga detik ini?”

Jaemin membaca sekilas isi halaman pertama. Lee Jeno memiliki riwayat catatan kriminal pada saat umurnya 16 tahun, diketahui banyak membuat identitas palsu, dan penyelundupan narkoba ke beberapa negara di Eropa.

“Ia berkontribusi dalam penjualan senjata di Cina tahun 2018, lainnya kau bisa baca di sana. Dan ia bekerja sama dengan Zero saat pembajakan pesawat militer saat itu. Sebenarnya Jeno adalah kepala dari semua itu, Zero hanya tangan kanannya.”

Dari matanya, Jaemin bisa melihat bahwa ada keseriusan yang mendalam di sana. Jaehyun benar-benar mempercayakan semua ini pada Jaemin. Ia yakin bahwa Jaemin tidak akan mengecewakannya. Tapi sekali lagi ini adalah urusan pribadi yang bisa saja membuat Jaemin terjerat masalah jika diketahui oleh atasannya. Namun karena ini Jaehyun, ia tidak akan menolak.

“Mengapa kau tidak turun sendiri ke lapangan?”

“Aku tidak bisa—tidak bisa sekarang. Kau akan mengetahui alasannya nanti.” Jaehyun pergi kala Johnny memanggilnya untuk bergabung di rapat pagi ini. Jaemin menatap kepergian seniornya itu. Ada perasaan tidak rela tiap ia selesai berbicara dengan Jaehyun—ia ingin mengobrol kalau bisa seharian dengan Jaehyun.

Tetapi dirinya harua sadar bahwa perasaan ini hanya sepihak. Ia bahkan tak memiliki keberanian menyatakan perasaannya pada Jaehyun. Ia tidak ingin hubungan pertemanannya dengan Jaehyun menjadi renggang hanya karena hal ini. Lagipula kalaupun Jaemin confess tidak akan ada artinya. Jaehyun sudah memiliki kekasih. Lelaki yang berhasil menarik hati seorang Jung Jaehyun adalah salah satu orang penting di SNI. Pada akhirnya Jaemin hanya menyaksikan Jaehyun dari sudut pandang yang bahkan lelaki tampan itu tidak ketahui.

Jaemin mencari cara alternatif agar ia bisa dengan cepat bertemu dengan Jeno. Memasuki mansion milik lelaki itu untuk keperluan investigasi lebih dalam.

Menjadi jalang sehari penuh? Tidak buruk bagi Jaemin. Ia menyamar sebagai PSK yang ternyata rencananya itu berhasil. Jeno akhirnya menyewanya lewat sang asisten pribadi.

Kini Jaemin berada di kamar bernuansa hitam milik Jeno, menunggu sang pelanggan pertama datang. Jangan bilang Jaemin masih perjaka amatir—ia sudah berpengalaman, bahkan seseorang tidak akan sadar bahwa ia adalah seorang agen yang sedang menyamar.

Pesan terakhir Jaehyun adalah, “jangan sampai jeno terbunuh atau kau bunuh. Kau harus membawanya padaku dalam keadaan hidup-hidup.” Jaemin akan mengusahakannya.

Jaemin berdandan sedemikian rupa seakan ia siap melayani pelanggannya hari ini. Pakaian yang Jaemin kenakan mengekspos bagian dada mulusnya, dan celananya sangat membentuk kaki rampingnya.

Tak lama pintu kamar yang otomatis itu terbuka. Jaemin masih menatap keluar jendela, merasakan seseorang mulai memasuki ruangan.

“Hei, kau di sana.”

Perlahan Jaemin membalik badannya. Dan benar saja, itu adalah Jeno—persis sekali dengan foto yang ia lihat. Namun yang sedikit berbeda adalah rambutnya yang ditata dan cat warna coklat.

Jaemin memberikan senyuman termanisnya, lalu berjalan mendekati Jeno, “aku sudah menunggumu lama, apakah kau lelah tuan?” Sebenarnya Jaemin belum lama di sana, ia menggunakan kesempatan yang sedikit itu untuk mengecek bagian depan dekat pintu masuk. Jaemin memberi kode, lalu membuka jas hitam yang Jeno menyisakan kemeja dengan rompi bahan.

“Maafkan aku, apa kau sudah bosan?” Jeno menarik pinggang Jaemin, semakin menipiskan jarak antara mereka.

Jaemin mengalungkan indah kedua lengannya di leher kokoh Jeno sambil menggigit bibir, “bolehkah aku jujur? Lamaaa sekali. Aku hampir saja memuaskan diriku sendiri.

Jeno terkekeh kecil, tangannya mulai bergerak meremas bongkahan sintal Jaemin di sana. “Sudah tidak tahan rupanya. Begitu juga denganku.”

Setelah mengatakan kalimat terakhir itu, Jeno langsung saja menghilangkan jarak antara mereka berdua. Pangutan panas tak terelakkan, Jeno membawa tubuh Jaemin naik ke atas tempat tidur.

Jaemin melonggarkan dasi yang dipakai Jeno serta melepaskan rompi hitam, menyisakan kemeja putih yang tiga kancing atasnya sudah terbuka.

“Pelan-pelan saja sayang shhh...” Jaemin duduk tepat di atas ereksi Jeno sambil menanggalkan pakaiannya—mulai dari kancing lalu menurunkannya hingga batas dada. “Ya begitu... Pelan-pelan saja sayang emhh shhh...” Jeno mengerang rendah. Pinggul Jaemin bergerak menggesekkan kemaluan mereka yang masih terbalut celana. “Boleh tuan?”

“Jangan panggil aku tuan. Aku Jeno, sebut nama itu saat kau mendesah nanti.”

“Nghhh Jenooohhh~” Karena kelakuannya sendiri, Jaemin merasakan lubangnya mulai basah. Jaemin tidak bisa berbohong bahwa melihat Jeno dari posisi saat ini membuat lelaki itu semakin tampan, apalagi saat Jeno menaikkan sudut bibirnya mirik.

Membayangkan bagaimana Jeno berada di atasnya, menggagahinya, membuat libido Jaemin semakin naik. Di lain sisi ia harus tetap fokus pada tujuan utama, ini hanya permainan kecil sebagai topengnya saja.

“Kita baru pertama kali bertemu bukan? Biarkan aku yang melakukannya dahulu.” Dalam hitungan detik, Jaemin kini sudah berada di bawah kungkungan Jeno. Lelaki tampan itu mulai mengendusi area leher hingga selangkangan Jaemin. Menggesekkan hidung mancungnya di gundukan itu memberikan kesan tersendiri bagi Jaemin.

Jeno menatap lekat wajah manis di bawahnya ini. Tangannya mengelus pipi yang mulai memerah karena menahan ereksi di bawah sana sedangkan Jeno masih terus memainkan puting mencuat itu dengan ibu jarinya.

“Tahan, kau tidak akan mengeluarkannya di dalam celanamu bukan?”

“Mhhh nikmathhh... Jenh ahh!”

“Kau sangat cantik, tapi sayang sekali kau malah bekerja memuaskan nafsu pelanggan mu. Mengapa orang sepertimu malah lebih memilih menjadi jalang? Sekarang kau bisa saja menikah dengan pejabat kaya raya yang akan memberikan fasilitas apapun untukmu.”

“Aku bisa membunuhmu kapan saja dasar bodoh! Namun aku tidak diijinkan melakukan itu—setidaknya aku akan mematahkan salah satu tanganmu dasar bajingan!” Jaemin terus mendesah karena sentuhan-sentuhan Jeno pada tubuhnya. Namun di dalam hati ia terus mengumpat, menyumpahi ribuan kali pria di hadapannya ini.


Jaemin bangun dari ranjang, memakai kemeja yang sudah bergeletakan di lantai. Di sebelah, Jeno masih tertidur pulas tanpa pakaian dan mengorok seperti orang bodoh. Entah mengapa Jaemin tidak yakin bahwa pria ini benar-benar dalang dari beberapa kejadian yang ia tangani selama ini.

Jaemin mencoba berjalan walaupun bagian bawahnya masih terasa nyeri karena Jeno benar-benar menggagahinya tanpa ampun. Bisa Jaemin simpulkan bahwa pria sialan yang sayangnya tampan ini diberi hormon yang terlalu berlebihan. Mengidam apa ibunya dulu?!

Berusaha tidak menimbulkan suara apapun, Jaemin berjalan menyusuri bagian kamar yang belum sempat ia telusuri. Ada satu tempat yang membuat Jaemin penasaran, namun tadi ia sudah harus bersiap karena Jeno sudah tiba.

Jaemin harus melalui jalan kecil untuk mencapai ruangan sebelah. Jaemin harus bergerak cepat, walaupun ia yakin Jeno sangat fokus dengan tidurnya.

Ternyata di ujung jalan, ruangan tersebut dipenuhi dengan barang yang tersusun rapih. Banyak lukisan, bingkai-bingkai foto dan ada vas berisi bunga yang sudah hampir tidak terbentuk lagi.

Namun ada satu yang paling menyita perhatian Jaemin. Satu bingkai foto paling besar di tengah-tengah menampilkan sebuah foto berisi empat anggota keluarga. Ayah, ibu, dan kedua anak mereka salah satunya adalah Jeno.

Jaemin bukannya fokus ke Jeno, malahan lebih tertarik dengan orang yang berdiri di belakang sang ibu. Jaemin sangat mengenali wajah orang tersebut walau bahkan itu adalah foto lama.

Jaemin tahu betul bagaimana bentuk wajah yang tidak kalah tampan dari Jeno. Seseorang yang sudah ia kenal lama, rekan seniornya di SNI,

Jung Jaehyun.

.

.

.

.

.

“AKHH!”

Jaemin berusaha melawan saat tubuh dengan kedua tangannya ditahan kencang dari belakang. Di bagian lengan atas sesuatu menancap memasukkan obat ke dalam tubuhnya.

“Shhhtt... Tenang sayang, kau hanya akan tertidur sebentar. Sayang sekali, padahal aku sangat menyukaimu.”

Jeno menyuntikkan obat yang membuat Jaemin hanya bisa bersandar di dadanya, tidak bisa menggerakkan tubuh untuk beberapa lama saat Jaemin tengah melihat foto 'keluarganya'.

“Apa yang kau lihat, hm? Itu aku? Ya benar itu aku. Apakah kau kenal orang lain yang ada di sana?” Jaemin benar-benar tidak bisa merasakan tubuhnya, bahkan ia tidak dapat menggerakkan jarinya.

“Ah, mengapa bukan dia yang langsung datang padaku? Menggunakanmu sebagai umpan? Atau kau memang menerima tugas yang seharusnya urusan keluarga?”

“Orangtuamu pasti tidak ingin melihat kau menjadi seperti ini. Semua yang kau lakukan tidak akan pernah mengembalikan ayah dan ibumu! Kau—”

“Mereka tidak ada. MEREKA SUDAH TIDAK ADA!! HANYA KARENA MEREKA BEKERJA DI BADAN INTELIJEN SIALAN ITU, MEREKA MENINGGALKAN ANAK-ANAK MEREKA TANPA SALAM APAPUN! Dan kau tahu? Aku benar-benar melihatnya sebagai kakak sampai ia lebih memilih masuk ke sana.”

Jaemin mengerti sekarang. Ini semua adalah perkara masa lalu yang kemudian menjadi dendam. Jaehyun melarang keras Jaemin untuk membunuh Jeno karena itu adalah adik kandungnya. Sebagai seorang kakak, Jaehyun ingin kembali bersama sang adik. Sekarang Jeno berada di jalan yang salah. Ia lebih kalut dalam emosi, keras kepala dan penuh dengan dendam.

“Aku akan menghancurkan mereka. Aku akan menghancurkan semua yang ada di sana HAHAHAHAHAHA!”

Jeno mengecup leher serta tengkuk Jaemin sebelum menempelkan bibirnya tepat di telinga Jaemin. “Cantik, kau pasti menganggapku bodoh—asal kau tahu, sebelum kau bertindak aku sudah selangkah lebih maju.”

Jeno mengulum daun telinga Jaemin sebelum kembali turun ke leher jenjang itu untuk menambah tanda ruam keunguan di sana. Tangan nakalnya meremas kencang dada Jaemin dengan sedikit sentuhan di area privatnya.

“Aku ingin bermain sedikit lagi. Anak nakal harus mendapat hukuman, bukan begitu? Kau pilih mesin—atau cambuk?”


[ FIN. ]

©novadelue_2021🍿

Jaemin mencintai pekerjaannya. Selama hampir 5 tahun sudah ia bekerja di SNI, berkali-kali nyaris mati namun itulah momen-momen yang ia nikmati selama menjalani tugas. Biarpun nyawa nya menjadi taruhan, Jaemin menyerahkan segalanya pada Tuhan. Tetapi bertahan hidup tetap penting.

Die? Not today.

Jikapun Jaemin mati hari ini, itu sudah menjadi takdirnya. Misi-misi nya akan selalu berhadapan dengan orang-orang yang menyalahgunakan kecerdasan mereka dan lebih memilih jalan ilegal. Tidak jarang juga Jaemin berurusan dengan orang-orang penting negara yang berkhianat.

Jaemin tengah berlatih kelenturan tubuhnya—kebiasaan nya setiap pagi. Sejak kecil Jaemin bergabung dengan club gymnastics, karena koneksi pamannya yang ternyata bekerja dengan badan intelijen negara, Jaemin direkrut menjadi anggota lima tahun lalu.

Misi pertamanya adalah menjaga batu berlian bernilai ratusan miliar di sebuah gedung di kawasan tengah kota. Kala itu, Jaemin gagal menuntaskan tugas utamanya. Berlian tersebut berhasil dicuri. Namun sang paman terus memberikan Jaemin dukungan hingga akhirnya ia berhasil mendapatkan kembali berlian tersebut dan menangkap orang-orang yang bertanggung jawab atas pencurian itu.

“Na Jaemin”. Suara bariton itu berhasil mengalihkan perhatiannya. Orang yang memanggilnya adalah Jaehyun, senior yang berteman baik sejak Jaemin bergabung dengan Secret Neo Intelligence.

“Ya hyung?” Jaemin turun dari arena latihannya, menghampiri Jaehyun yang sudah membawa beberapa berkas di tangannya.

“Aku perlu bicara denganmu tapi tidak di sini. Aku punya satu misi, apa kau tertar?”

Tanpa ditawar pun Jaemin akan menyanggupinya jika yang membicarakan itu adalah Jaehyun. Jaemin mengangguk lalu Jaehyun menyuruh Jaemin mengikutinya ke suatu tempat.

“Pertama, kau harus tahu bahwa ini bukanlah tugas resmi. Jika kau benar-benar ingin melakukannya, kau harus menyelesaikan sebelum kau mendapatkan misi lain.”

“Kau bahkan belum mengatakan apapun tentang kasus yang kau maksud. Tidak resmi? Apa ini tentang masalah pribadi?”

Jaehyun menunduk lalu menghela napas. “Aku akan memberitahu ini karena aku mempercayaimu. Kau boleh buka ini.”

Jaemin menerima berkas yang Jaehyun bawa. Itu berisi data seseorang dan berbagai informasi tentangnya. “Lee Jeno?”

“Apa kau tidak penasaran mengapa Zero belum tertangkap hingga detik ini?”

Jaemin membaca sekilas isi halaman pertama. Lee Jeno memiliki riwayat catatan kriminal pada saat umurnya 16 tahun, diketahui banyak membuat identitas palsu, dan penyelundupan narkoba ke beberapa negara di Eropa.

“Ia berkontribusi dalam penjualan senjata di Cina tahun 2018, lainnya kau bisa baca di sana. Dan ia bekerja sama dengan Zero saat pembajakan pesawat militer saat itu. Sebenarnya Jeno adalah kepala dari semua itu, Zero hanya tangan kanannya.”

Dari matanya, Jaemin bisa melihat bahwa ada keseriusan yang mendalam di sana. Jaehyun benar-benar mempercayakan semua ini pada Jaemin. Ia yakin bahwa Jaemin tidak akan mengecewakannya. Tapi sekali lagi ini adalah urusan pribadi yang bisa saja membuat Jaemin terjerat masalah jika diketahui oleh atasannya. Namun karena ini Jaehyun, ia tidak akan menolak.

“Mengapa kau tidak turun sendiri ke lapangan?”

“Aku tidak bisa—tidak bisa sekarang. Kau akan mengetahui alasannya nanti.” Jaehyun pergi kala Johnny memanggilnya untuk bergabung di rapat pagi ini. Jaemin menatap kepergian seniornya itu. Ada perasaan tidak rela tiap ia selesai berbicara dengan Jaehyun—ia ingin mengobrol kalau bisa seharian dengan Jaehyun.

Tetapi dirinya harua sadar bahwa perasaan ini hanya sepihak. Ia bahkan tak memiliki keberanian menyatakan perasaannya pada Jaehyun. Ia tidak ingin hubungan pertemanannya dengan Jaehyun menjadi renggang hanya karena hal ini. Lagipula kalaupun Jaemin confess tidak akan ada artinya. Jaehyun sudah memiliki kekasih. Lelaki yang berhasil menarik hati seorang Jung Jaehyun adalah salah satu orang penting di SNI. Pada akhirnya Jaemin hanya menyaksikan Jaehyun dari sudut pandang yang bahkan lelaki tampan itu tidak ketahui.

Jaemin mencari cara alternatif agar ia bisa dengan cepat bertemu dengan Jeno. Memasuki mansion milik lelaki itu untuk keperluan investigasi lebih dalam.

Menjadi jalang sehari penuh? Tidak buruk bagi Jaemin. Ia menyamar sebagai PSK yang ternyata rencananya itu berhasil. Jeno akhirnya menyewanya lewat sang asisten pribadi.

Kini Jaemin berada di kamar bernuansa hitam milik Jeno, menunggu sang pelanggan pertama datang. Jangan bilang Jaemin masih perjaka amatir—ia sudah berpengalaman, bahkan seseorang tidak akan sadar bahwa ia adalah seorang agen yang sedang menyamar.

Pesan terakhir Jaehyun adalah, “jangan sampai jeno terbunuh atau kau bunuh. Kau harus membawanya padaku dalam keadaan hidup-hidup.” Jaemin akan mengusahakannya.

Jaemin berdandan sedemikian rupa seakan ia siap melayani pelanggannya hari ini. Pakaian yang Jaemin kenakan mengekspos bagian dada mulusnya, dan celananya sangat membentuk kaki rampingnya.

Tak lama pintu kamar yang otomatis itu terbuka. Jaemin masih menatap keluar jendela, merasakan seseorang mulai memasuki ruangan.

“Hei, kau di sana.”

Perlahan Jaemin membalik badannya. Dan benar saja, itu adalah Jeno—persis sekali dengan foto yang ia lihat. Namun yang sedikit berbeda adalah rambutnya yang ditata dan cat warna coklat.

Jaemin memberikan senyuman termanisnya, lalu berjalan mendekati Jeno, “aku sudah menunggumu lama, apakah kau lelah tuan?” Sebenarnya Jaemin belum lama di sana, ia menggunakan kesempatan yang sedikit itu untuk mengecek bagian depan dekat pintu masuk. Jaemin memberi kode, lalu membuka jas hitam yang Jeno menyisakan kemeja dengan rompi bahan.

“Maafkan aku, apa kau sudah bosan?” Jeno menarik pinggang Jaemin, semakin menipiskan jarak antara mereka.

Jaemin mengalungkan indah kedua lengannya di leher kokoh Jeno sambil menggigit bibir, “bolehkah aku jujur? Lamaaa sekali. Aku hampir saja memuaskan diriku sendiri.

Jeno terkekeh kecil, tangannya mulai bergerak meremas bongkahan sintal Jaemin di sana. “Sudah tidak tahan rupanya. Begitu juga denganku.”

Setelah mengatakan kalimat terakhir itu, Jeno langsung saja menghilangkan jarak antara mereka berdua. Pangutan panas tak terelakkan, Jeno membawa tubuh Jaemin naik ke atas tempat tidur.

Jaemin melonggarkan dasi yang dipakai Jeno serta melepaskan rompi hitam, menyisakan kemeja putih yang tiga kancing atasnya sudah terbuka.

“Pelan-pelan saja sayang shhh...” Jaemin duduk tepat di atas ereksi Jeno sambil menanggalkan pakaiannya—mulai dari kancing lalu menurunkannya hingga batas dada. “Ya begitu... Pelan-pelan saja sayang emhh shhh...” Jeno mengerang rendah. Pinggul Jaemin bergerak menggesekkan kemaluan mereka yang masih terbalut celana. “Boleh tuan?”

“Jangan panggil aku tuan. Aku Jeno, sebut nama itu saat kau mendesah nanti.”

“Nghhh Jenooohhh~” Karena kelakuannya sendiri, Jaemin merasakan lubangnya mulai basah. Jaemin tidak bisa berbohong bahwa melihat Jeno dari posisi saat ini membuat lelaki itu semakin tampan, apalagi saat Jeno menaikkan sudut bibirnya mirik.

Membayangkan bagaimana Jeno berada di atasnya, menggagahinya, membuat libido Jaemin semakin naik. Di lain sisi ia harus tetap fokus pada tujuan utama, ini hanya permainan kecil sebagai topengnya saja.

“Kita baru pertama kali bertemu bukan? Biarkan aku yang melakukannya dahulu.” Dalam hitungan detik, Jaemin kini sudah berada di bawah kungkungan Jeno. Lelaki tampan itu mulai mengendusi area leher hingga selangkangan Jaemin. Menggesekkan hidung mancungnya di gundukan itu memberikan kesan tersendiri bagi Jaemin.

Jeno menatap lekat wajah manis di bawahnya ini. Tangannya mengelus pipi yang mulai memerah karena menahan ereksi di bawah sana sedangkan Jeno masih terus memainkan puting mencuat itu dengan ibu jarinya.

“Tahan, kau tidak akan mengeluarkannya di dalam celanamu bukan?”

“Mhhh nikmathhh... Jenh ahh!”

“Kau sangat cantik, tapi sayang sekali kau malah bekerja memuaskan nafsu pelanggan mu. Mengapa orang sepertimu malah lebih memilih menjadi jalang? Sekarang kau bisa saja menikah dengan pejabat kaya raya yang akan memberikan fasilitas apapun untukmu.”

“Aku bisa membunuhmu kapan saja dasar bodoh! Namun aku tidak diijinkan melakukan itu—setidaknya aku akan mematahkan salah satu tanganmu dasar bajingan!” Jaemin terus mendesah karena sentuhan-sentuhan Jeno pada tubuhnya. Namun di dalam hati ia terus mengumpat, menyumpahi ribuan kali pria di hadapannya ini.


Jaemin bangun dari ranjang, memakai kemeja yang sudah bergeletakan di lantai. Di sebelah, Jeno masih tertidur pulas tanpa pakaian dan mengorok seperti orang bodoh. Entah mengapa Jaemin tidak yakin bahwa pria ini benar-benar dalang dari beberapa kejadian yang ia tangani selama ini.

Jaemin mencoba berjalan walaupun bagian bawahnya masih terasa nyeri karena Jeno benar-benar menggagahinya tanpa ampun. Bisa Jaemin simpulkan bahwa pria sialan yang sayangnya tampan ini diberi hormon yang terlalu berlebihan. Mengidam apa ibunya dulu?!

Berusaha tidak menimbulkan suara apapun, Jaemin berjalan menyusuri bagian kamar yang belum sempat ia telusuri. Ada satu tempat yang membuat Jaemin penasaran, namun tadi ia sudah harus bersiap karena Jeno sudah tiba.

Jaemin harus melalui jalan kecil untuk mencapai ruangan sebelah. Jaemin harus bergerak cepat, walaupun ia yakin Jeno sangat fokus dengan tidurnya.

Ternyata di ujung jalan, ruangan tersebut dipenuhi dengan barang yang tersusun rapih. Banyak lukisan, bingkai-bingkai foto dan ada vas berisi bunga yang sudah hampir tidak terbentuk lagi.

Namun ada satu yang paling menyita perhatian Jaemin. Satu bingkai foto paling besar di tengah-tengah menampilkan sebuah foto berisi empat anggota keluarga. Ayah, ibu, dan kedua anak mereka salah satunya adalah Jeno.

Jaemin bukannya fokus ke Jeno, malahan lebih tertarik dengan orang yang berdiri di belakang sang ibu. Jaemin sangat mengenali wajah orang tersebut walau bahkan itu adalah foto lama.

Jaemin tahu betul bagaimana bentuk wajah yang tidak kalah tampan dari Jeno. Seseorang yang sudah ia kenal lama, rekan seniornya di SNI,

Jung Jaehyun.

.

.

.

.

.

“AKHH!”

Jaemin berusaha melawan saat tubuh dengan kedua tangannya ditahan kencang dari belakang. Di bagian lengan atas sesuatu menancap memasukkan obat ke dalam tubuhnya.

“Shhhtt... Tenang sayang, kau hanya akan tertidur sebentar. Sayang sekali, padahal aku sangat menyukaimu.”

Jeno menyuntikkan obat yang membuat Jaemin hanya bisa bersandar di dadanya, tidak bisa menggerakkan tubuh untuk beberapa lama saat Jaemin tengah melihat foto 'keluarganya'.

“Apa yang kau lihat, hm? Itu aku? Ya benar itu aku. Apakah kau kenal orang lain yang ada di sana?” Jaemin benar-benar tidak bisa merasakan tubuhnya, bahkan ia tidak dapat menggerakkan jarinya.

“Ah, mengapa bukan dia yang langsung datang padaku? Menggunakanmu sebagai umpan? Atau kau memang menerima tugas yang seharusnya urusan keluarga?”

“Orangtuamu pasti tidak ingin melihat kau menjadi seperti ini. Semua yang kau lakukan tidak akan pernah mengembalikan ayah dan ibumu! Kau—”

“Mereka tidak ada. MEREKA SUDAH TIDAK ADA!! HANYA KARENA MEREKA BEKERJA DI BADAN INTELIJEN SIALAN ITU, MEREKA MENINGGALKAN ANAK-ANAK MEREKA TANPA SALAM APAPUN! Dan kau tahu? Aku benar-benar melihatnya sebagai kakak sampai ia lebih memilih masuk ke sana.”

Jaemin mengerti sekarang. Ini semua adalah perkara masa lalu yang kemudian menjadi dendam. Jaehyun melarang keras Jaemin untuk membunuh Jeno karena itu adalah adik kandungnya. Sebagai seorang kakak, Jaehyun ingin kembali bersama sang adik. Sekarang Jeno berada di jalan yang salah. Ia lebih kalut dalam emosi, keras kepala dan penuh dengan dendam.

“Aku akan menghancurkan mereka. Aku akan menghancurkan semua yang ada di sana HAHAHAHAHAHA!”

Jeno mengecup leher serta tengkuk Jaemin sebelum menempelkan bibirnya tepat di telinga Jaemin. “Cantik, kau pasti menganggapku bodoh—asal kau tahu, sebelum kau bertindak aku sudah selangkah lebih maju.”

Jeno mengulum daun telinga Jaemin sebelum kembali turun ke leher jenjang itu untuk menambah tanda ruam keunguan di sana. Tangan nakalnya meremas kencang dada Jaemin dengan sedikit sentuhan di area privatnya.

“Aku ingin bermain sedikit lagi. Anak nakal harus mendapat hukuman, bukan begitu? Kau pilih mesin—atau cambuk?”


[ FIN. ]

©novadelue_2021🍿