novadelue

Ten masuk ke kamar adiknya sambil membawa sepiring buah potong dari sang maae (ibu). Setelah makan malam, sudah menjadi kebiasaan maae nya menyiapkan buah sebagai dessert mereka.

“Manis-manis.”

“Lagi musim, phi.”

Kakak adik itu berbincang kecil sambil memakan buah potong mereka. Sudah cukup lama sejak Ten pulang ke Thailand terakhir kali, Tern pun tidak dapat menyembunyikan kerinduaan nya padang sang kakak yang melanjutkan studi di luar negeri itu.

Walaupun kelihatannya mereka sering kali adu mulut karena hal kecil, namun dibalik itu semua mereka saling menyayangi dengan tulus.

Phoo (ayah) dan maae pun selalu memberikan kasih sayang pada keduanya dalam porsi yang sama. Mereka tidak pernah iri satu sama lain, sering pula saling berbagi cerita tentang apa yang sedang mengganggu atau kejadian baik yang terjadi setiap harinya.

Untuk Tern yang sudah mengenal baik sang kakak ini bisa merasakan adanya sedikit kejanggalan tentang kepulangan Ten ke Thailand.

Ten selalu mengabari jauh-jauh hari jika ia ingin pulang, lalu di jemput di bandara. Namun ini kali pertama kakaknya itu pulang tanpa announcement apapun pada keluarganya.

Ditambah, raut wajah kakaknya agak berbeda. Mungkin karena faktor kelelahan karena perjalanan, tapi Tern tahu ada yang sedang menganggu sang kakak.

“Tugas kuliah lagi banyak, phi?”

“Engga juga. Udah aman semua kok, makanya phi bisa pulang.” Ujar Ten dengan senyuman khasnya.

Tentu ia tidak ingin adiknya mengetahui alasan lain mengapa ia memusatkan pulang secara 'mendadak'.

“Kenapa phi kayaknya lagi banyak pikiran? Di sana phi gakpapa kan?”

Ten mulai merasakan bahwa sang adik menyadari akan pikiran dan perasaan campur aduk yang tengah ia alami belakangan ini.

“Phi kecapean aja kayaknya.”

“Oh ya, gimana di U.S? Phi makin banyak temen bulenya dong! Ih seru banget, pasti banyak yang ganteng-ganteng!” Tern excited dan melupakan bahwa ia sudah memiliki kekasih. Well... Mempunyai teman bule terdengar menyenangkan bukan?

“Biasa aja sih. Temen phi juga kebanyakan orang asia—mostly Chinese, mirip-mirip Hendery.”

”.....”

“Phi gak ada yang mau diceritain?”

Gotcha! Salah satu alasan Ten pulang—Tern berhasil menangkap sinyal yang Ten berikan.

“Sebenernya ada, awalnya phi juga mau bilanh soal ini. Tapi kalau tadi kamu nggak nanya, phi juga nggak bakal bilang apa-apa.”

Tern mendengarkan.

“Dia putus sama pacarnya. Bukan karena phi, tapi memang pacarnya yang cari masalah sama dia. Kejadiannya juga phi liat dengan mata kepala sendiri. Hampir aja dia mabuk berat, kalau phi nggak dateng nemenin dia malam itu.”

Tern tidak ada niat untuk memotong cerita sang kakak. Ia hanya akan mendengarkan sampai ada waktunya untuknya merespon.

“Iya sih dia gak mabuk, tapi malah phi yang mabuk. Kamu tahu kan phi jarang minum. Phi nggak kuat sama alkohol, tapi kayaknya hari itu phi kebablasan. Phi gak inget apa-apa, cuma sekilas-sekilas aja tapi phi gak yakin msna yang beneran kejadian mana yang mimpi doang. Tapi...” Ten menjeda omongannya.

“I...woke up on his bed, and both of us are—naked.” Ten menundukkan wajahnya kala mengingat saat itu lagi. Pagi yang cerah, namun menjadi suram untuk dirinya saat mengetahui ia tidur di kasur yang sama dengan Johnny namun dalam keadaan yang ambigu—tetap cukup jelas apa yang sudah terjadi, karena Ten benar-benar tidak memakai apapun!

“How...?” Tern mulai merespon saat Ten menghentikan ucapannya cukup lama. Tentunya Tern tahu siapa yang sedang kakaknya bicarakan.

Cukup jelas walau hanya dengan sebutan 'dia' Tern mengetahui sosok yang Ten maksud dalam ceritanya. Well, selain kegiatannya di Amerika, kakaknya hanya akan bercerita soal bagaimana Johnny berhasil mencuri hatinya dengan sejuta pesona yang pria itu miliki.

Ten mengatakan bahwa ia hanya menyukai Johnny dalam diam saat mereka berdua memang bersahabat dekat. Johnny adalah teman pertama Ten karena dirinya bisa berbahasa Korea (Ten pernah mengikuti perpindahan pelajar ke Korea), karena itu mereka bisa cukup dekat.

Tern tahu bahwa Johnny memiliki kekasih 'perempuan', dan Tern tidak pernah mendengar dari Ten bahwa Johnny mengencani laki-laki. Dan Tern menyimpulkan bahwa laki-laki kelahiran Chicago itu tidak memiliki seksualitas menyimpang seperti Ten.

Tapi betapa terkejutnya Tern saat mengetahui bahwa kakaknya tidak menyembunyikan fakta soal perasaannya pada Johnny dari mahasiswa di kampus. Tentang Johnny yang memiliki banyak penggemar tentu akan menjadi hal berbahaya untuk Ten.

“Phi... Gakpapa disana?”

“Sebelumnya phi nggak tahu dia itu sebenernya tau atau enggak kalau phi suka sama dia. Temen-temennya udah tahu, dan sebagian besar kampus juga tau.”

“Apa kemungkinan dia tau tapi dia nggak bilang ke phi?”

“Bisa jadi... Dan kayaknya phi inget malam itu phi confess... Phi gak inget dia jawab apa, yang pasti abis itu kita hs.”

“Aku gak expect dia nerima phi segampang itu, like... Phi tau kalau pacarnya perempuan, semua mantannya juga perempuan, ngedate juga selalu sama perempuan—aku yakin dia punya something intrest sama phi...”

“Hhh... Jangan buat phi tambah berharap, Tern...”

“Tapi aku serius, phi! Dia nggak bakal ngelakuin lebih kalau dia bener-bener liat phi sebagai temen doang, atau menghargai phi yang nggak suka perempuan, dalam kata lain dia nggak masalah kalau phi suka sama dia. Coba phi pikirin lagi, coba inget-inget lagi pas malam itu... Mungkin dia ngomong sesuatu sama phi, sampai kalian berakhir di ranjang yang sama—?”

”.....”


Tidur tenangnya terganggu oleh cahaya matahari yang masuk dari celah-celah gorden kamar. Kebiasaan pagi, yang Ten cari pertama kali adalah hp nya untuk melihat sudah jam berapapun ini.

Namun saat Ten meraba nakasnya, ia tidak menemukan barang yang dicari, ditambah—oh tunggu...tidak ada nakas di sampingnya!

Ten merasakan tubuhnya yang hangat, karena temperatur ruangan ditambah selimut yang menyelimuti tubuhnya.

Hendak beranjak dari ranjang, Ten tidak bisa mengangkat tubuhnya karena sesuatu menahan perutnya. Dicoba beberapa kali namun tetap usahanya nihil—tenaganya pun belum terisi penuh.

Gerakannya terhenti ketika menyadari ada yang bernafas di belakang telinganya. Ten meraba tangan yang melingkar di perutnya. Hangat, besar, dengan bulu-bulu halus menghiasi.

Tubuhnya tambah di tarik ketika lengan itu mempererat rengkuhannya. Ten benar-benar terjebak! Dan tempat ini bukanlah kamarnya...

“Don't leave...” Suara berat nan serak itu membuat tubuhnya meremang. Ten merasa tubuhnya sangat lengket—apalagi pada bagian bawahnya.

Dan tunggu—apa ini? Sesuatu menyempil diantara bokongnya. Sesuatu yang panjang, agak keras. Ten mulai keringat dingin.

Seperti terhantam batu besar, Ten mendapati seseorang tak asing terbaring di belakangnya. Benar-benar mengenali pria itu—dan tubuh mereka berdua naked?!

Sial, Ten berada dalam masalah besar!

38. Naik

Jeno side

Lagu di akhiri dengan Brian (YoungK) yang menyanyikan bait terakhir di lagunya. Setelah musik habis, semua penonton yang berada di bawah panggung memberikan tepuk tangan serentak.

Saat keadaan kembali tenang, sang leader alias Sungjin kembali pada posisi awalnya untuk menyapa orang-orang yang masih setia berdiri menonton.

“Oke selanjutnya, gue pengen ngundang orang nih! Siapa yang mau naik ke atas panggung, yang berani nanti kita nyanyi bareng-bareng. Terserah mau lagu apa aja. Ayo gak?”

Penonton saling melihat satu sama lain, ada pula yang menunjuk temannya agar naik ke atas panggung. Ada juga yang setengah angkat tangan karena masih terbebani dengan pikiran, “nggak ah nanti malu.”

Ada pula yang tangannya diangkat paksa oleh temannya agar Sungjin dapat melihat dan menunjuknya.

“Jangan saling nunjuk lah, satu yang berani angkat tangan sendiri, kemauan sendiri, itu yang gue pilih.” lanjut Sungjin.

Di barisan tengah Mark dan Jeno berdiri sambil menunggu ada penonton yang dipilih untuk maju ke atas panggung.

Dari sekian banyak orang belum ada yang dipilih untuk maju oleh Sungjin.

“Lu maju lah Jen.”

“Kagak ah males.”

“Kan lu bisa main gitar tuh, bisa nyanyi juga, gas lah bro!”

“Ga mood.”

Mark tidak sabaran, ia ingin segera menikmati penampilan DAY SIX selanjutnya. Dengan segala bujukannya, Mark meminta sahabatnya itu untuk naik ke atas panggung dan menyanyikan satu lagu.

Mark tahu betul bahwa Jeno juga memasukkan banyak lagu DAY SIX ke dalam playlist nya. Mark bisa saja, tapi ia lebih suka menggoda Jeno, lelaki sipit itu mudah kesal.

“C'mon Jen!” Mark mendekatkan dirinya ke telinga Jeno untuk membisikkan sesuatu.

”.....”

“Iya kan?”

”.....”

Karena perkataan Mark itu, hati Jeno sedikit meluluh. Pandangannya kembali mengarah ke atas panggung, masih ada kesempatannya untuk maju.

“Ck!” Perasaan yang sebenarnya bimbang, namun perlahan tangan Jeno diangkat ke atas agar Sungjin yang berdiri di atas panggung bisa melihatnya.

“Yang itu? Ayo sini maju!” Bukan Sungjin yang berbicara, melainkan Jae yang kebetulan melihat Jeno mengangkat tangannya sendiri.

“Boleh bro, ayo sini!” Sungjin pun setuju dan memberikan isyarat agar Jeno berjalan ke atas sana.

Suara tepukan tangan kembali menyelimuti kawasan panggung itu kala Jeno berjalan meninggalkan Mark menuju panggung. “Gas Jen!” Seru Mark yang mendapat tatapan tajam dari Jeno.

Mungkin karena paras Jeno yang bisa dibilang cukup tampan, beberapa siswi di sana pun saling berbisik kala semua pandangan sudah mengarah ke Jeno, mereka baru menyadari bahwa ada sesosok manusia yang tidak kalah tampan diantara mereka.

“Bro nama lu siapa?” Tanya Sungjin yang kini memegang mic sambil merangkul Jeno.

“Jeno.”

“Oke Jeno, lo tadi angkat tangan berarti lo nerima tantangan gue untuk nyanyi di atas panggung. Kalo boleh tau nih bro, lu mau nyanyi lagu apa sih?” Sungjin mengarahkan mic nya pada Jeno.

Jeno melihat ke arah temannya yang hanya memberikan dua jari jempol sebagai tanda penyemangat. Sedangkan Jeno menatap Mark dengan pandangan yang seakan berkata, “sialan Mark.”

Ia tampak sedang berpikir. Menyusun beberapa list lagu di kepalanya lalu memilih salah satu yang cocok untuk dinyanyikan saat ini.

Satu lagu tebersit di kepalanya.

“Gue mau... I like you.

Samar-samar para penonton menyerukan “ciee” pada Jeno yang kemudian berubah menjadi seluruh penonton.

“Hahaha oke.... Kalo boleh tau lo bisa main gitar gak nih bro?”

Jeno mengangguk, Sungjin langsung antusias. “Sip, lo mau pake gitar gue nih?” Sungjin melepas gitarnya dan meminjamkannya pada Jeno.

Gitar Sungjin kini di tangan Jeno, dan sang leader DAY SIX mempersilahkan Jeno untuk berdiri di depan tempat berdiri mic.

Jujur Jeno agak gugup karena penonton semakin berdatangan, lebih banyak dari sebelumnya—antara banyak yang tertarik dengan lagu DAY SIX atau melihat ada murid tampan dari Sekolah lain tengah bersiap menyanyikan sebuah lagu.

Iringan lagu yang akan dinyanyikan Jeno hanya akan bersumber dari gitar yang Jeno pegang. Seluruh member DAY SIX akan beristirahat sejenak dan menikmati penampilan dari salah satu penonton pemberani ini.

Memejamkan matanya, dengan satu tarikan nafas Jeno mulai memainkan senar gitar milik Sungjin. Rasa gugup Jeno tak bisa berbohong, kakinya hampir bergetar hebat namun Jeno tetap berusaha tenang.

Para penonton mulai menikmati iringan lagu. Jeno benar-benar pandai memainkan alat musik yang disebut gitar itu. Mereka pun tambah antusias, penasaran bagaimana Jeno menyanyikan lagu pilihannya.

♪ Salda bomyeon mamdaero doeneun nari Hari-hari yang berjalan sesuai keinginanku

♪ Geuri manhjineun anhassjyo Tidaklah banyak

♪ Sasil an geureon nari manhassjyo Sebenarnya banyak yang tidak berjalan sesuai yang kumau

♪ Oneuldo geureon nari doeeobeorilkka Rasanya hari ini mungkin jadi salah satunya

♪ Gomini manhi doegineun haneyo Ini membuatku khawatir


Jaemin side

Jaemin masih sibuk dengan tugasnya sebagai panitia acara sekolahnya. Tentunya tidak hanya Jaemin, semua yang termasuk anggota tengah menjalankan tugasnya.

Lagi-lagi Jaemin tengah berdiri di luar pagar sekolah namun kali ini Yangyang menemaninya.

Mereka memesan minuman untuk para anggota OSIS yang berkerja hari ini. Tepat saat itu juga sang driver datang, menanyakan nama sang pemesan untuk memastikan.

“Terima kasih pak.”

Jaemin dan Yangyang masing-masing membawa dua plastik yang berisi minumanice. Lalu mereka kembali ke dalam sekolah untuk membagikan kepada anggota yang mungkin tengah beristirahat. Mereka semua akan mendapat satu setiap orang.

Jaemin yang memang sedari tadi sibuk pergi sana-sini hanya dapat mendengar perfomance band Day Six tanpa menonton. Hanya sesekali dan itu juga kalau Jaemin kebetulan melewati panggung.

Namun perhatian Jaemin teralihkan ketika mendengar ada suara yang asing—bukan suara personil band Day Six.

Saat itu Jaemin dan Yangyang tentunya melewati panggung untuk menuju ruangan para anggota. Dan saat itu juga Jaemin melihat seseorang yang tak asing tengah bernyanyi sambil memainkan gitar di atas panggung.

♪ Johahapnida Menyukaimu

♪ Chameuryeo haebwassjiman Aku berusaha untuk menahannya

♪ Deoneun andoegesseoyo Tapi aku tak boleh melakukannya lagi

Oh, Jaemin mengingatnya. Itu adalah lelaki yang ia lihat di Gor. Si pentolan yang sudah membawa pulang mendali emas dua tahun berturut-turut.

Kalau tidak salah namanya Je...

Je...

Je...................—sesuatu.

Apa lah itu Jaemin tidak mengingat namanya.

Jaemin tak berekspektasi bahwa lelaki itu bisa bernyanyi, bahkan sambil memainkan gitar! Well pantas saja orang itu memiliki banyak penggemar, mungkin salah satunya karena memiliki banyak kelebihan yang bisa membuat gadis manapun terpikat.

Menurut Jaemin itu keren. Ia akui suara laki-laki itu cukup rendah namun tetap dapat diterima kuping dengan baik. Bahkan Jaemin kini masih berdiri di tempatnya, memperhatikan penampilan yang tengah berlangsung di atas panggung.

♪ Nan geudael ireohge saenggakhaewassjiman

♪ Manyak geudaeneun aniramyeon

♪ Geujeo mianhaeran hanmadiman haejumyeon dwaeyo

♪ I'll be fine~

Tak sengaja pandangan Jaemin bertemu dengan Jeno yang sedang melihat satu persatu orang yang menonton. Hanya sekilas, namun Jaemin sedikit tercekat.

Walau hanya sekilas, namun dipandang oleh seseorang yang tampan rasanya... Woah~

DAEBAK!

Jaemin merasa spesial—AH TIDAK. Ia terlalu banyak membaca novel romansa, hal-hal yang seperti itu tidak akan mungkin terjadi di kehidupannya.

Sadar itu Jaemin!

Sebelum Jaemin larut dalam wajah tersipunya, ia disadarkan oleh Yangyang yang ternyata masih menunggu.

“Jaem, ayo! Nungguin apa??”

“Enggak kok tadi lagi liat panggung aja, yuk.”

Keduanya pun pergi. Dengan perasaan yang lega karena pekerjaan mereka sudah banyak yang selesai dan kini waktunya istirahat. Ditambah di tangan mereka saat ini sudah ada minuman dingin yang siap menghilangkan dahaga di siang yang terik ini.


© novadelue_2021 🍿

38. Naik

Jeno side

Lagu di akhiri dengan Brian (YoungK) yang menyanyikan bait terakhir di lagunya. Setelah musik habis, semua penonton yang berada di bawah panggung memberikan tepuk tangan serentak.

Saat keadaan kembali tenang, sang leader alias Sungjin kembali pada posisi awalnya untuk menyapa orang-orang yang masih setia berdiri menonton.

“Oke selanjutnya, gue pengen ngundang orang nih! Siapa yang mau naik ke atas panggung, yang berani nanti kita nyanyi bareng-bareng. Terserah mau lagu apa aja. Ayo gak?”

Penonton saling melihat satu sama lain, ada pula yang menunjuk temannya agar naik ke atas panggung. Ada juga yang setengah angkat tangan karena masih terbebani dengan pikiran, “nggak ah nanti malu.”

Ada pula yang tangannya diangkat paksa oleh temannya agar Sungjin dapat melihat dan menunjuknya.

“Jangan saling nunjuk lah, satu yang berani angkat tangan sendiri, kemauan sendiri, itu yang gue pilih.” lanjut Sungjin.

Di barisan tengah Mark dan Jeno berdiri sambil menunggu ada penonton yang dipilih untuk maju ke atas panggung.

Dari sekian banyak orang belum ada yang dipilih untuk maju oleh Sungjin.

“Lu maju lah Jen.”

“Kagak ah males.”

“Kan lu bisa main gitar tuh, bisa nyanyi juga, gas lah bro!”

“Ga mood.”

Mark tidak sabaran, ia ingin segera menikmati penampilan DAY SIX selanjutnya. Dengan segala bujukannya, Mark meminta sahabatnya itu untuk naik ke atas panggung dan menyanyikan satu lagu.

Mark tahu betul bahwa Jeno juga memasukkan banyak lagu DAY SIX ke dalam playlist nya. Mark bisa saja, tapi ia lebih suka menggoda Jeno, lelaki sipit itu mudah kesal.

“C'mon Jen!” Mark mendekatkan dirinya ke telinga Jeno untuk membisikkan sesuatu.

”.....”

“Iya kan?”

”.....”

Karena perkataan Mark itu, hati Jeno sedikit meluluh. Pandangannya kembali mengarah ke atas panggung, masih ada kesempatannya untuk maju.

“Ck!” Perasaan yang sebenarnya bimbang, namun perlahan tangan Jeno diangkat ke atas agar Sungjin yang berdiri di atas panggung bisa melihatnya.

“Yang itu? Ayo sini maju!” Bukan Sungjin yang berbicara, melainkan Jae yang kebetulan melihat Jeno mengangkat tangannya sendiri.

“Boleh bro, ayo sini!” Sungjin pun setuju dan memberikan isyarat agar Jeno berjalan ke atas sana.

Suara tepukan tangan kembali menyelimuti kawasan panggung itu kala Jeno berjalan meninggalkan Mark menuju panggung. “Gas Jen!” Seru Mark yang mendapat tatapan tajam dari Jeno.

Mungkin karena paras Jeno yang bisa dibilang cukup tampan, beberapa siswi di sana pun saling berbisik kala semua pandangan sudah mengarah ke Jeno, mereka baru menyadari bahwa ada sesosok manusia yang tidak kalah tampan diantara mereka.

“Bro nama lu siapa?” Tanya Sungjin yang kini memegang mic sambil merangkul Jeno.

“Jeno.”

“Oke Jeno, lo tadi angkat tangan berarti lo nerima tantangan gue untuk nyanyi di atas panggung. Kalo boleh tau nih bro, lu mau nyanyi lagu apa sih?” Sungjin mengarahkan mic nya pada Jeno.

Jeno melihat ke arah temannya yang hanya memberikan dua jari jempol sebagai tanda penyemangat. Sedangkan Jeno menatap Mark dengan pandangan yang seakan berkata, “sialan Mark.”

Ia tampak sedang berpikir. Menyusun beberapa list lagu di kepalanya lalu memilih salah satu yang cocok untuk dinyanyikan saat ini.

Satu lagu tebersit di kepalanya.

“Gue mau... I like you.

Samar-samar para penonton menyerukan “ciee” pada Jeno yang kemudian berubah menjadi seluruh penonton.

“Hahaha oke.... Kalo boleh tau lo bisa main gitar gak nih bro?”

Jeno mengangguk, Sungjin langsung antusias. “Sip, lo mau pake gitar gue nih?” Sungjin melepas gitarnya dan meminjamkannya pada Jeno.

Gitar Sungjin kini di tangan Jeno, dan sang leader DAY SIX mempersilahkan Jeno untuk berdiri di depan tempat berdiri mic.

Jujur Jeno agak gugup karena penonton semakin berdatangan, lebih banyak dari sebelumnya—antara banyak yang tertarik dengan lagu DAY SIX atau melihat ada murid tampan dari Sekolah lain tengah bersiap menyanyikan sebuah lagu.

Iringan lagu yang akan dinyanyikan Jeno hanya akan bersumber dari gitar yang Jeno pegang. Seluruh member DAY SIX akan beristirahat sejenak dan menikmati penampilan dari salah satu penonton pemberani ini.

Memejamkan matanya, dengan satu tarikan nafas Jeno mulai memainkan senar gitar milik Sungjin. Rasa gugup Jeno tak bisa berbohong, kakinya hampir bergetar hebat namun Jeno tetap berusaha tenang.

Para penonton mulai menikmati iringan lagu. Jeno benar-benar pandai memainkan alat musik yang disebut gitar itu. Mereka pun tambah antusias, penasaran bagaimana Jeno menyanyikan lagu pilihannya.

♪ Salda bomyeon mamdaero doeneun nari Hari-hari yang berjalan sesuai keinginanku

♪ Geuri manhjineun anhassjyo Tidaklah banyak

♪ Sasil an geureon nari manhassjyo Sebenarnya banyak yang tidak berjalan sesuai yang kumau

♪ Oneuldo geureon nari doeeobeorilkka Rasanya hari ini mungkin jadi salah satunya

♪ Gomini manhi doegineun haneyo Ini membuatku khawatir


Jaemin side

Jaemin masih sibuk dengan tugasnya sebagai panitia acara sekolahnya. Tentunya tidak hanya Jaemin, semua yang termasuk anggota tengah menjalankan tugasnya.

Lagi-lagi Jaemin tengah berdiri di luar pagar sekolah namun kali ini Yangyang menemaninya.

Mereka memesan minuman untuk para anggota OSIS yang berkerja hari ini. Tepat saat itu juga sang driver datang, menanyakan nama sang pemesan untuk memastikan.

“Terima kasih pak.”

Jaemin dan Yangyang masing-masing membawa dua plastik yang berisi minumanice. Lalu mereka kembali ke dalam sekolah untuk membagikan kepada anggota yang mungkin tengah beristirahat. Mereka semua akan mendapat satu setiap orang.

Jaemin yang memang sedari tadi sibuk pergi sana-sini hanya dapat mendengar perfomance band Day Six tanpa menonton. Hanya sesekali dan itu juga kalau Jaemin kebetulan melewati panggung.

Namun perhatian Jaemin teralihkan ketika mendengar ada suara yang asing—bukan suara personil band Day Six.

Saat itu Jaemin dan Yangyang tentunya melewati panggung untuk menuju ruangan para anggota. Dan saat itu juga Jaemin melihat seseorang yang tak asing tengah bernyanyi sambil memainkan gitar di atas panggung.

♪ Johahapnida Menyukaimu

*♪ Chameuryeo haebwassjiman *Aku berusaha untuk menahannya

♪ Deoneun andoegesseoyo Tapi aku tak boleh melakukannya lagi

Oh, Jaemin mengingatnya. Itu adalah lelaki yang ia lihat di Gor. Si pentolan yang sudah membawa pulang mendali emas dua tahun berturut-turut.

Kalau tidak salah namanya Je...

Je...

Je...................—sesuatu.

Apa lah itu Jaemin tidak mengingat namanya.

Jaemin tak berekspektasi bahwa lelaki itu bisa bernyanyi, bahkan sambil memainkan gitar! Well pantas saja orang itu memiliki banyak penggemar, mungkin salah satunya karena memiliki banyak kelebihan yang bisa membuat gadis manapun terpikat.

Menurut Jaemin itu keren. Ia akui suara laki-laki itu cukup rendah namun tetap dapat diterima kuping dengan baik. Bahkan Jaemin kini masih berdiri di tempatnya, memperhatikan penampilan yang tengah berlangsung di atas panggung.

♪ Nan geudael ireohge saenggakhaewassjiman

♪ Manyak geudaeneun aniramyeon

♪ Geujeo mianhaeran hanmadiman haejumyeon dwaeyo

♪ I'll be fine~

Tak sengaja pandangan Jaemin bertemu dengan Jeno yang sedang melihat satu persatu orang yang menonton. Hanya sekilas, namun Jaemin sedikit tercekat.

Walau hanya sekilas, namun dipandang oleh seseorang yang tampan rasanya... Woah~

DAEBAK!

Jaemin merasa spesial—AH TIDAK. Ia terlalu banyak membaca novel romansa, hal-hal yang seperti itu tidak akan mungkin terjadi di kehidupannya.

Sadar itu Jaemin!

Sebelum Jaemin larut dalam wajah tersipunya, ia disadarkan oleh Yangyang yang ternyata masih menunggu.

“Jaem, ayo! Nungguin apa??”

“Enggak kok tadi lagi liat panggung aja, yuk.”

Keduanya pun pergi. Dengan perasaan yang lega karena pekerjaan mereka sudah banyak yang selesai dan kini waktunya istirahat. Ditambah di tangan mereka saat ini sudah ada minuman dingin yang siap menghilangkan dahaga di siang yang terik ini.


© novadelue_2021 🍿

HOW'S YOUR PEPERO DAY?

I'm sorry for late post. Ini udah telat banget padahal, yang sebenernya buat pepero day waktu itu tapi gue gak sempet nyelesaiin. Oneshoot ini tetep di up karena satu dan lain hal. So, semoga kalian semua enjoy^^

Tepat pada hari ini tanggal 11 bulan 11 alias 11 November bertepatan dengan hari kasih sayang di Korea Selatan—mirip valentine namun ada yang sedikit membedakan.

Hari ini disebut sebagai Pepero Day. Itu adalah sebuah sebutan untuk salah satu hari kasih sayang di Korea. Bedanya orang-orang akan saling bertukar pepero (salah satu merk kue stick seperti pocky), untuk mengungkapkan rasa sayang kepada kekasih atau sahabat.

Atau mungkin hari yang tepat juga untuk menyatakan perasaan kepada seseorang yang disukai?

Namun bagi seorang lelaki berkacamata yang duduk di dekat jendela kelas itu, hari ini tampak tidak ada yang terlalu spesial.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di sekolah tempatnya mereka ikut serta dalam hari kasih sayang ini. Semua murid diharuskan membawa satu kotak pepero untuk diberikan kepada orang yang mereka sayangi, seperti sahabat ataupun untuk mengucapkan terima kasih pada guru favorit mereka.

Siswa laki-laki yang menggunakan name tag bertuliskan Lee Jeno itu menatap malas keluar jendela disaat murid lainnya di kelas sangat excited menunggu bell berbunyi. Di kolong mejanya terdapat satu kotak pepero rasa stroberi yang ia beli tadi pagi sebelum berangkat ke Sekolah, ia hanya ingin mematuhi peraturan yang ada.

Tak selang beberapa lama, guru di kelas menjelaskan dua baris kalimat terakhir dan saat itu juga bell istirahat kedua berbunyi. Siswa dan siswi kelas Jeno tampak sudah mempersiapkan pepero mereka, ada pula yang tidak sabar untuk keluar dari kelas.

“Baik anak-anak boleh ditutup bukunya, kalian semua boleh istirahat, jangan lupa yang sudah bawa pepero bisa langsung kasih ke orang yang kalian tuju. Pelajaran dari ibu hari ini kita sudahi dulu, kita bertemu lagi minggu depan.”

Satu murid yang duduk paling belakang keluar dari kelas lebih dulu, dengan cepat ia berlari sambil membawa pepero menuju entah kemana. Sedangkan yang lain hanya menatap kepergian lelaki yang tidak pernah mendengarkan pelajaran itu, mereka semua tahu soal dia yang menyukai salah satu siswi populer kelas sebelah. Sedangkan yang lainnya mulai berpergian dari kelas menuju tujuan mereka masing-masing.

“Loh Jeno, kamu gak ikut keluar kelas?” Tanya sang guru saat melihat Jeno masih terduduk di bangkunya saat semua teman-temannya sudah sibuk dengan aktivitas di luar kelas.

“Iya bu, ini baru mau keluar,” ujar Jeno sambil menunjukkan kemasan pepero nya yang masih penuh. Jeno keluar dari kelas, dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah para murid yang sibuk bertegur sapa dengan kawannya.

Jeno yang selama hari pepero tidak pernah menerima bahkan memberikan pepero kepada orang lain. Setiap tahunnya ia akan diam-diam pergi ke atap Sekolah untuk memakan pepero nya sendirian agar terlihat yang ia bawa sudah diberikan pada seseorang.

Lelaki bersurai menopang tubuhnya dengan tangan untuk melihat keluar jendela depan kelasnya. Ia ingin melihat ada apa di halaman belakang Sekolahnya. Tampak sepi tidak ada siapapun sampai iris Jeno menangkap satu sosok yang menarik perhatiannya sedang memegang satu box pepero di tangannya.

Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah benda pipih dan langsung mencari satu nomor kontak yang sudah tersimpan cukup lama di sana.

'친구🐰' (teman🐰)

“Kamu dimana?” Jeno bisa melihat sosok laki-laki itu di bawah sana mengeluarkan ponsel dari saku untuk mengangkat panggilan darinya

“Rahasia.”

“Kamu yakin sama yang semalem?”

“Bukannya kamu yang bilang sendiri kalo aku harus coba daripada nggak sama sekali? Kamu gak lupa kan pernah ngomong itu?”

Jeno mengangguk walau orang di sebrang sana tidak melihatnya. Ia memperhatikan temannya itu yang tengah berjalan kesana kemari untuk melepas gugup. Sudah lama sosok yang ia sebut sebagai teman itu menaruh perasaan kepada salah satu siswi dari kelas 11, dalam kata lain adik kelasnya. Dan semalam mereka berdua sempat berbincang lewat telepon, Jeno berkata temannya itu haru cepat menyatakan perasaan sebelum semuanya terlambat.

Daripada 'tidak sama sekali', Jeno bilang tentang masalah diterima atau ditolaknya itu belakangan. Bisa dibilang temannya itu cukup pengecut untuk menyatakan perasaan yang dirasakan. Maka dari itu sebagai sosok 'teman', Jeno memberikan setidaknya sedikit semangat untuk teman laki-lakinya itu.

“Semoga berhasil.”

“Kamu juga, jangan lupa kasih pepero kamu ke orang lain. Awas aja kalo kamu makan sendiri lagi.”

“Ngatur.”

“Terserah.”

Tut

Masih di tempatnya berdiri, Jeno memperhatikan gerak-gerik temannya itu yang tampak tidak tenang. Lelaki bersurai gelap dengan mata bulat itu tampak sedang berlatih dengan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa.

Menurut Jeno, jika seseorang menyusun kata-kata saat hendak menyatakan perasaannya kepada orang lain, dan sudah berlatih keras untuk itu. Sekitar 80% orang akan cenderung mengatakan apa yang ia rasakan seadanya, dalam kata lain; di luar skenario—setelah berhadapan langsung dengan orang yang dituju. Jadi tidak perlu merangkai kata-kata yang terlalu merepotkan, cukup kumpulkan keberanian dan ketulusan. .

Lelaki di bawah mulai berlatih adegan, seperti membungkuk 45° lalu menyodorkan peperonya, atau memberikannya biasa namun matanya terpejam saat berbicara, atau dengan gaya lain seperti memasukkan satu tangan ke dalam saku dengan satu tangan yang lain menyodorkan kotak pepero yang pada akhirnya membuat lelaki bermata bulat itu geli sendiri.

Dari atas Jeno hanya bisa memandanginya, sesekali terkekeh saat temannya itu melakukan hal konyol. Apapun yang dilakukan teman laki-laki satu-satunya itu dengan sederhana dapat membuat kedua ujung bibir Jeno terangkat. Bahkan kelopak matanya membentuk seperti bulan sabit membuat siapapun yang melihatnya mungkin terpesona.

Oh itu dia, siswi yang sedari tadi temannya tunggu akhirnya datang. Temannya terkejut membalikkan badannya saat namanya dipanggil. Seketika tangannya gemetar, melihat seseorang yang menjadi alasan dibalik semua kegugupannya hari ini berdiri dihadapan.

Mata Jeno berubah serius. Ia menelaah dengan seksama bagaimana temannya itu berbicara terbata-bata, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menjadikan suasana di bawah sana terlihat sangat canggung.

Sekitar tiga menit berlalu, pepero yang hanya dipegang kini disodorkan kepada siswi tersebut. Ada jeda di antara itu, suasana yang sudah canggung tampak memburuk. Jeno mengerutkan dahinya saat temannya itu terlihat sudah pasrah karena pepero nya tak kunjung diterimanya.

Mungkin kata maaf yang dilontarkan siswi tersebut sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi tanpa mengambil kotak pepero itu. Jeno meringis, melihat temannya berakhir seperti itu membuat hatinya mengganjal. Sebenarnya ada rasa bersalah saat mata cerah itu menjadi redup, walaupun Jeno hanya memberikan saran pada awalnya.

Jeno menegakkan tubuhnya, lalu berjalan pergi dari sana. Ia akan menuju ke tempat dimana setiap tahunnya ia akan menghabiskan waktu pepero day nya dengan makan kue berbentuk stick itu sendiri.


Sambil menenteng almamater miliknya, lelaki dengan name tag Na Jaemin dengan lemah melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.

Hari ini ia nobatkan sebagai salah satu hari terburuk dan memalukan di hidupnya. Masalahnya hari yang seharusnya menjadi hari kasih sayang berputar jadi hari kasih penyesalan. Memang seharusnya ia tidak pernah melontarkan isi hatinya kepada orang itu yang membuat dirinya mungkin tak mampu memandang kagum lagi karena terlalu malu.

Dibukanya pintu akses menuju atap Sekolah, tiupan angin yang datang seakan menyambutnya entah dalam rangka “selamat hari ini kamu gagal,” atau “sayang sekali kamu kurang beruntung”.

Jaemin berjalan ke sisi tembok lainnya guna mencari satu sosok yang sudah membangkitkan keberanian konyol itu. Seperti biasa, Lee Jeno dengan kacamata yang masih bertengger di hidungnya tengah memakan pepero sambil menggunakan earphone.

“How's your Pepero Day?” Tanya Jeno saat teman yang sudah ditunggu mendudukkan diri tepat di sebelahnya. Na Jaemin tidak menjawab, ia hanya menyenderkan punggung yang terasa berat ke dinding.

“Ok,” jawab Jeno seakan sudah tahu jawabannya, namun Jaemin tidak mau ambil pusing.

“Apa juga aku bilang dari awal, seharusnya emang nggak usah pernah bilang ke dia.”

“Aku kasih kamu saran bukan nyuruh. Lagipula yang buat kamu akhirnya yakin buat nyatain apa—”

“YA GARA-GARA OMONGAN KAMU LAH! Heran kok bisa sih kata-kata kamu ngelabuhin aku?” Kesal Jaemin sambil menopang dagunya dengan lutut.

“Bukan jawaban. Yang buat kamu yakin itu ya diri kamu sendiri. Kalo kamu udah tau bakal ditolak ya kamu gak bakal ngelakuin. Tapi sesuatu yang ada di otak kamu buat kamu berani sedikit demi sedikit. Yakin adanya peluang, ada harapan di hati kamu semuanya bakal berjalan sesuai ekspektasi. Manusia mana yang tau kalo ada satu kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan itu jawabannya? Kita hidup serba menebak, bahkan satu menit setelah ini kita masih bisa liat matahari atau engga kita gak tau. Apapun bisa terjadi~” Ambil satu stik pepero, lalu dimasukkan ke dalam mulut.

Lanjut Jeno, “satu detik setelah ini kamu juga gak tau apa kamu masih dikasih bernapas atau enggak.”

Jaemin menghirup udara, “masih kok.”

“Satu detik lagi.”

“Masih.”

“Satu detik lagi.”

“Masiihhhh...”

“Satu detik lagi.”

“Masih Jenooo ih!”

“Terus apa kamu tau di besi itu bakal ada siapa setelah ini?”

“Gak ada, karena cuma ada kita berdua di sini.”

Setelah mengucapkannya, mata Jaemin mengikuti arah burung yang terbang mendekat lalu bertengger di atas besi pembatas itu.

“Selamat atas kesalahannya~”

Tak bisa dipungkiri lagi, mau sekecil apapun hal itu pasti memiliki beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Ada yang bisa di terka dan ada yang rahasia semesta.

“Aku pernah baca artikel tentang multiverse. Daughter universe, pernah denger?” Tanya Jeno yang dapat gelengan dari lawan bicaranya.

“Ada universe lain selain universe yang kita tinggalin saat ini, dan kemungkinan-kemungkinan yang ada terjadi di universe yang berbeda. Mungkin burung itu sekarang bertengger, tapi di universe lain dia lebih milih buat lanjut terbang cari bangunan lain. Mungkin saat ini aku bicara soal multiverse sama kamu, mungkin di universe lain kita cuma duduk diem-dieman. Mungkin di universe ini kamu ditolak, tapi di universe lain kamu diterima dan kamu nggak bakal naik ke rooftop, aku bakal tetep makan pepero sendirian. Semua hal di dunia punya sisi cacat dan sebaliknya.”

Jeno menengok ke arah Jaemin yang menunduk lesu sambil membuka bungkus pepero nya dengan lemah. Satu stik ia masukan ke dalam mulut lalu mengangguk—dalam arti Jaemin mengerti soal perkataan Jeno barusan.

“Masih malu, tapi seenggaknya kamu nggak sendirian hari ini.” Jaemin menemukan sisi lain yang ia dapatkan tentang apa yang terjadi hari ini. Dengan dada yang masih sesak, ia masih bisa mengisi kekosongan di sebelah Jeno.

“Boleh minta?”

Mengangguk kecil, Jaemin berbagi pepero nya dengan Jeno. Yang awalnya suka mengejek soal Jeno yang selalu memakan pepero bawaannya, sekarang Jaemin memakan omongannya sendiri.

“Kenapa harus stroberi?” Tanya Jaemin.

“Karena cuma tinggal ini tadi pagi, yang lainnya udah abis. Kamu mau?”

“Aku nggak suka stroberi.”

“Oke.”

Keheningan menyelimuti keduanya beberapa saat. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing, apalagi otak Jaemin yang masih memutar ulang rekaman yang seharusnya tidak ia ingat lagi. Tapi hanya itu spotlight kejadian hari ini yang akan terukir dalam untuk sementara waktu.

“Iya, aku di tolak.” Jaemin mulai membuka cerita. Ia menceritakan secara rinci kronologi kejadian memalukan itu. Jaemin terus menyebutnya memalukan karena ia sadar dirinya cukup tampan dan disegani, namun spesial hari ini sang adik kelas cantik menolak pernyataan cintanya. Wajah tampannya merasa dihianati.

“Aku nggak bakal ngelakuin itu lagi.”

“Jadi kamu nggak bakal punya pendamping hidup.”

“Bukan begitu maksudnya, aku—... Ah nggak tau deh! Pokoknya aku nggak mau lagi! Nggak akan pernah! Never! Nggak ada lagi yang namanya confess! Malu-maluin aja ta—”

Lidah Jaemin tercekat saat wajah Jeno tepat berada di hadapannya dengan sebuah poki terjapit diantara bibir.

Jeno bisa melihat arah netra Jaemin menuju kemana. “Kenapa nggak dilanjutin misuh-misuhnya? Kok berhenti?”

“E-enggak—udah kok...” Apa yang barusan terjadi membuat lidah Jaemin sedikit tercekat, sampai-sampai bicaranya tergagap. Hal yang aneh mulai terjadi, belum pernah ada kecanggungan diantara mereka sebelumnya.

Entah apa yang Jaemin pikirkan, yang jelas lelaki bersurai sama gelapnya dengan Jeno itu tengah merutuki dirinya sendiri.

“Itu—kenapa nggak dimakan?” Tanya Jaemin saat melihat Jeno belum menggigit pepero nya, lelaki itu malah memainkannya sampai bibirnya maju-maju.

“Kenapa, kamu mau gigit juga?” Arag pepero itu kembali ke posisi beberapa saat yang lalu. Jeno mendongak sekilas demi memberi isyarat. Menyuruh Jaemin menggigit ujung pepero cokelat itu.

Krk~

Jaemin menoleh ke arah lain setelah menggigit ujung snack Jeno. Namun kepalanya tidak bertahan lama, ia kembali ke semula dan—

—WOAH Jeno masih di posisinya! “Apa?” Tanya Jaemin ke lelaki yang sedikit mencondongkan badannya itu, seakan memberi isyarat Jaemin untuk menggigit pepero itu lagi.

Digigitnya kembali pepero itu, namun kali ini Jaemin terlonjak dikarenakan Jeno juga ikut menggigit yang membuat wajahnya mendekat.

Mengerjapkan matanya, Jaemin memberanikan diri untuk melanjutkan. Dilihat dari iris Jeno yang seakan menantangnya, jiwa kompetitifnya tak mau kalah.

Walaupun setelahnya Jeno mendekat sedikit, kini reaksi yang diberikan tubuh Jaemin bertambah. Sesuatu berdegup cepat di dalam sana.

“Kayaknya nggak panas-panas banget, kenapa muka kamu merah?”

Ya pikir saja sendiri! Jaemin memang tidak memiliki reputasi buruk sebagai laki-laki, namun kini ia mengumpat dalam hati karena seorang laki-laki membuatnya gugup untuk pertama kai.

“Kamu mau berhenti?”

Jeno mengangkat salah satu ujung bibirnya. “Payah.”

Ah, kata-kata Jeno memang mudah mengelabuhi Jaemin. Bahkan satu kata terakhir berhasil membuat pertahanannya untuk berhenti malah runtuh seketika.

Helaan napas semakin terasa jelas, jarak wajah keduanya hanya tersisa beberapa senti saja. Pandangan terkunci tepat di mata satu sama lain. Jaemin menyadari mata Jeno terlihat lebih tegas saat berada di situasi serius.

Eh?

Apa tadi?

SERIUS?

Satu tangan Jeno terangkat untuk menahan tengkuk Jaemin agar lelaki itu tidak bisa menjauhkan kepalanya lagi. Dan pada saat itu juga Jeno menggigit jarak terakhir diantara mereka sambil menutup kelopak matanya.

Tidak tahu apakah ini bisa dikategorikan sebagai ciuman atau tidak, ujung bibir mereka hanya bertemu sebab habisnya gigitan terakhir itu. Mata Jaemin terbelalak, seketika ia memundurkan kepalanya cukup kencang.

“J-JENOOO!!!”

“Apa?” Jeno mengambil satu pepero milik Jaemin lagi. “Aku menang,” sambil menempatkan ujung pepero di belahan bibirnya.

“Apa-apaan?!”

“Protes, payah.”

“ARGH BIBIR SUCI AKU!!!”

“Kalah diem.”

“Stop ngomong kayak gitu!”

“Kalo gitu kamu harus menang.” Sambil mengarahkan pepero nya ke Jaemin. Namun kali ini Jeno melepaskan kacamatanya.

“Kenapa—dilepas...?”

“Ganjel.” Jeno menggeser duduknya agar lebih dekat, dan memindahkan lengannya ke belakang Jaemin. Satu pepero di bibir siap disantap! “Ayo.”

”...”

Jaemin mengusap wajahnya kasar, dan ia lebih memilih untuk berhenti berbicara dan—FUCK IT!

Krek!

Chup!

Coba tebak? Sepertinya Jaemin lebih agresif kali ini. Bahkan mata Jeno terbelalak saat Jaemin tidak memberikan aba-aba apapun dan langsung mematahkan pepero di bibir Jeno menjadi dua bagian yang membuat ranum keduanya bertemu—lagi.

Ia rasa otaknya tidak bekerja dengan baik, atau memang Jeno yang bisa mempengaruhi orang lain dengan kata-katanya. Jaemin curiga bahwa Jeno memasukkan mantra di dalamnya.

Buktinya Jaemin seakan lupa akan fakta bahwa mereka berdua sahabat sesama laki-laki dan seharusnya tidak melakukan hal seperti ini. Bahkan di Korea pun, tetap tidak bisa di normalisasikan. Apa jadinya jika pihak Sekolah mengetahui ada dua siswa yang tengah memainkan pepero game berujung saling menyesap belah bibir satu sama lain?

Ya, kalimat yang terakhir bukanlah kebohongan, mereka, Jeno dan Jaemin benar-benar melakukannya. Dengan Jaemin menutup matanya serapat mungkin, dan Jeno yang berusaha menenangkan sahabatnya dengan mengusapkan lembut ibu jarinya di pipi Jaemin.

“Kamu bikin kaget—”

“Diem.”

Jaemin menjauhkan wajahnya kala tautan mereka akhirnya terlepas. Wajahnya semerah udang rebus, asap keluar dari telinganya menandakan afeksi yang Jeno berikan membuat dampak.

Kepalanya terasa berat karena jantungnya tidak bisa bekerja sama, apalagi perasaan menyesal yang mendalam karena hal tidak lazim yang barusan ia lakukan membuatnya 100x lipat lebih malu.

Tidak bisa berkata-kata, Jaemin bangun dari duduknya sambil menenteng almamater yang sedari tadi terlupakan.

Grep

“Mau kemana?” Tanya Jeno seperti tidak ada apapun yang terjadi.

“Aku menang, bentar lagi bel bunyi aku harus balik ke kelas.”

“Kata siapa kamu menang? Yakin mau turun ke bawah pas muka kamu lagi merah banget kayak gitu?”

”...”

Jaemin tidak bisa membalas perkataan Jeno, tangannya sudah lebih dulu ditarik untuk kembali duduk di lantai. Genggaman hangat itu masih belum terlepas, Jaemin menundukkan wajahnya yang hanya dilindungi rambut poni sambil meremat jaket almamaternya kuat-kuat.

“Badan kamu tegang.”

“Pernyataan yang gak harus diperjelas lagi penyebabnya.”

“Gimana kalo kita bolos hari ini?”

“Juara kelas yang ini lagi kerasukan apa sebenernya?”

“Sini,” Jeno menepuk pahanya. “Kita bobo siang aja sampe pulang.”

Karena temannya yang tak kunjung berkutik, Jeno menarik lengan Jaemin untuk membawa kepalanya beristirahat di pangkuan Jeno.

Kepekaan Jeno tergolong cukup tinggi untuk seukuran hubungan antar teman membuat siapapun yang diberikan perhatian olehnya merasa nyaman dan aman. Tapi tidak untuk ketenangan karena Jeno bisa membahayakan hati siapapun. Jaemin tidak mengetahui dari mana Jeno mendapat semua kepribadian lembut ini, dan sudah berapa banyak perempuan yang ia perlakukan layaknya seorang putri.

“Temen aku satu-satunya ini ternyata keren juga.”

“Huh?” Jaemin memutar kepalanya menghadap ke arah Jeno.

“Kamu nggak perlu malu karena di tolak, aku bisa liat kalo kamu itu gentleman, Jaemin Na.” Tak henti-hentinya Jeno mengelus surai Jaemin. Tangan Jeno bisa saja menghancurkan benda di sekitarnya, namun di sisi lain juga bisa merubah menjadi wilayah yang nyaman untuk orang lain.

Kalau ia bisa, Jaemin berjanji akan memfokuskan dirinya terlebih dahulu ke Jeno sebelum mencari kekasih. Nyatanya hubungan yang semakin dekat membuatnya tak rela melepaskan lelaki April itu. Jika ia fokus memiliki pacar, waktunya dengan Jeno akan berkurang. Ia akan gunakan semuanya untuk mengenal temannya ini lebih baik.

Terus seperti ini.

Kemungkinan juga ia akan melebihkan sedikit dosis perhatiannya untuk Jeno, si lelaki senyum bulan sabit. Dan jangan biarkan saat-saat seperti ini berjalan dengan cepat karena momen-momen berharga dalam hidup bukanlah film yang dapat diputar kembali.

·

·

·

“Jaemin, kamu pake apa? Kenapa rasa bibir kamu lebih manis daripada peperonya?”

·

·

·

[ FIN. ]


P.s: thank you for reading, dan jangan lupa kasih kritik dan sarannya di sc atau cc~

© novadelue_2021 🍿

HOW'S YOUR PEPERO DAY?

I'm sorry for late post. Ini udah telat banget padahal, yang sebenernya buat pepero day waktu itu tapi gue gak sempet nyelesaiin. Oneshoot ini tetep di up karena satu dan lain hal. So, semoga kalian semua enjoy^^

Tepat pada hari ini tanggal 11 bulan 11 alias 11 November bertepatan dengan hari kasih sayang di Korea Selatan—mirip valentine namun ada yang sedikit membedakan.

Hari ini disebut sebagai Pepero Day. Itu adalah sebuah sebutan untuk salah satu hari kasih sayang di Korea. Bedanya orang-orang akan saling bertukar pepero (salah satu merk kue stick seperti pocky), untuk mengungkapkan rasa sayang kepada kekasih atau sahabat.

Atau mungkin hari yang tepat juga untuk menyatakan perasaan kepada seseorang yang disukai?

Namun bagi seorang lelaki berkacamata yang duduk di dekat jendela kelas itu, hari ini tampak tidak ada yang terlalu spesial.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di sekolah tempatnya mereka ikut serta dalam hari kasih sayang ini. Semua murid diharuskan membawa satu kotak pepero untuk diberikan kepada orang yang mereka sayangi, seperti sahabat ataupun untuk mengucapkan terima kasih pada guru favorit mereka.

Siswa laki-laki yang menggunakan name tag bertuliskan Lee Jeno itu menatap malas keluar jendela disaat murid lainnya di kelas sangat excited menunggu bell berbunyi. Di kolong mejanya terdapat satu kotak pepero rasa stroberi yang ia beli tadi pagi sebelum berangkat ke Sekolah, ia hanya ingin mematuhi peraturan yang ada.

Tak selang beberapa lama, guru di kelas menjelaskan dua baris kalimat terakhir dan saat itu juga bell istirahat kedua berbunyi. Siswa dan siswi kelas Jeno tampak sudah mempersiapkan pepero mereka, ada pula yang tidak sabar untuk keluar dari kelas.

“Baik anak-anak boleh ditutup bukunya, kalian semua boleh istirahat, jangan lupa yang sudah bawa pepero bisa langsung kasih ke orang yang kalian tuju. Pelajaran dari ibu hari ini kita sudahi dulu, kita bertemu lagi minggu depan.”

Satu murid yang duduk paling belakang keluar dari kelas lebih dulu, dengan cepat ia berlari sambil membawa pepero menuju entah kemana. Sedangkan yang lain hanya menatap kepergian lelaki yang tidak pernah mendengarkan pelajaran itu, mereka semua tahu soal dia yang menyukai salah satu siswi populer kelas sebelah. Sedangkan yang lainnya mulai berpergian dari kelas menuju tujuan mereka masing-masing.

“Loh Jeno, kamu gak ikut keluar kelas?” Tanya sang guru saat melihat Jeno masih terduduk di bangkunya saat semua teman-temannya sudah sibuk dengan aktivitas di luar kelas.

“Iya bu, ini baru mau keluar,” ujar Jeno sambil menunjukkan kemasan pepero nya yang masih penuh. Jeno keluar dari kelas, dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah para murid yang sibuk bertegur sapa dengan kawannya.

Jeno yang selama hari pepero tidak pernah menerima bahkan memberikan pepero kepada orang lain. Setiap tahunnya ia akan diam-diam pergi ke atap Sekolah untuk memakan pepero nya sendirian agar terlihat yang ia bawa sudah diberikan pada seseorang.

Lelaki bersurai menopang tubuhnya dengan tangan untuk melihat keluar jendela depan kelasnya. Ia ingin melihat ada apa di halaman belakang Sekolahnya. Tampak sepi tidak ada siapapun sampai iris Jeno menangkap satu sosok yang menarik perhatiannya sedang memegang satu box pepero di tangannya.

Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah benda pipih dan langsung mencari satu nomor kontak yang sudah tersimpan cukup lama di sana.

'친구🐰' (teman🐰)

“Kamu dimana?” Jeno bisa melihat sosok laki-laki itu di bawah sana mengeluarkan ponsel dari saku untuk mengangkat panggilan darinya

“Rahasia.”

“Kamu yakin sama yang semalem?”

“Bukannya kamu yang bilang sendiri kalo aku harus coba daripada nggak sama sekali? Kamu gak lupa kan pernah ngomong itu?”

Jeno mengangguk walau orang di sebrang sana tidak melihatnya. Ia memperhatikan temannya itu yang tengah berjalan kesana kemari untuk melepas gugup. Sudah lama sosok yang ia sebut sebagai teman itu menaruh perasaan kepada salah satu siswi dari kelas 11, dalam kata lain adik kelasnya. Dan semalam mereka berdua sempat berbincang lewat telepon, Jeno berkata temannya itu haru cepat menyatakan perasaan sebelum semuanya terlambat.

Daripada 'tidak sama sekali', Jeno bilang tentang masalah diterima atau ditolaknya itu belakangan. Bisa dibilang temannya itu cukup pengecut untuk menyatakan perasaan yang dirasakan. Maka dari itu sebagai sosok 'teman', Jeno memberikan setidaknya sedikit semangat untuk teman laki-lakinya itu.

“Semoga berhasil.”

“Kamu juga, jangan lupa kasih pepero kamu ke orang lain. Awas aja kalo kamu makan sendiri lagi.”

“Ngatur.”

“Terserah.”

Tut

Masih di tempatnya berdiri, Jeno memperhatikan gerak-gerik temannya itu yang tampak tidak tenang. Lelaki bersurai gelap dengan mata bulat itu tampak sedang berlatih dengan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa.

Menurut Jeno, jika seseorang menyusun kata-kata saat hendak menyatakan perasaannya kepada orang lain, dan sudah berlatih keras untuk itu. Sekitar 80% orang akan cenderung mengatakan apa yang ia rasakan seadanya, dalam kata lain; di luar skenario—setelah berhadapan langsung dengan orang yang dituju. Jadi tidak perlu merangkai kata-kata yang terlalu merepotkan, cukup kumpulkan keberanian dan ketulusan. .

Lelaki di bawah mulai berlatih adegan, seperti membungkuk 45° lalu menyodorkan peperonya, atau memberikannya biasa namun matanya terpejam saat berbicara, atau dengan gaya lain seperti memasukkan satu tangan ke dalam saku dengan satu tangan yang lain menyodorkan kotak pepero yang pada akhirnya membuat lelaki bermata bulat itu geli sendiri.

Dari atas Jeno hanya bisa memandanginya, sesekali terkekeh saat temannya itu melakukan hal konyol. Apapun yang dilakukan teman laki-laki satu-satunya itu dengan sederhana dapat membuat kedua ujung bibir Jeno terangkat. Bahkan kelopak matanya membentuk seperti bulan sabit membuat siapapun yang melihatnya mungkin terpesona.

Oh itu dia, siswi yang sedari tadi temannya tunggu akhirnya datang. Temannya terkejut membalikkan badannya saat namanya dipanggil. Seketika tangannya gemetar, melihat seseorang yang menjadi alasan dibalik semua kegugupannya hari ini berdiri dihadapan.

Mata Jeno berubah serius. Ia menelaah dengan seksama bagaimana temannya itu berbicara terbata-bata, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menjadikan suasana di bawah sana terlihat sangat canggung.

Sekitar tiga menit berlalu, pepero yang hanya dipegang kini disodorkan kepada siswi tersebut. Ada jeda di antara itu, suasana yang sudah canggung tampak memburuk. Jeno mengerutkan dahinya saat temannya itu terlihat sudah pasrah karena pepero nya tak kunjung diterimanya.

Mungkin kata maaf yang dilontarkan siswi tersebut sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi tanpa mengambil kotak pepero itu. Jeno meringis, melihat temannya berakhir seperti itu membuat hatinya mengganjal. Sebenarnya ada rasa bersalah saat mata cerah itu menjadi redup, walaupun Jeno hanya memberikan saran pada awalnya.

Jeno menegakkan tubuhnya, lalu berjalan pergi dari sana. Ia akan menuju ke tempat dimana setiap tahunnya ia akan menghabiskan waktu pepero day nya dengan makan kue berbentuk stick itu sendiri.


Sambil menenteng almamater miliknya, lelaki dengan name tag Na Jaemin dengan lemah melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.

Hari ini ia nobatkan sebagai salah satu hari terburuk dan memalukan di hidupnya. Masalahnya hari yang seharusnya menjadi hari kasih sayang berputar jadi hari kasih penyesalan. Memang seharusnya ia tidak pernah melontarkan isi hatinya kepada orang itu yang membuat dirinya mungkin tak mampu memandang kagum lagi karena terlalu malu.

Dibukanya pintu akses menuju atap Sekolah, tiupan angin yang datang seakan menyambutnya entah dalam rangka “selamat hari ini kamu gagal,” atau “sayang sekali kamu kurang beruntung”.

Jaemin berjalan ke sisi tembok lainnya guna mencari satu sosok yang sudah membangkitkan keberanian konyol itu. Seperti biasa, Lee Jeno dengan kacamata yang masih bertengger di hidungnya tengah memakan pepero sambil menggunakan earphone.

“How's your Pepero Day?” Tanya Jeno saat teman yang sudah ditunggu mendudukkan diri tepat di sebelahnya. Na Jaemin tidak menjawab, ia hanya menyenderkan punggung yang terasa berat ke dinding.

“Ok,” jawab Jeno seakan sudah tahu jawabannya, namun Jaemin tidak mau ambil pusing.

“Apa juga aku bilang dari awal, seharusnya emang nggak usah pernah bilang ke dia.”

“Aku kasih kamu saran bukan nyuruh. Lagipula yang buat kamu akhirnya yakin buat nyatain apa—”

“YA GARA-GARA OMONGAN KAMU LAH! Heran kok bisa sih kata-kata kamu ngelabuhin aku?” Kesal Jaemin sambil menopang dagunya dengan lutut.

“Bukan jawaban. Yang buat kamu yakin itu ya diri kamu sendiri. Kalo kamu udah tau bakal ditolak ya kamu gak bakal ngelakuin. Tapi sesuatu yang ada di otak kamu buat kamu berani sedikit demi sedikit. Yakin adanya peluang, ada harapan di hati kamu semuanya bakal berjalan sesuai ekspektasi. Manusia mana yang tau kalo ada satu kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan itu jawabannya? Kita hidup serba menebak, bahkan satu menit setelah ini kita masih bisa liat matahari atau engga kita gak tau. Apapun bisa terjadi~” Ambil satu stik pepero, lalu dimasukkan ke dalam mulut.

Lanjut Jeno, “satu detik setelah ini kamu juga gak tau apa kamu masih dikasih bernapas atau enggak.”

Jaemin menghirup udara, “masih kok.”

“Satu detik lagi.”

“Masih.”

“Satu detik lagi.”

“Masiihhhh...”

“Satu detik lagi.”

“Masih Jenooo ih!”

“Terus apa kamu tau di besi itu bakal ada siapa setelah ini?”

“Gak ada, karena cuma ada kita berdua di sini.”

Setelah mengucapkannya, mata Jaemin mengikuti arah burung yang terbang mendekat lalu bertengger di atas besi pembatas itu.

“Selamat atas kesalahannya~”

Tak bisa dipungkiri lagi, mau sekecil apapun hal itu pasti memiliki beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Ada yang bisa di terka dan ada yang rahasia semesta.

“Aku pernah baca artikel tentang multiverse. Daughter universe, pernah denger?” Tanya Jeno yang dapat gelengan dari lawan bicaranya.

“Ada universe lain selain universe yang kita tinggalin saat ini, dan kemungkinan-kemungkinan yang ada terjadi di universe yang berbeda. Mungkin burung itu sekarang bertengger, tapi di universe lain dia lebih milih buat lanjut terbang cari bangunan lain. Mungkin saat ini aku bicara soal multiverse sama kamu, mungkin di universe lain kita cuma duduk diem-dieman. Mungkin di universe ini kamu ditolak, tapi di universe lain kamu diterima dan kamu nggak bakal naik ke rooftop, aku bakal tetep makan pepero sendirian. Semua hal di dunia punya sisi cacat dan sebaliknya.”

Jeno menengok ke arah Jaemin yang menunduk lesu sambil membuka bungkus pepero nya dengan lemah. Satu stik ia masukan ke dalam mulut lalu mengangguk—dalam arti Jaemin mengerti soal perkataan Jeno barusan.

“Masih malu, tapi seenggaknya kamu nggak sendirian hari ini.” Jaemin menemukan sisi lain yang ia dapatkan tentang apa yang terjadi hari ini. Dengan dada yang masih sesak, ia masih bisa mengisi kekosongan di sebelah Jeno.

“Boleh minta?”

Mengangguk kecil, Jaemin berbagi pepero nya dengan Jeno. Yang awalnya suka mengejek soal Jeno yang selalu memakan pepero bawaannya, sekarang Jaemin memakan omongannya sendiri.

“Kenapa harus stroberi?” Tanya Jaemin.

“Karena cuma tinggal ini tadi pagi, yang lainnya udah abis. Kamu mau?”

“Aku nggak suka stroberi.”

“Oke.”

Keheningan menyelimuti keduanya beberapa saat. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing, apalagi otak Jaemin yang masih memutar ulang rekaman yang seharusnya tidak ia ingat lagi. Tapi hanya itu spotlight kejadian hari ini yang akan terukir dalam untuk sementara waktu.

“Iya, aku di tolak.” Jaemin mulai membuka cerita. Ia menceritakan secara rinci kronologi kejadian memalukan itu. Jaemin terus menyebutnya memalukan karena ia sadar dirinya cukup tampan dan disegani, namun spesial hari ini sang adik kelas cantik menolak pernyataan cintanya. Wajah tampannya merasa dihianati.

“Aku nggak bakal ngelakuin itu lagi.”

“Jadi kamu nggak bakal punya pendamping hidup.”

“Bukan begitu maksudnya, aku—... Ah nggak tau deh! Pokoknya aku nggak mau lagi! Nggak akan pernah! Never! Nggak ada lagi yang namanya confess! Malu-maluin aja ta—”

Lidah Jaemin tercekat saat wajah Jeno tepat berada di hadapannya dengan sebuah poki terjapit diantara bibir.

Jeno bisa melihat arah netra Jaemin menuju kemana. “Kenapa nggak dilanjutin misuh-misuhnya? Kok berhenti?”

“E-enggak—udah kok...” Apa yang barusan terjadi membuat lidah Jaemin sedikit tercekat, sampai-sampai bicaranya tergagap. Hal yang aneh mulai terjadi, belum pernah ada kecanggungan diantara mereka sebelumnya.

Entah apa yang Jaemin pikirkan, yang jelas lelaki bersurai sama gelapnya dengan Jeno itu tengah merutuki dirinya sendiri.

“Itu—kenapa nggak dimakan?” Tanya Jaemin saat melihat Jeno belum menggigit pepero nya, lelaki itu malah memainkannya sampai bibirnya maju-maju.

“Kenapa, kamu mau gigit juga?” Arag pepero itu kembali ke posisi beberapa saat yang lalu. Jeno mendongak sekilas demi memberi isyarat. Menyuruh Jaemin menggigit ujung pepero cokelat itu.

Krk~

Jaemin menoleh ke arah lain setelah menggigit ujung snack Jeno. Namun kepalanya tidak bertahan lama, ia kembali ke semula dan—

—WOAH Jeno masih di posisinya! “Apa?” Tanya Jaemin ke lelaki yang sedikit mencondongkan badannya itu, seakan memberi isyarat Jaemin untuk menggigit pepero itu lagi.

Digigitnya kembali pepero itu, namun kali ini Jaemin terlonjak dikarenakan Jeno juga ikut menggigit yang membuat wajahnya mendekat.

Mengerjapkan matanya, Jaemin memberanikan diri untuk melanjutkan. Dilihat dari iris Jeno yang seakan menantangnya, jiwa kompetitifnya tak mau kalah.

Walaupun setelahnya Jeno mendekat sedikit, kini reaksi yang diberikan tubuh Jaemin bertambah. Sesuatu berdegup cepat di dalam sana.

“Kayaknya nggak panas-panas banget, kenapa muka kamu merah?”

Ya pikir saja sendiri! Jaemin memang tidak memiliki reputasi buruk sebagai laki-laki, namun kini ia mengumpat dalam hati karena seorang laki-laki membuatnya gugup untuk pertama kai.

“Kamu mau berhenti?”

Jeno mengangkat salah satu ujung bibirnya. “Payah.”

Ah, kata-kata Jeno memang mudah mengelabuhi Jaemin. Bahkan satu kata terakhir berhasil membuat pertahanannya untuk berhenti malah runtuh seketika.

Helaan napas semakin terasa jelas, jarak wajah keduanya hanya tersisa beberapa senti saja. Pandangan terkunci tepat di mata satu sama lain. Jaemin menyadari mata Jeno terlihat lebih tegas saat berada di situasi serius.

Eh?

Apa tadi?

SERIUS?

Satu tangan Jeno terangkat untuk menahan tengkuk Jaemin agar lelaki itu tidak bisa menjauhkan kepalanya lagi. Dan pada saat itu juga Jeno menggigit jarak terakhir diantara mereka sambil menutup kelopak matanya.

Tidak tahu apakah ini bisa dikategorikan sebagai ciuman atau tidak, ujung bibir mereka hanya bertemu sebab habisnya gigitan terakhir itu. Mata Jaemin terbelalak, seketika ia memundurkan kepalanya cukup kencang.

“J-JENOOO!!!”

“Apa?” Jeno mengambil satu pepero milik Jaemin lagi. “Aku menang,” sambil menempatkan ujung pepero di belahan bibirnya.

“Apa-apaan?!”

“Protes, payah.”

“ARGH BIBIR SUCI AKU!!!”

“Kalah diem.”

“Stop ngomong kayak gitu!”

“Kalo gitu kamu harus menang.” Sambil mengarahkan pepero nya ke Jaemin. Namun kali ini Jeno melepaskan kacamatanya.

“Kenapa—dilepas...?”

“Ganjel.” Jeno menggeser duduknya agar lebih dekat, dan memindahkan lengannya ke belakang Jaemin. Satu pepero di bibir siap disantap! “Ayo.”

”...”

Jaemin mengusap wajahnya kasar, dan ia lebih memilih untuk berhenti berbicara dan—FUCK IT!

Krek!

Chup!

Coba tebak? Sepertinya Jaemin lebih agresif kali ini. Bahkan mata Jeno terbelalak saat Jaemin tidak memberikan aba-aba apapun dan langsung mematahkan pepero di bibir Jeno menjadi dua bagian yang membuat ranum keduanya bertemu—lagi.

Ia rasa otaknya tidak bekerja dengan baik, atau memang Jeno yang bisa mempengaruhi orang lain dengan kata-katanya. Jaemin curiga bahwa Jeno memasukkan mantra di dalamnya.

Buktinya Jaemin seakan lupa akan fakta bahwa mereka berdua sahabat sesama laki-laki dan seharusnya tidak melakukan hal seperti ini. Bahkan di Korea pun, tetap tidak bisa di normalisasikan. Apa jadinya jika pihak Sekolah mengetahui ada dua siswa yang tengah memainkan pepero game berujung saling menyesap belah bibir satu sama lain?

Ya, kalimat yang terakhir bukanlah kebohongan, mereka, Jeno dan Jaemin benar-benar melakukannya. Dengan Jaemin menutup matanya serapat mungkin, dan Jeno yang berusaha menenangkan sahabatnya dengan mengusapkan lembut ibu jarinya di pipi Jaemin.

“Kamu bikin kaget—”

“Diem.”

Jaemin menjauhkan wajahnya kala tautan mereka akhirnya terlepas. Wajahnya semerah udang rebus, asap keluar dari telinganya menandakan afeksi yang Jeno berikan membuat dampak.

Kepalanya terasa berat karena jantungnya tidak bisa bekerja sama, apalagi perasaan menyesal yang mendalam karena hal tidak lazim yang barusan ia lakukan membuatnya 100x lipat lebih malu.

Tidak bisa berkata-kata, Jaemin bangun dari duduknya sambil menenteng almamater yang sedari tadi terlupakan.

Grep

“Mau kemana?” Tanya Jeno seperti tidak ada apapun yang terjadi.

“Aku menang, bentar lagi bel bunyi aku harus balik ke kelas.”

“Kata siapa kamu menang? Yakin mau turun ke bawah pas muka kamu lagi merah banget kayak gitu?”

”...”

Jaemin tidak bisa membalas perkataan Jeno, tangannya sudah lebih dulu ditarik untuk kembali duduk di lantai. Genggaman hangat itu masih belum terlepas, Jaemin menundukkan wajahnya yang hanya dilindungi rambut poni sambil meremat jaket almamaternya kuat-kuat.

“Badan kamu tegang.”

“Pernyataan yang gak harus diperjelas lagi penyebabnya.”

“Gimana kalo kita bolos hari ini?”

“Juara kelas yang ini lagi kerasukan apa sebenernya?”

“Sini,” Jeno menepuk pahanya. “Kita bobo siang aja sampe pulang.”

Karena temannya yang tak kunjung berkutik, Jeno menarik lengan Jaemin untuk membawa kepalanya beristirahat di pangkuan Jeno.

Kepekaan Jeno tergolong cukup tinggi untuk seukuran hubungan antar teman membuat siapapun yang diberikan perhatian olehnya merasa nyaman dan aman. Tapi tidak untuk ketenangan karena Jeno bisa membahayakan hati siapapun. Jaemin tidak mengetahui dari mana Jeno mendapat semua kepribadian lembut ini, dan sudah berapa banyak perempuan yang ia perlakukan layaknya seorang putri.

“Temen aku satu-satunya ini ternyata keren juga.”

“Huh?” Jaemin memutar kepalanya menghadap ke arah Jeno.

“Kamu nggak perlu malu karena di tolak, aku bisa liat kalo kamu itu gentleman, Jaemin Na.” Tak henti-hentinya Jeno mengelus surai Jaemin. Tangan Jeno bisa saja menghancurkan benda di sekitarnya, namun di sisi lain juga bisa merubah menjadi wilayah yang nyaman untuk orang lain.

Kalau ia bisa, Jaemin berjanji akan memfokuskan dirinya terlebih dahulu ke Jeno sebelum mencari kekasih. Nyatanya hubungan yang semakin dekat membuatnya tak rela melepaskan lelaki April itu. Jika ia fokus memiliki pacar, waktunya dengan Jeno akan berkurang. Ia akan gunakan semuanya untuk mengenal temannya ini lebih baik.

Terus seperti ini.

Kemungkinan juga ia akan melebihkan sedikit dosis perhatiannya untuk Jeno, si lelaki senyum bulan sabit. Dan jangan biarkan saat-saat seperti ini berjalan dengan cepat karena momen-momen berharga dalam hidup bukanlah film yang dapat diputar kembali.

·

·

·

[ FIN. ]


P.s: thank you for reading, dan jangan lupa kasih kritik dan sarannya di sc atau cc~

© novadelue_2021 🍿

HOW'S YOUR PEPERO DAY

I'm sorry for late post. Ini udah telat banget padahal, yang sebenernya buat pepero day waktu itu tapi gue gak sempet nyelesaiin. Oneshoot ini tetep di up karena satu dan lain hal. So, semoga kalian semua enjoy^^

Tepat pada hari ini tanggal 11 bulan 11 alias 11 November bertepatan dengan hari kasih sayang di Korea Selatan—mirip valentine namun ada yang sedikit membedakan.

Hari ini disebut sebagai Pepero Day. Itu adalah sebuah sebutan untuk salah satu hari kasih sayang di Korea. Bedanya orang-orang akan saling bertukar pepero (salah satu merk kue stick seperti pocky), untuk mengungkapkan rasa sayang kepada kekasih atau sahabat.

Atau mungkin hari yang tepat juga untuk menyatakan perasaan kepada seseorang yang disukai?

Namun bagi seorang lelaki berkacamata yang duduk di dekat jendela kelas itu, hari ini tampak tidak ada yang terlalu spesial.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di sekolah tempatnya mereka ikut serta dalam hari kasih sayang ini. Semua murid diharuskan membawa satu kotak pepero untuk diberikan kepada orang yang mereka sayangi, seperti sahabat ataupun untuk mengucapkan terima kasih pada guru favorit mereka.

Siswa laki-laki yang menggunakan name tag bertuliskan Lee Jeno itu menatap malas keluar jendela disaat murid lainnya di kelas sangat excited menunggu bell berbunyi. Di kolong mejanya terdapat satu kotak pepero rasa stroberi yang ia beli tadi pagi sebelum berangkat ke Sekolah, ia hanya ingin mematuhi peraturan yang ada.

Tak selang beberapa lama, guru di kelas menjelaskan dua baris kalimat terakhir dan saat itu juga bell istirahat kedua berbunyi. Siswa dan siswi kelas Jeno tampak sudah mempersiapkan pepero mereka, ada pula yang tidak sabar untuk keluar dari kelas.

“Baik anak-anak boleh ditutup bukunya, kalian semua boleh istirahat, jangan lupa yang sudah bawa pepero bisa langsung kasih ke orang yang kalian tuju. Pelajaran dari ibu hari ini kita sudahi dulu, kita bertemu lagi minggu depan.”

Satu murid yang duduk paling belakang keluar dari kelas lebih dulu, dengan cepat ia berlari sambil membawa pepero menuju entah kemana. Sedangkan yang lain hanya menatap kepergian lelaki yang tidak pernah mendengarkan pelajaran itu, mereka semua tahu soal dia yang menyukai salah satu siswi populer kelas sebelah. Sedangkan yang lainnya mulai berpergian dari kelas menuju tujuan mereka masing-masing.

“Loh Jeno, kamu gak ikut keluar kelas?” Tanya sang guru saat melihat Jeno masih terduduk di bangkunya saat semua teman-temannya sudah sibuk dengan aktivitas di luar kelas.

“Iya bu, ini baru mau keluar,” ujar Jeno sambil menunjukkan kemasan pepero nya yang masih penuh. Jeno keluar dari kelas, dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah para murid yang sibuk bertegur sapa dengan kawannya.

Jeno yang selama hari pepero tidak pernah menerima bahkan memberikan pepero kepada orang lain. Setiap tahunnya ia akan diam-diam pergi ke atap Sekolah untuk memakan pepero nya sendirian agar terlihat yang ia bawa sudah diberikan pada seseorang.

Lelaki bersurai menopang tubuhnya dengan tangan untuk melihat keluar jendela depan kelasnya. Ia ingin melihat ada apa di halaman belakang Sekolahnya. Tampak sepi tidak ada siapapun sampai iris Jeno menangkap satu sosok yang menarik perhatiannya sedang memegang satu box pepero di tangannya.

Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah benda pipih dan langsung mencari satu nomor kontak yang sudah tersimpan cukup lama di sana.

'친구🐰' (teman🐰)

“Kamu dimana?” Jeno bisa melihat sosok laki-laki itu di bawah sana mengeluarkan ponsel dari saku untuk mengangkat panggilan darinya

“Rahasia.”

“Kamu yakin sama yang semalem?”

“Bukannya kamu yang bilang sendiri kalo aku harus coba daripada nggak sama sekali? Kamu gak lupa kan pernah ngomong itu?”

Jeno mengangguk walau orang di sebrang sana tidak melihatnya. Ia memperhatikan temannya itu yang tengah berjalan kesana kemari untuk melepas gugup. Sudah lama sosok yang ia sebut sebagai teman itu menaruh perasaan kepada salah satu siswi dari kelas 11, dalam kata lain adik kelasnya. Dan semalam mereka berdua sempat berbincang lewat telepon, Jeno berkata temannya itu haru cepat menyatakan perasaan sebelum semuanya terlambat.

Daripada 'tidak sama sekali', Jeno bilang tentang masalah diterima atau ditolaknya itu belakangan. Bisa dibilang temannya itu cukup pengecut untuk menyatakan perasaan yang dirasakan. Maka dari itu sebagai sosok 'teman', Jeno memberikan setidaknya sedikit semangat untuk teman laki-lakinya itu.

“Semoga berhasil.”

“Kamu juga, jangan lupa kasih pepero kamu ke orang lain. Awas aja kalo kamu makan sendiri lagi.”

“Ngatur.”

“Terserah.”

Tut

Masih di tempatnya berdiri, Jeno memperhatikan gerak-gerik temannya itu yang tampak tidak tenang. Lelaki bersurai gelap dengan mata bulat itu tampak sedang berlatih dengan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa.

Menurut Jeno, jika seseorang menyusun kata-kata saat hendak menyatakan perasaannya kepada orang lain, dan sudah berlatih keras untuk itu. Sekitar 80% orang akan cenderung mengatakan apa yang ia rasakan seadanya, dalam kata lain; di luar skenario—setelah berhadapan langsung dengan orang yang dituju. Jadi tidak perlu merangkai kata-kata yang terlalu merepotkan, cukup kumpulkan keberanian dan ketulusan. .

Lelaki di bawah mulai berlatih adegan, seperti membungkuk 45° lalu menyodorkan peperonya, atau memberikannya biasa namun matanya terpejam saat berbicara, atau dengan gaya lain seperti memasukkan satu tangan ke dalam saku dengan satu tangan yang lain menyodorkan kotak pepero yang pada akhirnya membuat lelaki bermata bulat itu geli sendiri.

Dari atas Jeno hanya bisa memandanginya, sesekali terkekeh saat temannya itu melakukan hal konyol. Apapun yang dilakukan teman laki-laki satu-satunya itu dengan sederhana dapat membuat kedua ujung bibir Jeno terangkat. Bahkan kelopak matanya membentuk seperti bulan sabit membuat siapapun yang melihatnya mungkin terpesona.

Oh itu dia, siswi yang sedari tadi temannya tunggu akhirnya datang. Temannya terkejut membalikkan badannya saat namanya dipanggil. Seketika tangannya gemetar, melihat seseorang yang menjadi alasan dibalik semua kegugupannya hari ini berdiri dihadapan.

Mata Jeno berubah serius. Ia menelaah dengan seksama bagaimana temannya itu berbicara terbata-bata, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menjadikan suasana di bawah sana terlihat sangat canggung.

Sekitar tiga menit berlalu, pepero yang hanya dipegang kini disodorkan kepada siswi tersebut. Ada jeda di antara itu, suasana yang sudah canggung tampak memburuk. Jeno mengerutkan dahinya saat temannya itu terlihat sudah pasrah karena pepero nya tak kunjung diterimanya.

Mungkin kata maaf yang dilontarkan siswi tersebut sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi tanpa mengambil kotak pepero itu. Jeno meringis, melihat temannya berakhir seperti itu membuat hatinya mengganjal. Sebenarnya ada rasa bersalah saat mata cerah itu menjadi redup, walaupun Jeno hanya memberikan saran pada awalnya.

Jeno menegakkan tubuhnya, lalu berjalan pergi dari sana. Ia akan menuju ke tempat dimana setiap tahunnya ia akan menghabiskan waktu pepero day nya dengan makan kue berbentuk stick itu sendiri.


Sambil menenteng almamater miliknya, lelaki dengan name tag Na Jaemin dengan lemah melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.

Hari ini ia nobatkan sebagai salah satu hari terburuk dan memalukan di hidupnya. Masalahnya hari yang seharusnya menjadi hari kasih sayang berputar jadi hari kasih penyesalan. Memang seharusnya ia tidak pernah melontarkan isi hatinya kepada orang itu yang membuat dirinya mungkin tak mampu memandang kagum lagi karena terlalu malu.

Dibukanya pintu akses menuju atap Sekolah, tiupan angin yang datang seakan menyambutnya entah dalam rangka “selamat hari ini kamu gagal,” atau “sayang sekali kamu kurang beruntung”.

Jaemin berjalan ke sisi tembok lainnya guna mencari satu sosok yang sudah membangkitkan keberanian konyol itu. Seperti biasa, Lee Jeno dengan kacamata yang masih bertengger di hidungnya tengah memakan pepero sambil menggunakan earphone.

“How's your Pepero Day?” Tanya Jeno saat teman yang sudah ditunggu mendudukkan diri tepat di sebelahnya. Na Jaemin tidak menjawab, ia hanya menyenderkan punggung yang terasa berat ke dinding.

“Ok,” jawab Jeno seakan sudah tahu jawabannya, namun Jaemin tidak mau ambil pusing.

“Apa juga aku bilang dari awal, seharusnya emang nggak usah pernah bilang ke dia.”

“Aku kasih kamu saran bukan nyuruh. Lagipula yang buat kamu akhirnya yakin buat nyatain apa—”

“YA GARA-GARA OMONGAN KAMU LAH! Heran kok bisa sih kata-kata kamu ngelabuhin aku?” Kesal Jaemin sambil menopang dagunya dengan lutut.

“Bukan jawaban. Yang buat kamu yakin itu ya diri kamu sendiri. Kalo kamu udah tau bakal ditolak ya kamu gak bakal ngelakuin. Tapi sesuatu yang ada di otak kamu buat kamu berani sedikit demi sedikit. Yakin adanya peluang, ada harapan di hati kamu semuanya bakal berjalan sesuai ekspektasi. Manusia mana yang tau kalo ada satu kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan itu jawabannya? Kita hidup serba menebak, bahkan satu menit setelah ini kita masih bisa liat matahari atau engga kita gak tau. Apapun bisa terjadi~” Ambil satu stik pepero, lalu dimasukkan ke dalam mulut.

Lanjut Jeno, “satu detik setelah ini kamu juga gak tau apa kamu masih dikasih bernapas atau enggak.”

Jaemin menghirup udara, “masih kok.”

“Satu detik lagi.”

“Masih.”

“Satu detik lagi.”

“Masiihhhh...”

“Satu detik lagi.”

“Masih Jenooo ih!”

“Terus apa kamu tau di besi itu bakal ada siapa setelah ini?”

“Gak ada, karena cuma ada kita berdua di sini.”

Setelah mengucapkannya, mata Jaemin mengikuti arah burung yang terbang mendekat lalu bertengger di atas besi pembatas itu.

“Selamat atas kesalahannya~”

Tak bisa dipungkiri lagi, mau sekecil apapun hal itu pasti memiliki beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Ada yang bisa di terka dan ada yang rahasia semesta.

“Aku pernah baca artikel tentang multiverse. Daughter universe, pernah denger?” Tanya Jeno yang dapat gelengan dari lawan bicaranya.

“Ada universe lain selain universe yang kita tinggalin saat ini, dan kemungkinan-kemungkinan yang ada terjadi di universe yang berbeda. Mungkin burung itu sekarang bertengger, tapi di universe lain dia lebih milih buat lanjut terbang cari bangunan lain. Mungkin saat ini aku bicara soal multiverse sama kamu, mungkin di universe lain kita cuma duduk diem-dieman. Mungkin di universe ini kamu ditolak, tapi di universe lain kamu diterima dan kamu nggak bakal naik ke rooftop, aku bakal tetep makan pepero sendirian. Semua hal di dunia punya sisi cacat dan sebaliknya.”

Jeno menengok ke arah Jaemin yang menunduk lesu sambil membuka bungkus pepero nya dengan lemah. Satu stik ia masukan ke dalam mulut lalu mengangguk—dalam arti Jaemin mengerti soal perkataan Jeno barusan.

“Masih malu, tapi seenggaknya kamu nggak sendirian hari ini.” Jaemin menemukan sisi lain yang ia dapatkan tentang apa yang terjadi hari ini. Dengan dada yang masih sesak, ia masih bisa mengisi kekosongan di sebelah Jeno.

“Boleh minta?”

Mengangguk kecil, Jaemin berbagi pepero nya dengan Jeno. Yang awalnya suka mengejek soal Jeno yang selalu memakan pepero bawaannya, sekarang Jaemin memakan omongannya sendiri.

“Kenapa harus stroberi?” Tanya Jaemin.

“Karena cuma tinggal ini tadi pagi, yang lainnya udah abis. Kamu mau?”

“Aku nggak suka stroberi.”

“Oke.”

Keheningan menyelimuti keduanya beberapa saat. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing, apalagi otak Jaemin yang masih memutar ulang rekaman yang seharusnya tidak ia ingat lagi. Tapi hanya itu spotlight kejadian hari ini yang akan terukir dalam untuk sementara waktu.

“Iya, aku di tolak.” Jaemin mulai membuka cerita. Ia menceritakan secara rinci kronologi kejadian memalukan itu. Jaemin terus menyebutnya memalukan karena ia sadar dirinya cukup tampan dan disegani, namun spesial hari ini sang adik kelas cantik menolak pernyataan cintanya. Wajah tampannya merasa dihianati.

“Aku nggak bakal ngelakuin itu lagi.”

“Jadi kamu nggak bakal punya pendamping hidup.”

“Bukan begitu maksudnya, aku—... Ah nggak tau deh! Pokoknya aku nggak mau lagi! Nggak akan pernah! Never! Nggak ada lagi yang namanya confess! Malu-maluin aja ta—”

Lidah Jaemin tercekat saat wajah Jeno tepat berada di hadapannya dengan sebuah poki terjapit diantara bibir.

Jeno bisa melihat arah netra Jaemin menuju kemana. “Kenapa nggak dilanjutin misuh-misuhnya? Kok berhenti?”

“E-enggak—udah kok...” Apa yang barusan terjadi membuat lidah Jaemin sedikit tercekat, sampai-sampai bicaranya tergagap. Hal yang aneh mulai terjadi, belum pernah ada kecanggungan diantara mereka sebelumnya.

Entah apa yang Jaemin pikirkan, yang jelas lelaki bersurai sama gelapnya dengan Jeno itu tengah merutuki dirinya sendiri.

“Itu—kenapa nggak dimakan?” Tanya Jaemin saat melihat Jeno belum menggigit pepero nya, lelaki itu malah memainkannya sampai bibirnya maju-maju.

“Kenapa, kamu mau gigit juga?” Arag pepero itu kembali ke posisi beberapa saat yang lalu. Jeno mendongak sekilas demi memberi isyarat. Menyuruh Jaemin menggigit ujung pepero cokelat itu.

Krk~

Jaemin menoleh ke arah lain setelah menggigit ujung snack Jeno. Namun kepalanya tidak bertahan lama, ia kembali ke semula dan—

—WOAH Jeno masih di posisinya! “Apa?” Tanya Jaemin ke lelaki yang sedikit mencondongkan badannya itu, seakan memberi isyarat Jaemin untuk menggigit pepero itu lagi.

Digigitnya kembali pepero itu, namun kali ini Jaemin terlonjak dikarenakan Jeno juga ikut menggigit yang membuat wajahnya mendekat.

Mengerjapkan matanya, Jaemin memberanikan diri untuk melanjutkan. Dilihat dari iris Jeno yang seakan menantangnya, jiwa kompetitifnya tak mau kalah.

Walaupun setelahnya Jeno mendekat sedikit, kini reaksi yang diberikan tubuh Jaemin bertambah. Sesuatu berdegup cepat di dalam sana.

“Kayaknya nggak panas-panas banget, kenapa muka kamu merah?”

Ya pikir saja sendiri! Jaemin memang tidak memiliki reputasi buruk sebagai laki-laki, namun kini ia mengumpat dalam hati karena seorang laki-laki membuatnya gugup untuk pertama kai.

“Kamu mau berhenti?”

Jeno mengangkat salah satu ujung bibirnya. “Payah.”

Ah, kata-kata Jeno memang mudah mengelabuhi Jaemin. Bahkan satu kata terakhir berhasil membuat pertahanannya untuk berhenti malah runtuh seketika.

Helaan napas semakin terasa jelas, jarak wajah keduanya hanya tersisa beberapa senti saja. Pandangan terkunci tepat di mata satu sama lain. Jaemin menyadari mata Jeno terlihat lebih tegas saat berada di situasi serius.

Eh?

Apa tadi?

SERIUS?

Satu tangan Jeno terangkat untuk menahan tengkuk Jaemin agar lelaki itu tidak bisa menjauhkan kepalanya lagi. Dan pada saat itu juga Jeno menggigit jarak terakhir diantara mereka sambil menutup kelopak matanya.

Tidak tahu apakah ini bisa dikategorikan sebagai ciuman atau tidak, ujung bibir mereka hanya bertemu sebab habisnya gigitan terakhir itu. Mata Jaemin terbelalak, seketika ia memundurkan kepalanya cukup kencang.

“J-JENOOO!!!”

“Apa?” Jeno mengambil satu pepero milik Jaemin lagi. “Aku menang,” sambil menempatkan ujung pepero di belahan bibirnya.

“Apa-apaan?!”

“Protes, payah.”

“ARGH BIBIR SUCI AKU!!!”

“Kalah diem.”

“Stop ngomong kayak gitu!”

“Kalo gitu kamu harus menang.” Sambil mengarahkan pepero nya ke Jaemin. Namun kali ini Jeno melepaskan kacamatanya.

“Kenapa—dilepas...?”

“Ganjel.” Jeno menggeser duduknya agar lebih dekat, dan memindahkan lengannya ke belakang Jaemin. Satu pepero di bibir siap disantap! “Ayo.”

”...”

Jaemin mengusap wajahnya kasar, dan ia lebih memilih untuk berhenti berbicara dan—FUCK IT!

Krek!

Chup!

Coba tebak? Sepertinya Jaemin lebih agresif kali ini. Bahkan mata Jeno terbelalak saat Jaemin tidak memberikan aba-aba apapun dan langsung mematahkan pepero di bibir Jeno menjadi dua bagian yang membuat ranum keduanya bertemu—lagi.

Ia rasa otaknya tidak bekerja dengan baik, atau memang Jeno yang bisa mempengaruhi orang lain dengan kata-katanya. Jaemin curiga bahwa Jeno memasukkan mantra di dalamnya.

Buktinya Jaemin seakan lupa akan fakta bahwa mereka berdua sahabat sesama laki-laki dan seharusnya tidak melakukan hal seperti ini. Bahkan di Korea pun, tetap tidak bisa di normalisasikan. Apa jadinya jika pihak Sekolah mengetahui ada dua siswa yang tengah memainkan pepero game berujung saling menyesap belah bibir satu sama lain?

Ya, kalimat yang terakhir bukanlah kebohongan, mereka, Jeno dan Jaemin benar-benar melakukannya. Dengan Jaemin menutup matanya serapat mungkin, dan Jeno yang berusaha menenangkan sahabatnya dengan mengusapkan lembut ibu jarinya di pipi Jaemin.

“Kamu bikin kaget—”

“Diem.”

Jaemin menjauhkan wajahnya kala tautan mereka akhirnya terlepas. Wajahnya semerah udang rebus, asap keluar dari telinganya menandakan afeksi yang Jeno berikan membuat dampak.

Kepalanya terasa berat karena jantungnya tidak bisa bekerja sama, apalagi perasaan menyesal yang mendalam karena hal tidak lazim yang barusan ia lakukan membuatnya 100x lipat lebih malu.

Tidak bisa berkata-kata, Jaemin bangun dari duduknya sambil menenteng almamater yang sedari tadi terlupakan.

Grep

“Mau kemana?” Tanya Jeno seperti tidak ada apapun yang terjadi.

“Aku menang, bentar lagi bel bunyi aku harus balik ke kelas.”

“Kata siapa kamu menang? Yakin mau turun ke bawah pas muka kamu lagi merah banget kayak gitu?”

”...”

Jaemin tidak bisa membalas perkataan Jeno, tangannya sudah lebih dulu ditarik untuk kembali duduk di lantai. Genggaman hangat itu masih belum terlepas, Jaemin menundukkan wajahnya yang hanya dilindungi rambut poni sambil meremat jaket almamaternya kuat-kuat.

“Badan kamu tegang.”

“Pernyataan yang gak harus diperjelas lagi penyebabnya.”

“Gimana kalo kita bolos hari ini?”

“Juara kelas yang ini lagi kerasukan apa sebenernya?”

“Sini,” Jeno menepuk pahanya. “Kita bobo siang aja sampe pulang.”

Karena temannya yang tak kunjung berkutik, Jeno menarik lengan Jaemin untuk membawa kepalanya beristirahat di pangkuan Jeno.

Kepekaan Jeno tergolong cukup tinggi untuk seukuran hubungan antar teman membuat siapapun yang diberikan perhatian olehnya merasa nyaman dan aman. Tapi tidak untuk ketenangan karena Jeno bisa membahayakan hati siapapun. Jaemin tidak mengetahui dari mana Jeno mendapat semua kepribadian lembut ini, dan sudah berapa banyak perempuan yang ia perlakukan layaknya seorang putri.

“Temen aku satu-satunya ini ternyata keren juga.”

“Huh?” Jaemin memutar kepalanya menghadap ke arah Jeno.

“Kamu nggak perlu malu karena di tolak, aku bisa liat kalo kamu itu gentleman, Jaemin Na.” Tak henti-hentinya Jeno mengelus surai Jaemin. Tangan Jeno bisa saja menghancurkan benda di sekitarnya, namun di sisi lain juga bisa merubah menjadi wilayah yang nyaman untuk orang lain.

Kalau ia bisa, Jaemin berjanji akan memfokuskan dirinya terlebih dahulu ke Jeno sebelum mencari kekasih. Nyatanya hubungan yang semakin dekat membuatnya tak rela melepaskan lelaki April itu. Jika ia fokus memiliki pacar, waktunya dengan Jeno akan berkurang. Ia akan gunakan semuanya untuk mengenal temannya ini lebih baik.

Terus seperti ini.

Kemungkinan juga ia akan melebihkan sedikit dosis perhatiannya untuk Jeno, si lelaki senyum bulan sabit. Dan jangan biarkan saat-saat seperti ini berjalan dengan cepat karena momen-momen berharga dalam hidup bukanlah film yang dapat diputar kembali.

·

·

·

[ FIN. ]


P.s: thank you for reading, dan jangan lupa kasih kritik dan sarannya di sc atau cc~

© novadelue_2021 🍿

HOW'S YOUR PEPERO DAY

I'm sorry for late post. Ini udah telat banget padahal, yang sebenernya buat pepero day waktu itu tapi gue gak sempet nyelesaiin. Oneshoot ini tetep di up karena satu dan lain hal. So, semoga kalian semua enjoy^^

Tepat pada hari ini tanggal 11 bulan 11 alias 11 November bertepatan dengan hari kasih sayang di Korea Selatan—mirip valentine namun ada yang sedikit membedakan.

Hari ini disebut sebagai Pepero Day. Itu adalah sebuah sebutan untuk salah satu hari kasih sayang di Korea. Bedanya orang-orang akan saling bertukar pepero (salah satu merk kue stick seperti pocky), untuk mengungkapkan rasa sayang kepada kekasih atau sahabat.

Atau mungkin hari yang tepat juga untuk menyatakan perasaan kepada seseorang yang disukai?

Namun bagi seorang lelaki berkacamata yang duduk di dekat jendela kelas itu, hari ini tampak tidak ada yang terlalu spesial.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di sekolah tempatnya mereka ikut serta dalam hari kasih sayang ini. Semua murid diharuskan membawa satu kotak pepero untuk diberikan kepada orang yang mereka sayangi, seperti sahabat ataupun untuk mengucapkan terima kasih pada guru favorit mereka.

Siswa laki-laki yang menggunakan name tag bertuliskan Lee Jeno itu menatap malas keluar jendela disaat murid lainnya di kelas sangat excited menunggu bell berbunyi. Di kolong mejanya terdapat satu kotak pepero rasa stroberi yang ia beli tadi pagi sebelum berangkat ke Sekolah, ia hanya ingin mematuhi peraturan yang ada.

Tak selang beberapa lama, guru di kelas menjelaskan dua baris kalimat terakhir dan saat itu juga bell istirahat kedua berbunyi. Siswa dan siswi kelas Jeno tampak sudah mempersiapkan pepero mereka, ada pula yang tidak sabar untuk keluar dari kelas.

“Baik anak-anak boleh ditutup bukunya, kalian semua boleh istirahat, jangan lupa yang sudah bawa pepero bisa langsung kasih ke orang yang kalian tuju. Pelajaran dari ibu hari ini kita sudahi dulu, kita bertemu lagi minggu depan.”

Satu murid yang duduk paling belakang keluar dari kelas lebih dulu, dengan cepat ia berlari sambil membawa pepero menuju entah kemana. Sedangkan yang lain hanya menatap kepergian lelaki yang tidak pernah mendengarkan pelajaran itu, mereka semua tahu soal dia yang menyukai salah satu siswi populer kelas sebelah. Sedangkan yang lainnya mulai berpergian dari kelas menuju tujuan mereka masing-masing.

“Loh Jeno, kamu gak ikut keluar kelas?” Tanya sang guru saat melihat Jeno masih terduduk di bangkunya saat semua teman-temannya sudah sibuk dengan aktivitas di luar kelas.

“Iya bu, ini baru mau keluar,” ujar Jeno sambil menunjukkan kemasan pepero nya yang masih penuh. Jeno keluar dari kelas, dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah para murid yang sibuk bertegur sapa dengan kawannya.

Jeno yang selama hari pepero tidak pernah menerima bahkan memberikan pepero kepada orang lain. Setiap tahunnya ia akan diam-diam pergi ke atap Sekolah untuk memakan pepero nya sendirian agar terlihat yang ia bawa sudah diberikan pada seseorang.

Lelaki bersurai menopang tubuhnya dengan tangan untuk melihat keluar jendela depan kelasnya. Ia ingin melihat ada apa di halaman belakang Sekolahnya. Tampak sepi tidak ada siapapun sampai iris Jeno menangkap satu sosok yang menarik perhatiannya sedang memegang satu box pepero di tangannya.

Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah benda pipih dan langsung mencari satu nomor kontak yang sudah tersimpan cukup lama di sana.

'친구🐰' (teman🐰)

“Kamu dimana?” Jeno bisa melihat sosok laki-laki itu di bawah sana mengeluarkan ponsel dari saku untuk mengangkat panggilan darinya

“Rahasia.”

“Kamu yakin sama yang semalem?”

“Bukannya kamu yang bilang sendiri kalo aku harus coba daripada nggak sama sekali? Kamu gak lupa kan pernah ngomong itu?”

Jeno mengangguk walau orang di sebrang sana tidak melihatnya. Ia memperhatikan temannya itu yang tengah berjalan kesana kemari untuk melepas gugup. Sudah lama sosok yang ia sebut sebagai teman itu menaruh perasaan kepada salah satu siswi dari kelas 11, dalam kata lain adik kelasnya. Dan semalam mereka berdua sempat berbincang lewat telepon, Jeno berkata temannya itu haru cepat menyatakan perasaan sebelum semuanya terlambat.

Daripada 'tidak sama sekali', Jeno bilang tentang masalah diterima atau ditolaknya itu belakangan. Bisa dibilang temannya itu cukup pengecut untuk menyatakan perasaan yang dirasakan. Maka dari itu sebagai sosok 'teman', Jeno memberikan setidaknya sedikit semangat untuk teman laki-lakinya itu.

“Semoga berhasil.”

“Kamu juga, jangan lupa kasih pepero kamu ke orang lain. Awas aja kalo kamu makan sendiri lagi.”

“Ngatur.”

“Terserah.”

Tut

Masih di tempatnya berdiri, Jeno memperhatikan gerak-gerik temannya itu yang tampak tidak tenang. Lelaki bersurai gelap dengan mata bulat itu tampak sedang berlatih dengan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa.

Menurut Jeno, jika seseorang menyusun kata-kata saat hendak menyatakan perasaannya kepada orang lain, dan sudah berlatih keras untuk itu. Sekitar 80% orang akan cenderung mengatakan apa yang ia rasakan seadanya, dalam kata lain; di luar skenario—setelah berhadapan langsung dengan orang yang dituju. Jadi tidak perlu merangkai kata-kata yang terlalu merepotkan, cukup kumpulkan keberanian dan ketulusan. .

Lelaki di bawah mulai berlatih adegan, seperti membungkuk 45° lalu menyodorkan peperonya, atau memberikannya biasa namun matanya terpejam saat berbicara, atau dengan gaya lain seperti memasukkan satu tangan ke dalam saku dengan satu tangan yang lain menyodorkan kotak pepero yang pada akhirnya membuat lelaki bermata bulat itu geli sendiri.

Dari atas Jeno hanya bisa memandanginya, sesekali terkekeh saat temannya itu melakukan hal konyol. Apapun yang dilakukan teman laki-laki satu-satunya itu dengan sederhana dapat membuat kedua ujung bibir Jeno terangkat. Bahkan kelopak matanya membentuk seperti bulan sabit membuat siapapun yang melihatnya mungkin terpesona.

Oh itu dia, siswi yang sedari tadi temannya tunggu akhirnya datang. Temannya terkejut membalikkan badannya saat namanya dipanggil. Seketika tangannya gemetar, melihat seseorang yang menjadi alasan dibalik semua kegugupannya hari ini berdiri dihadapan.

Mata Jeno berubah serius. Ia menelaah dengan seksama bagaimana temannya itu berbicara terbata-bata, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menjadikan suasana di bawah sana terlihat sangat canggung.

Sekitar tiga menit berlalu, pepero yang hanya dipegang kini disodorkan kepada siswi tersebut. Ada jeda di antara itu, suasana yang sudah canggung tampak memburuk. Jeno mengerutkan dahinya saat temannya itu terlihat sudah pasrah karena pepero nya tak kunjung diterimanya.

Mungkin kata maaf yang dilontarkan siswi tersebut sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi tanpa mengambil kotak pepero itu. Jeno meringis, melihat temannya berakhir seperti itu membuat hatinya mengganjal. Sebenarnya ada rasa bersalah saat mata cerah itu menjadi redup, walaupun Jeno hanya memberikan saran pada awalnya.

Jeno menegakkan tubuhnya, lalu berjalan pergi dari sana. Ia akan menuju ke tempat dimana setiap tahunnya ia akan menghabiskan waktu pepero day nya dengan makan kue berbentuk stick itu sendiri.


Sambil menenteng almamater miliknya, lelaki dengan name tag Na Jaemin dengan lemah melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.

Hari ini ia nobatkan sebagai salah satu hari terburuk dan memalukan di hidupnya. Masalahnya hari yang seharusnya menjadi hari kasih sayang berputar jadi hari kasih penyesalan. Memang seharusnya ia tidak pernah melontarkan isi hatinya kepada orang itu yang membuat dirinya mungkin tak mampu memandang kagum lagi karena terlalu malu.

Dibukanya pintu akses menuju atap Sekolah, tiupan angin yang datang seakan menyambutnya entah dalam rangka “selamat hari ini kamu gagal,” atau “sayang sekali kamu kurang beruntung”.

Jaemin berjalan ke sisi tembok lainnya guna mencari satu sosok yang sudah membangkitkan keberanian konyol itu. Seperti biasa, Lee Jeno dengan kacamata yang masih bertengger di hidungnya tengah memakan pepero sambil menggunakan earphone.

“How's your Pepero Day?” Tanya Jeno saat teman yang sudah ditunggu mendudukkan diri tepat di sebelahnya. Na Jaemin tidak menjawab, ia hanya menyenderkan punggung yang terasa berat ke dinding.

“Ok,” jawab Jeno seakan sudah tahu jawabannya, namun Jaemin tidak mau ambil pusing.

“Apa juga aku bilang dari awal, seharusnya emang nggak usah pernah bilang ke dia.”

“Aku kasih kamu saran bukan nyuruh. Lagipula yang buat kamu akhirnya yakin buat nyatain apa—”

“YA GARA-GARA OMONGAN KAMU LAH! Heran kok bisa sih kata-kata kamu ngelabuhin aku?” Kesal Jaemin sambil menopang dagunya dengan lutut.

“Bukan jawaban. Yang buat kamu yakin itu ya diri kamu sendiri. Kalo kamu udah tau bakal ditolak ya kamu gak bakal ngelakuin. Tapi sesuatu yang ada di otak kamu buat kamu berani sedikit demi sedikit. Yakin adanya peluang, ada harapan di hati kamu semuanya bakal berjalan sesuai ekspektasi. Manusia mana yang tau kalo ada satu kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan itu jawabannya? Kita hidup serba menebak, bahkan satu menit setelah ini kita masih bisa liat matahari atau engga kita gak tau. Apapun bisa terjadi~” Ambil satu stik pepero, lalu dimasukkan ke dalam mulut.

Lanjut Jeno, “satu detik setelah ini kamu juga gak tau apa kamu masih dikasih bernapas atau enggak.”

Jaemin menghirup udara, “masih kok.”

“Satu detik lagi.”

“Masih.”

“Satu detik lagi.”

“Masiihhhh...”

“Satu detik lagi.”

“Masih Jenooo ih!”

“Terus apa kamu tau di besi itu bakal ada siapa setelah ini?”

“Gak ada, karena cuma ada kita berdua di sini.”

Setelah mengucapkannya, mata Jaemin mengikuti arah burung yang terbang mendekat lalu bertengger di atas besi pembatas itu.

“Selamat atas kesalahannya~”

Tak bisa dipungkiri lagi, mau sekecil apapun hal itu pasti memiliki beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Ada yang bisa di terka dan ada yang rahasia semesta.

“Aku pernah baca artikel tentang multiverse. Daughter universe, pernah denger?” Tanya Jeno yang dapat gelengan dari lawan bicaranya.

“Ada universe lain selain universe yang kita tinggalin saat ini, dan kemungkinan-kemungkinan yang ada terjadi di universe yang berbeda. Mungkin burung itu sekarang bertengger, tapi di universe lain dia lebih milih buat lanjut terbang cari bangunan lain. Mungkin saat ini aku bicara soal multiverse sama kamu, mungkin di universe lain kita cuma duduk diem-dieman. Mungkin di universe ini kamu ditolak, tapi di universe lain kamu diterima dan kamu nggak bakal naik ke rooftop, aku bakal tetep makan pepero sendirian. Semua hal di dunia punya sisi cacat dan sebaliknya.”

Jeno menengok ke arah Jaemin yang menunduk lesu sambil membuka bungkus pepero nya dengan lemah. Satu stik ia masukan ke dalam mulut lalu mengangguk—dalam arti Jaemin mengerti soal perkataan Jeno barusan.

“Masih malu, tapi seenggaknya kamu nggak sendirian hari ini.” Jaemin menemukan sisi lain yang ia dapatkan tentang apa yang terjadi hari ini. Dengan dada yang masih sesak, ia masih bisa mengisi kekosongan di sebelah Jeno.

“Boleh minta?”

Mengangguk kecil, Jaemin berbagi pepero nya dengan Jeno. Yang awalnya suka mengejek soal Jeno yang selalu memakan pepero bawaannya, sekarang Jaemin memakan omongannya sendiri.

“Kenapa harus stroberi?” Tanya Jaemin.

“Karena cuma tinggal ini tadi pagi, yang lainnya udah abis. Kamu mau?”

“Aku nggak suka stroberi.”

“Oke.”

Keheningan menyelimuti keduanya beberapa saat. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing, apalagi otak Jaemin yang masih memutar ulang rekaman yang seharusnya tidak ia ingat lagi. Tapi hanya itu spotlight kejadian hari ini yang akan terukir dalam untuk sementara waktu.

“Iya, aku di tolak.” Jaemin mulai membuka cerita. Ia menceritakan secara rinci kronologi kejadian memalukan itu. Jaemin terus menyebutnya memalukan karena ia sadar dirinya cukup tampan dan disegani, namun spesial hari ini sang adik kelas cantik menolak pernyataan cintanya. Wajah tampannya merasa dihianati.

“Aku nggak bakal ngelakuin itu lagi.”

“Jadi kamu nggak bakal punya pendamping hidup.”

“Bukan begitu maksudnya, aku—... Ah nggak tau deh! Pokoknya aku nggak mau lagi! Nggak akan pernah! Never! Nggak ada lagi yang namanya confess! Malu-maluin aja ta—”

Lidah Jaemin tercekat saat wajah Jeno tepat berada di hadapannya dengan sebuah poki terjapit diantara bibir.

Jeno bisa melihat arah netra Jaemin menuju kemana. “Kenapa nggak dilanjutin misuh-misuhnya? Kok berhenti?”

“E-enggak—udah kok...” Apa yang barusan terjadi membuat lidah Jaemin sedikit tercekat, sampai-sampai bicaranya tergagap. Hal yang aneh mulai terjadi, belum pernah ada kecanggungan diantara mereka sebelumnya.

Entah apa yang Jaemin pikirkan, yang jelas lelaki bersurai sama gelapnya dengan Jeno itu tengah merutuki dirinya sendiri.

“Itu—kenapa nggak dimakan?” Tanya Jaemin saat melihat Jeno belum menggigit pepero nya, lelaki itu malah memainkannya sampai bibirnya maju-maju.

“Kenapa, kamu mau gigit juga?” Arag pepero itu kembali ke posisi beberapa saat yang lalu. Jeno mendongak sekilas demi memberi isyarat. Menyuruh Jaemin menggigit ujung pepero cokelat itu.

Krk~

Jaemin menoleh ke arah lain setelah menggigit ujung snack Jeno. Namun kepalanya tidak bertahan lama, ia kembali ke semula dan—

—WOAH Jeno masih di posisinya! “Apa?” Tanya Jaemin ke lelaki yang sedikit mencondongkan badannya itu, seakan memberi isyarat Jaemin untuk menggigit pepero itu lagi.

Digigitnya kembali pepero itu, namun kali ini Jaemin terlonjak dikarenakan Jeno juga ikut menggigit yang membuat wajahnya mendekat.

Mengerjapkan matanya, Jaemin memberanikan diri untuk melanjutkan. Dilihat dari iris Jeno yang seakan menantangnya, jiwa kompetitifnya tak mau kalah.

Walaupun setelahnya Jeno mendekat sedikit, kini reaksi yang diberikan tubuh Jaemin bertambah. Sesuatu berdegup cepat di dalam sana.

“Kayaknya nggak panas-panas banget, kenapa muka kamu merah?”

Ya pikir saja sendiri! Jaemin memang tidak memiliki reputasi buruk sebagai laki-laki, namun kini ia mengumpat dalam hati karena seorang laki-laki membuatnya gugup untuk pertama kai.

“Kamu mau berhenti?”

Jeno mengangkat salah satu ujung bibirnya. “Payah.”

Ah, kata-kata Jeno memang mudah mengelabuhi Jaemin. Bahkan satu kata terakhir berhasil membuat pertahanannya untuk berhenti malah runtuh seketika.

Helaan napas semakin terasa jelas, jarak wajah keduanya hanya tersisa beberapa senti saja. Pandangan terkunci tepat di mata satu sama lain. Jaemin menyadari mata Jeno terlihat lebih tegas saat berada di situasi serius.

Eh?

Apa tadi?

SERIUS?

Satu tangan Jeno terangkat untuk menahan tengkuk Jaemin agar lelaki itu tidak bisa menjauhkan kepalanya lagi. Dan pada saat itu juga Jeno menggigit jarak terakhir diantara mereka sambil menutup kelopak matanya.

Tidak tahu apakah ini bisa dikategorikan sebagai ciuman atau tidak, ujung bibir mereka hanya bertemu sebab habisnya gigitan terakhir itu. Mata Jaemin terbelalak, seketika ia memundurkan kepalanya cukup kencang.

“J-JENOOO!!!”

“Apa?” Jeno mengambil satu pepero milik Jaemin lagi. “Aku menang,” sambil menempatkan ujung pepero di belahan bibirnya.

“Apa-apaan?!”

“Protes, payah.”

“ARGH BIBIR SUCI AKU!!!”

“Kalah diem.”

“Stop ngomong kayak gitu!”

“Kalo gitu kamu harus menang.” Sambil mengarahkan pepero nya ke Jaemin. Namun kali ini Jeno melepaskan kacamatanya.

“Kenapa—dilepas...?”

“Ganjel.” Jeno menggeser duduknya agar lebih dekat, dan memindahkan lengannya ke belakang Jaemin. Satu pepero di bibir siap disantap! “Ayo.”

”...”

Jaemin mengusap wajahnya kasar, dan ia lebih memilih untuk berhenti berbicara dan—FUCK IT!

Krek!

Chup!

Coba tebak? Sepertinya Jaemin lebih agresif kali ini. Bahkan mata Jeno terbelalak saat Jaemin tidak memberikan aba-aba apapun dan langsung mematahkan pepero di bibir Jeno menjadi dua bagian yang membuat ranum keduanya bertemu—lagi.

Ia rasa otaknya tidak bekerja dengan baik, atau memang Jeno yang bisa mempengaruhi orang lain dengan kata-katanya. Jaemin curiga bahwa Jeno memasukkan mantra di dalamnya.

Buktinya Jaemin seakan lupa akan fakta bahwa mereka berdua sahabat sesama laki-laki dan seharusnya tidak melakukan hal seperti ini. Bahkan di Korea pun, tetap tidak bisa di normalisasikan. Apa jadinya jika pihak Sekolah mengetahui ada dua siswa yang tengah memainkan pepero game berujung saling menyesap belah bibir satu sama lain?

Ya, kalimat yang terakhir bukanlah kebohongan, mereka, Jeno dan Jaemin benar-benar melakukannya. Dengan Jaemin menutup matanya serapat mungkin, dan Jeno yang berusaha menenangkan sahabatnya dengan mengusapkan lembut ibu jarinya di pipi Jaemin.

“Kamu bikin kaget—”

“Diem.”

Jaemin menjauhkan wajahnya kala tautan mereka akhirnya terlepas. Wajahnya semerah udang rebus, asap keluar dari telinganya menandakan afeksi yang Jeno berikan membuat dampak.

Kepalanya terasa berat karena jantungnya tidak bisa bekerja sama, apalagi perasaan menyesal yang mendalam karena hal tidak lazim yang barusan ia lakukan membuatnya 100x lipat lebih malu.

Tidak bisa berkata-kata, Jaemin bangun dari duduknya sambil menenteng almamater yang sedari tadi terlupakan.

Grep

“Mau kemana?” Tanya Jeno seperti tidak ada apapun yang terjadi.

“Aku menang, bentar lagi bel bunyi aku harus balik ke kelas.”

“Kata siapa kamu menang? Yakin mau turun ke bawah pas muka kamu lagi merah banget kayak gitu?”

”...”

Jaemin tidak bisa membalas perkataan Jeno, tangannya sudah lebih dulu ditarik untuk kembali duduk di lantai. Genggaman hangat itu masih belum terlepas, Jaemin menundukkan wajahnya yang hanya dilindungi rambut poni sambil meremat jaket almamaternya kuat-kuat.

“Badan kamu tegang.”

“Pernyataan yang gak harus diperjelas lagi penyebabnya.”

“Gimana kalo kita bolos hari ini?”

“Juara kelas yang ini lagi kerasukan apa sebenernya?”

“Sini,” Jeno menepuk pahanya. “Kita bobo siang aja sampe pulang.”

Karena temannya yang tak kunjung berkutik, Jeno menarik lengan Jaemin untuk membawa kepalanya beristirahat di pangkuan Jeno.

Kepekaan Jeno tergolong cukup tinggi untuk seukuran hubungan antar teman membuat siapapun yang diberikan perhatian olehnya merasa nyaman dan aman. Tapi tidak untuk ketenangan karena Jeno bisa membahayakan hati siapapun. Jaemin tidak mengetahui dari mana Jeno mendapat semua kepribadian lembut ini, dan sudah berapa banyak perempuan yang ia perlakukan layaknya seorang putri.

“Temen aku satu-satunya ini ternyata keren juga.”

“Huh?” Jaemin memutar kepalanya menghadap ke arah Jeno.

“Kamu nggak perlu malu karena di tolak, aku bisa liat kalo kamu itu gentleman, Jaemin Na.” Tak henti-hentinya Jeno mengelus surai Jaemin. Tangan Jeno bisa saja menghancurkan benda di sekitarnya, namun di sisi lain juga bisa merubah menjadi wilayah yang nyaman untuk orang lain.

Kalau ia bisa, Jaemin berjanji akan memfokuskan dirinya terlebih dahulu ke Jeno sebelum mencari kekasih. Nyatanya hubungan yang semakin dekat membuatnya tak rela melepaskan lelaki April itu. Jika ia fokus memiliki pacar, waktunya dengan Jeno akan berkurang. Ia akan gunakan semuanya untuk mengenal temannya ini lebih baik.

Terus seperti ini.

Kemungkinan juga ia akan melebihkan sedikit dosis perhatiannya untuk Jeno, si lelaki senyum bulan sabit. Dan jangan biarkan saat-saat seperti ini berjalan dengan cepat karena momen-momen berharga dalam hidup bukanlah film yang dapat diputar kembali.

·

·

·

[ FIN. ]


P.s: thank you for reading, dan jangan lupa kasih kritik dan sarannya di sc atau cc~

© novadelue_2021 🍿

I'm sorry for late post. Ini udah telat banget padahal, yang sebenernya buat pepero day waktu itu tapi gue gak sempet nyelesaiin. Oneshoot ini tetep di up karena satu dan lain hal. So, semoga kalian semua enjoy^^

Tepat pada hari ini tanggal 11 bulan 11 alias 11 November bertepatan dengan hari kasih sayang di Korea Selatan—mirip valentine namun ada yang sedikit membedakan.

Hari ini disebut sebagai Pepero Day. Itu adalah sebuah sebutan untuk salah satu hari kasih sayang di Korea. Bedanya orang-orang akan saling bertukar pepero (salah satu merk kue stick seperti pocky), untuk mengungkapkan rasa sayang kepada kekasih atau sahabat.

Atau mungkin hari yang tepat juga untuk menyatakan perasaan kepada seseorang yang disukai?

Namun bagi seorang lelaki berkacamata yang duduk di dekat jendela kelas itu, hari ini tampak tidak ada yang terlalu spesial.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di sekolah tempatnya mereka ikut serta dalam hari kasih sayang ini. Semua murid diharuskan membawa satu kotak pepero untuk diberikan kepada orang yang mereka sayangi, seperti sahabat ataupun untuk mengucapkan terima kasih pada guru favorit mereka.

Siswa laki-laki yang menggunakan name tag bertuliskan Lee Jeno itu menatap malas keluar jendela disaat murid lainnya di kelas sangat excited menunggu bell berbunyi. Di kolong mejanya terdapat satu kotak pepero rasa stroberi yang ia beli tadi pagi sebelum berangkat ke Sekolah, ia hanya ingin mematuhi peraturan yang ada.

Tak selang beberapa lama, guru di kelas menjelaskan dua baris kalimat terakhir dan saat itu juga bell istirahat kedua berbunyi. Siswa dan siswi kelas Jeno tampak sudah mempersiapkan pepero mereka, ada pula yang tidak sabar untuk keluar dari kelas.

“Baik anak-anak boleh ditutup bukunya, kalian semua boleh istirahat, jangan lupa yang sudah bawa pepero bisa langsung kasih ke orang yang kalian tuju. Pelajaran dari ibu hari ini kita sudahi dulu, kita bertemu lagi minggu depan.”

Satu murid yang duduk paling belakang keluar dari kelas lebih dulu, dengan cepat ia berlari sambil membawa pepero menuju entah kemana. Sedangkan yang lain hanya menatap kepergian lelaki yang tidak pernah mendengarkan pelajaran itu, mereka semua tahu soal dia yang menyukai salah satu siswi populer kelas sebelah. Sedangkan yang lainnya mulai berpergian dari kelas menuju tujuan mereka masing-masing.

“Loh Jeno, kamu gak ikut keluar kelas?” Tanya sang guru saat melihat Jeno masih terduduk di bangkunya saat semua teman-temannya sudah sibuk dengan aktivitas di luar kelas.

“Iya bu, ini baru mau keluar,” ujar Jeno sambil menunjukkan kemasan pepero nya yang masih penuh. Jeno keluar dari kelas, dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah para murid yang sibuk bertegur sapa dengan kawannya.

Jeno yang selama hari pepero tidak pernah menerima bahkan memberikan pepero kepada orang lain. Setiap tahunnya ia akan diam-diam pergi ke atap Sekolah untuk memakan pepero nya sendirian agar terlihat yang ia bawa sudah diberikan pada seseorang.

Lelaki bersurai menopang tubuhnya dengan tangan untuk melihat keluar jendela depan kelasnya. Ia ingin melihat ada apa di halaman belakang Sekolahnya. Tampak sepi tidak ada siapapun sampai iris Jeno menangkap satu sosok yang menarik perhatiannya sedang memegang satu box pepero di tangannya.

Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah benda pipih dan langsung mencari satu nomor kontak yang sudah tersimpan cukup lama di sana.

'친구🐰' (teman🐰)

“Kamu dimana?” Jeno bisa melihat sosok laki-laki itu di bawah sana mengeluarkan ponsel dari saku untuk mengangkat panggilan darinya

“Rahasia.”

“Kamu yakin sama yang semalem?”

“Bukannya kamu yang bilang sendiri kalo aku harus coba daripada nggak sama sekali? Kamu gak lupa kan pernah ngomong itu?”

Jeno mengangguk walau orang di sebrang sana tidak melihatnya. Ia memperhatikan temannya itu yang tengah berjalan kesana kemari untuk melepas gugup. Sudah lama sosok yang ia sebut sebagai teman itu menaruh perasaan kepada salah satu siswi dari kelas 11, dalam kata lain adik kelasnya. Dan semalam mereka berdua sempat berbincang lewat telepon, Jeno berkata temannya itu haru cepat menyatakan perasaan sebelum semuanya terlambat.

Daripada 'tidak sama sekali', Jeno bilang tentang masalah diterima atau ditolaknya itu belakangan. Bisa dibilang temannya itu cukup pengecut untuk menyatakan perasaan yang dirasakan. Maka dari itu sebagai sosok 'teman', Jeno memberikan setidaknya sedikit semangat untuk teman laki-lakinya itu.

“Semoga berhasil.”

“Kamu juga, jangan lupa kasih pepero kamu ke orang lain. Awas aja kalo kamu makan sendiri lagi.”

“Ngatur.”

“Terserah.”

Tut

Masih di tempatnya berdiri, Jeno memperhatikan gerak-gerik temannya itu yang tampak tidak tenang. Lelaki bersurai gelap dengan mata bulat itu tampak sedang berlatih dengan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa.

Menurut Jeno, jika seseorang menyusun kata-kata saat hendak menyatakan perasaannya kepada orang lain, dan sudah berlatih keras untuk itu. Sekitar 80% orang akan cenderung mengatakan apa yang ia rasakan seadanya, dalam kata lain; di luar skenario—setelah berhadapan langsung dengan orang yang dituju. Jadi tidak perlu merangkai kata-kata yang terlalu merepotkan, cukup kumpulkan keberanian dan ketulusan. .

Lelaki di bawah mulai berlatih adegan, seperti membungkuk 45° lalu menyodorkan peperonya, atau memberikannya biasa namun matanya terpejam saat berbicara, atau dengan gaya lain seperti memasukkan satu tangan ke dalam saku dengan satu tangan yang lain menyodorkan kotak pepero yang pada akhirnya membuat lelaki bermata bulat itu geli sendiri.

Dari atas Jeno hanya bisa memandanginya, sesekali terkekeh saat temannya itu melakukan hal konyol. Apapun yang dilakukan teman laki-laki satu-satunya itu dengan sederhana dapat membuat kedua ujung bibir Jeno terangkat. Bahkan kelopak matanya membentuk seperti bulan sabit membuat siapapun yang melihatnya mungkin terpesona.

Oh itu dia, siswi yang sedari tadi temannya tunggu akhirnya datang. Temannya terkejut membalikkan badannya saat namanya dipanggil. Seketika tangannya gemetar, melihat seseorang yang menjadi alasan dibalik semua kegugupannya hari ini berdiri dihadapan.

Mata Jeno berubah serius. Ia menelaah dengan seksama bagaimana temannya itu berbicara terbata-bata, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menjadikan suasana di bawah sana terlihat sangat canggung.

Sekitar tiga menit berlalu, pepero yang hanya dipegang kini disodorkan kepada siswi tersebut. Ada jeda di antara itu, suasana yang sudah canggung tampak memburuk. Jeno mengerutkan dahinya saat temannya itu terlihat sudah pasrah karena pepero nya tak kunjung diterimanya.

Mungkin kata maaf yang dilontarkan siswi tersebut sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi tanpa mengambil kotak pepero itu. Jeno meringis, melihat temannya berakhir seperti itu membuat hatinya mengganjal. Sebenarnya ada rasa bersalah saat mata cerah itu menjadi redup, walaupun Jeno hanya memberikan saran pada awalnya.

Jeno menegakkan tubuhnya, lalu berjalan pergi dari sana. Ia akan menuju ke tempat dimana setiap tahunnya ia akan menghabiskan waktu pepero day nya dengan makan kue berbentuk stick itu sendiri.


Sambil menenteng almamater miliknya, lelaki dengan name tag Na Jaemin dengan lemah melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.

Hari ini ia nobatkan sebagai salah satu hari terburuk dan memalukan di hidupnya. Masalahnya hari yang seharusnya menjadi hari kasih sayang berputar jadi hari kasih penyesalan. Memang seharusnya ia tidak pernah melontarkan isi hatinya kepada orang itu yang membuat dirinya mungkin tak mampu memandang kagum lagi karena terlalu malu.

Dibukanya pintu akses menuju atap Sekolah, tiupan angin yang datang seakan menyambutnya entah dalam rangka “selamat hari ini kamu gagal,” atau “sayang sekali kamu kurang beruntung”.

Jaemin berjalan ke sisi tembok lainnya guna mencari satu sosok yang sudah membangkitkan keberanian konyol itu. Seperti biasa, Lee Jeno dengan kacamata yang masih bertengger di hidungnya tengah memakan pepero sambil menggunakan earphone.

“How's your Pepero Day?” Tanya Jeno saat teman yang sudah ditunggu mendudukkan diri tepat di sebelahnya. Na Jaemin tidak menjawab, ia hanya menyenderkan punggung yang terasa berat ke dinding.

“Ok,” jawab Jeno seakan sudah tahu jawabannya, namun Jaemin tidak mau ambil pusing.

“Apa juga aku bilang dari awal, seharusnya emang nggak usah pernah bilang ke dia.”

“Aku kasih kamu saran bukan nyuruh. Lagipula yang buat kamu akhirnya yakin buat nyatain apa—”

“YA GARA-GARA OMONGAN KAMU LAH! Heran kok bisa sih kata-kata kamu ngelabuhin aku?” Kesal Jaemin sambil menopang dagunya dengan lutut.

“Bukan jawaban. Yang buat kamu yakin itu ya diri kamu sendiri. Kalo kamu udah tau bakal ditolak ya kamu gak bakal ngelakuin. Tapi sesuatu yang ada di otak kamu buat kamu berani sedikit demi sedikit. Yakin adanya peluang, ada harapan di hati kamu semuanya bakal berjalan sesuai ekspektasi. Manusia mana yang tau kalo ada satu kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan itu jawabannya? Kita hidup serba menebak, bahkan satu menit setelah ini kita masih bisa liat matahari atau engga kita gak tau. Apapun bisa terjadi~” Ambil satu stik pepero, lalu dimasukkan ke dalam mulut.

Lanjut Jeno, “satu detik setelah ini kamu juga gak tau apa kamu masih dikasih bernapas atau enggak.”

Jaemin menghirup udara, “masih kok.”

“Satu detik lagi.”

“Masih.”

“Satu detik lagi.”

“Masiihhhh...”

“Satu detik lagi.”

“Masih Jenooo ih!”

“Terus apa kamu tau di besi itu bakal ada siapa setelah ini?”

“Gak ada, karena cuma ada kita berdua di sini.”

Setelah mengucapkannya, mata Jaemin mengikuti arah burung yang terbang mendekat lalu bertengger di atas besi pembatas itu.

“Selamat atas kesalahannya~”

Tak bisa dipungkiri lagi, mau sekecil apapun hal itu pasti memiliki beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Ada yang bisa di terka dan ada yang rahasia semesta.

“Aku pernah baca artikel tentang multiverse. Daughter universe, pernah denger?” Tanya Jeno yang dapat gelengan dari lawan bicaranya.

“Ada universe lain selain universe yang kita tinggalin saat ini, dan kemungkinan-kemungkinan yang ada terjadi di universe yang berbeda. Mungkin burung itu sekarang bertengger, tapi di universe lain dia lebih milih buat lanjut terbang cari bangunan lain. Mungkin saat ini aku bicara soal multiverse sama kamu, mungkin di universe lain kita cuma duduk diem-dieman. Mungkin di universe ini kamu ditolak, tapi di universe lain kamu diterima dan kamu nggak bakal naik ke rooftop, aku bakal tetep makan pepero sendirian. Semua hal di dunia punya sisi cacat dan sebaliknya.”

Jeno menengok ke arah Jaemin yang menunduk lesu sambil membuka bungkus pepero nya dengan lemah. Satu stik ia masukan ke dalam mulut lalu mengangguk—dalam arti Jaemin mengerti soal perkataan Jeno barusan.

“Masih malu, tapi seenggaknya kamu nggak sendirian hari ini.” Jaemin menemukan sisi lain yang ia dapatkan tentang apa yang terjadi hari ini. Dengan dada yang masih sesak, ia masih bisa mengisi kekosongan di sebelah Jeno.

“Boleh minta?”

Mengangguk kecil, Jaemin berbagi pepero nya dengan Jeno. Yang awalnya suka mengejek soal Jeno yang selalu memakan pepero bawaannya, sekarang Jaemin memakan omongannya sendiri.

“Kenapa harus stroberi?” Tanya Jaemin.

“Karena cuma tinggal ini tadi pagi, yang lainnya udah abis. Kamu mau?”

“Aku nggak suka stroberi.”

“Oke.”

Keheningan menyelimuti keduanya beberapa saat. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing, apalagi otak Jaemin yang masih memutar ulang rekaman yang seharusnya tidak ia ingat lagi. Tapi hanya itu spotlight kejadian hari ini yang akan terukir dalam untuk sementara waktu.

“Iya, aku di tolak.” Jaemin mulai membuka cerita. Ia menceritakan secara rinci kronologi kejadian memalukan itu. Jaemin terus menyebutnya memalukan karena ia sadar dirinya cukup tampan dan disegani, namun spesial hari ini sang adik kelas cantik menolak pernyataan cintanya. Wajah tampannya merasa dihianati.

“Aku nggak bakal ngelakuin itu lagi.”

“Jadi kamu nggak bakal punya pendamping hidup.”

“Bukan begitu maksudnya, aku—... Ah nggak tau deh! Pokoknya aku nggak mau lagi! Nggak akan pernah! Never! Nggak ada lagi yang namanya confess! Malu-maluin aja ta—”

Lidah Jaemin tercekat saat wajah Jeno tepat berada di hadapannya dengan sebuah poki terjapit diantara bibir.

Jeno bisa melihat arah netra Jaemin menuju kemana. “Kenapa nggak dilanjutin misuh-misuhnya? Kok berhenti?”

“E-enggak—udah kok...” Apa yang barusan terjadi membuat lidah Jaemin sedikit tercekat, sampai-sampai bicaranya tergagap. Hal yang aneh mulai terjadi, belum pernah ada kecanggungan diantara mereka sebelumnya.

Entah apa yang Jaemin pikirkan, yang jelas lelaki bersurai sama gelapnya dengan Jeno itu tengah merutuki dirinya sendiri.

“Itu—kenapa nggak dimakan?” Tanya Jaemin saat melihat Jeno belum menggigit pepero nya, lelaki itu malah memainkannya sampai bibirnya maju-maju.

“Kenapa, kamu mau gigit juga?” Arag pepero itu kembali ke posisi beberapa saat yang lalu. Jeno mendongak sekilas demi memberi isyarat. Menyuruh Jaemin menggigit ujung pepero cokelat itu.

Krk~

Jaemin menoleh ke arah lain setelah menggigit ujung snack Jeno. Namun kepalanya tidak bertahan lama, ia kembali ke semula dan—

—WOAH Jeno masih di posisinya! “Apa?” Tanya Jaemin ke lelaki yang sedikit mencondongkan badannya itu, seakan memberi isyarat Jaemin untuk menggigit pepero itu lagi.

Digigitnya kembali pepero itu, namun kali ini Jaemin terlonjak dikarenakan Jeno juga ikut menggigit yang membuat wajahnya mendekat.

Mengerjapkan matanya, Jaemin memberanikan diri untuk melanjutkan. Dilihat dari iris Jeno yang seakan menantangnya, jiwa kompetitifnya tak mau kalah.

Walaupun setelahnya Jeno mendekat sedikit, kini reaksi yang diberikan tubuh Jaemin bertambah. Sesuatu berdegup cepat di dalam sana.

“Kayaknya nggak panas-panas banget, kenapa muka kamu merah?”

Ya pikir saja sendiri! Jaemin memang tidak memiliki reputasi buruk sebagai laki-laki, namun kini ia mengumpat dalam hati karena seorang laki-laki membuatnya gugup untuk pertama kai.

“Kamu mau berhenti?”

Jeno mengangkat salah satu ujung bibirnya. “Payah.”

Ah, kata-kata Jeno memang mudah mengelabuhi Jaemin. Bahkan satu kata terakhir berhasil membuat pertahanannya untuk berhenti malah runtuh seketika.

Helaan napas semakin terasa jelas, jarak wajah keduanya hanya tersisa beberapa senti saja. Pandangan terkunci tepat di mata satu sama lain. Jaemin menyadari mata Jeno terlihat lebih tegas saat berada di situasi serius.

Eh?

Apa tadi?

SERIUS?

Satu tangan Jeno terangkat untuk menahan tengkuk Jaemin agar lelaki itu tidak bisa menjauhkan kepalanya lagi. Dan pada saat itu juga Jeno menggigit jarak terakhir diantara mereka sambil menutup kelopak matanya.

Tidak tahu apakah ini bisa dikategorikan sebagai ciuman atau tidak, ujung bibir mereka hanya bertemu sebab habisnya gigitan terakhir itu. Mata Jaemin terbelalak, seketika ia memundurkan kepalanya cukup kencang.

“J-JENOOO!!!”

“Apa?” Jeno mengambil satu pepero milik Jaemin lagi. “Aku menang,” sambil menempatkan ujung pepero di belahan bibirnya.

“Apa-apaan?!”

“Protes, payah.”

“ARGH BIBIR SUCI AKU!!!”

“Kalah diem.”

“Stop ngomong kayak gitu!”

“Kalo gitu kamu harus menang.” Sambil mengarahkan pepero nya ke Jaemin. Namun kali ini Jeno melepaskan kacamatanya.

“Kenapa—dilepas...?”

“Ganjel.” Jeno menggeser duduknya agar lebih dekat, dan memindahkan lengannya ke belakang Jaemin. Satu pepero di bibir siap disantap! “Ayo.”

”...”

Jaemin mengusap wajahnya kasar, dan ia lebih memilih untuk berhenti berbicara dan—FUCK IT!

Krek!

Chup!

Coba tebak? Sepertinya Jaemin lebih agresif kali ini. Bahkan mata Jeno terbelalak saat Jaemin tidak memberikan aba-aba apapun dan langsung mematahkan pepero di bibir Jeno menjadi dua bagian yang membuat ranum keduanya bertemu—lagi.

Ia rasa otaknya tidak bekerja dengan baik, atau memang Jeno yang bisa mempengaruhi orang lain dengan kata-katanya. Jaemin curiga bahwa Jeno memasukkan mantra di dalamnya.

Buktinya Jaemin seakan lupa akan fakta bahwa mereka berdua sahabat sesama laki-laki dan seharusnya tidak melakukan hal seperti ini. Bahkan di Korea pun, tetap tidak bisa di normalisasikan. Apa jadinya jika pihak Sekolah mengetahui ada dua siswa yang tengah memainkan pepero game berujung saling menyesap belah bibir satu sama lain?

Ya, kalimat yang terakhir bukanlah kebohongan, mereka, Jeno dan Jaemin benar-benar melakukannya. Dengan Jaemin menutup matanya serapat mungkin, dan Jeno yang berusaha menenangkan sahabatnya dengan mengusapkan lembut ibu jarinya di pipi Jaemin.

“Kamu bikin kaget—”

“Diem.”

Jaemin menjauhkan wajahnya kala tautan mereka akhirnya terlepas. Wajahnya semerah udang rebus, asap keluar dari telinganya menandakan afeksi yang Jeno berikan membuat dampak.

Kepalanya terasa berat karena jantungnya tidak bisa bekerja sama, apalagi perasaan menyesal yang mendalam karena hal tidak lazim yang barusan ia lakukan membuatnya 100x lipat lebih malu.

Tidak bisa berkata-kata, Jaemin bangun dari duduknya sambil menenteng almamater yang sedari tadi terlupakan.

Grep

“Mau kemana?” Tanya Jeno seperti tidak ada apapun yang terjadi.

“Aku menang, bentar lagi bel bunyi aku harus balik ke kelas.”

“Kata siapa kamu menang? Yakin mau turun ke bawah pas muka kamu lagi merah banget kayak gitu?”

”...”

Jaemin tidak bisa membalas perkataan Jeno, tangannya sudah lebih dulu ditarik untuk kembali duduk di lantai. Genggaman hangat itu masih belum terlepas, Jaemin menundukkan wajahnya yang hanya dilindungi rambut poni sambil meremat jaket almamaternya kuat-kuat.

“Badan kamu tegang.”

“Pernyataan yang gak harus diperjelas lagi penyebabnya.”

“Gimana kalo kita bolos hari ini?”

“Juara kelas yang ini lagi kerasukan apa sebenernya?”

“Sini,” Jeno menepuk pahanya. “Kita bobo siang aja sampe pulang.”

Karena temannya yang tak kunjung berkutik, Jeno menarik lengan Jaemin untuk membawa kepalanya beristirahat di pangkuan Jeno.

Kepekaan Jeno tergolong cukup tinggi untuk seukuran hubungan antar teman membuat siapapun yang diberikan perhatian olehnya merasa nyaman dan aman. Tapi tidak untuk ketenangan karena Jeno bisa membahayakan hati siapapun. Jaemin tidak mengetahui dari mana Jeno mendapat semua kepribadian lembut ini, dan sudah berapa banyak perempuan yang ia perlakukan layaknya seorang putri.

“Temen aku satu-satunya ini ternyata keren juga.”

“Huh?” Jaemin memutar kepalanya menghadap ke arah Jeno.

“Kamu nggak perlu malu karena di tolak, aku bisa liat kalo kamu itu gentleman, Jaemin Na.” Tak henti-hentinya Jeno mengelus surai Jaemin. Tangan Jeno bisa saja menghancurkan benda di sekitarnya, namun di sisi lain juga bisa merubah menjadi wilayah yang nyaman untuk orang lain.

Kalau ia bisa, Jaemin berjanji akan memfokuskan dirinya terlebih dahulu ke Jeno sebelum mencari kekasih. Nyatanya hubungan yang semakin dekat membuatnya tak rela melepaskan lelaki April itu. Jika ia fokus memiliki pacar, waktunya dengan Jeno akan berkurang. Ia akan gunakan semuanya untuk mengenal temannya ini lebih baik.

Terus seperti ini.

Kemungkinan juga ia akan melebihkan sedikit dosis perhatiannya untuk Jeno, si lelaki senyum bulan sabit. Dan jangan biarkan saat-saat seperti ini berjalan dengan cepat karena momen-momen berharga dalam hidup bukanlah film yang dapat diputar kembali.

·

·

·

[ FIN. ]


P.s: thank you for reading, dan jangan lupa kasih kritik dan sarannya di sc atau cc~

© novadelue_2021 🍿

Jaemin berkali-kali menelepon sahabatnya namun tak kunjung diangkat. Terakhir kali Sunghoon bilanh kalau dia mau nyamperin adeknya dulu, ngeliat perkembangan stand nya udah rame apa belum.

Acara juga sudah dimulai, murid-murid dari berbagai sekolah sudah berdatangan daritadi, area sekolah Jaemin mulai ramai dipenuhi oleh seragam-seragam sekolah yang asing.

Namun ia tidak peduli, karena yang ia butuhkan adalah seseorang untuk mengangkat dua kardus besar berisi makan siang ini.

“Sumpah ini pada kemana sih, satpam juga gak ada, ini gerbang kagak dijagain apa gimana.”

Karena tambah lama dan matahari juga makin terik, jadi Jaemin mutusin buat coba ngangkat satu kardusnya, walau nggak mungkin tapi dia mau coba dulu.

“Arrghhhhh gak bisa anj—”

Tenaga Jaemin sebenarnya juga kurang, dia bukan tipe orang yang suka olahraga dan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan. Jadi latihan kebugarannya pun juga kurang.

Orang-orang yang masuk gerbang juga ada yang ngeliatin dia. Nggak sedikit kok, tapi mereka cuma ngeliatin terus ngelewatin. Nggak ada yang niat bantu sama sekali.

“Misi, perlu dibantuin?”

Ngerasa dipanggil otomatis Jaemin membalikan badannya.

“Eh?”

“Engga daritadi gue liat lo berdiri disini kayak kebingungan, terus tadi lo mau ngangkat satu kesusahan.”

“Emang gak ngerepotin lo?”

“Santai aja sih, gimana? Angkatnya berdua.”

“Yaudah boleh deh.” Jaemin yang emang udah kepalang tidak tahu lagi harus berbuat apa akhirnya mengiyakan tawaran seorang siswa asing dari sekolah lain. Siswa itu terlihat ramah jadi Jaemin menganggukkan kepalanya.

Jaemin megang kardus sisi kanannya, sedangkan laki-laki yang tadi pegang sisi kiri. “Eh ini kardus satu lagi gimana?” Khawatir aja kalo ada yang nyomot satu mekdinya.

“Tinggalin aja gak sih—eh itu tuh ada temen gue. Xiaojun, Lucas!”

Jaemin ngeliat ada dua laki-laki yang lagi jalan nggak jauh, yang satu alisnya mirip angry bird yang satu lagi badannya tinggi besar. Liat yang kedua Jaemin agak ngeri tapi pas liat dia senyum Jaemin jadi agak tenang.

“Ini bantuin bawa ke dalem dong.”

“Mau bawa kemana?” Tanya Xiaojun.

“Kemana, Jaemin?” Sebenernya Jaemin agak kaget waktu orang di hadapannya itu sebut namanya.

“Ke belakang panggung, nanti ikutin gue aja.” Akhirnya Jaemin sama laki-laki yang tadi ngangkat kardusnya lagi, diikutin sama Xiaojun Lucas dari belakang, mereka jalan pelan-pelan menuju belakang panggung.

“Ngomong-ngomong thanks ya.” Mereka berempat sudah sampai di tujuan pengangkatan kardus mekdi, Jaemin ngucapin terima kasih sama tiga orang yang baru dia temui itu. Beruntung Jaemin ditawari bantuan. “Oh ya, lu tau nama gue dari mana?” Sekarang Jaemin nanyain soal ras penasarannya.

“Itu gue liat di name tag lu.”

“O-oh... Oke. Jaemin.” Jaemin mengulurkan tangannya.

“Mark Lee.”

Akhirnya setelah menempuh perjalanan yang cukup macet karena demo, Jaemin berhasil sampai di tempat tujuan yaitu gor olahraga.

Jadi awalnya Jaemin diajak oleh Sunghoon, teman sebangkunya itu mengajak Jaemin untuk ikut menonton Taekwondo. Pertama Sunghoon berkata akan menonton tim Taekwondo dari sekolah mereka namun tentu saja Jaemin menolaknya dengan alasan lebih baik pulang karena masih banyak tugas yang harus dikerjakan.

Mengingat adiknya, Sunghoon punya ide lagi. Ia memberi alasan bahwa mereka akan menonton Jungwon, yaitu teman dari Sunoo adiknya. Mereka memang mengenal satu sama lain, terutama Jaemin sangat senang jika bertemu dengan dua adik kelas menggemaskan itu.

Disinilah Jaemin sekarang. Duduk diantara para penonton bersama Sunghoon dan Sunoo sedang bersorak nama Jungwon bermaksud menyemangatinya.

Wajah Jungwon memang menggemaskan seperti bayi, namun skill bela dirinya tidak perlu diragukan lagi sampai-sampai bisa terpilih mewakili sekolahnya.

“Ayo Jungwon!”

“Terus Jungwon terus!! Semangaatt!!!”

Kakak beradik itu sangat heboh, perihal ini adalah pertandingan pertama Jungwon mewakili sekolah mereka jadi pastilah dukungan yang penuh diberikan untuk Jungwon. Jaemin pun sesekali ikut menyemangati, ia sangat kagum dengan bagaimana Jungwon bergerak cepat mengunci pergerakan lawannya, dan...

PRIIITT!!

Di ronde pertama Jungwon memenangkannya. Jaemin, Sunghoon, serta Sunoo tentunya langsung berdiri, bersorak gembira sambil bertepuk tangan. Walaupun masih ada ronde berikutnya, namun ini adalah awal yang baik untuk Jungwon.

Jungwon pun kembali ke sang pelatih, pria itu memberikan handuk serta botol minum sambil menepuk pundak Jungwon bangga. Mereka bertiga juga kembali duduk, menunggu pertandingan Jungwon selanjutnya.

Di bagian yang lain ada juga anggota sekolah mereka yang sedang bertanding, namun Jaemin tidak terlalu tertarik dan lebih memilih mengeksplor gor besar yang penuh dengan suporter dan pelatih dari berbagai perguruan. Rata-rata yang bertanding hari ini adalah pelajaran Sekolah Menengah Atas.

Mendengar kericuhan di bagian penonton sebelah sana, Jaemin mengalihkan pandangannya ke para siswa-siswi yang memegang karton atau apapun itu yang bertuliskan nama seseorang.

GO LEE JENO!

LEE JENO!!

LEE JENO PEMENANG HARI INI!!

Entah siapa orang yang bernama Lee Jeno itu, namun pada akhirnya semua tanda tanya Jaemin terjawab kala pemuda berhidung mancung dengan surai coklat memasuki lapangan.

Pekikan semakin menjadi-jadi, terutama para siswi yang datang. Terlihat pendukung 'Lee Jeno' adalah yang paling heboh diantara yang lainnya—memangnya siapa dia? Bahkan Jaemin tidak tahu—

—atau memang tidak tahu karena setiap Sunghoon mengajak menonton pertandingan Taekwondo ia selalu menolak.

Tapi sepertinya...

Jaemin mengalihkan pandangannya ketika Jeno hampir saja melihat ke arahnya. Kalau seperti di drama yang Jaemin nonton, di pertandingan taekwondo seperti ini pasti ada satu cewek yang paling cantik diantara penonton—dan yak! Itu dia, yang rambut panjang sebahu sambil pake jepitan rambut warna pink. Dan biasanya si cewek yang diincar oleh pemeran laki-laki yang ganteng, dan mereka bakal jadian waktu cowoknya menang pertandingan.

Hah...

Baru saja Jaemin membuat fake scenario di kepalanya, mungkin karena efek anak rumahan yang kebanyakan menghabiskan waktunya bersama gadget menonton film maupun seri.

Mari kita lupakan laki-laki populer si pemeran utama yang kemungkinan besar Lee Jeno itu. Imajinasi Jaemin buyar kala melihat sepertinya lelaki bernama Lee Jeno itu dingin, tidak peduli terhadap sekitarnya. Ia bahkan tidak terlalu memperhatikan para murid yang datang, atau setidaknya melambaikan tangan pada teman-temannya sama sekali tidak.

Namun Jaemin yakin di balik helm yang baru saja Jeno kenakan ada dua mata tajam yang fokus dan siap menghabisi siapapun lawannya. Kelihatan dari aura yang lelaki itu pancarkan.


© NOVADELUE_2021 🍿