Ten duduk di kursi meja belajarnya dengan buku-buku yang sudah bertumpuk di atas meja. Keseharian Ten mengulang kembali materi yang sudah ia dapatkan di kelas demi mempertahankan nilai tertingginya.
Seketika fokusnya teralihkan ketika salah satu ingatan di kepalanya menyala. Yang ia bicarakan dengan Johnny tadi siang, tentang party di kampus.
Flashback ke lapangan, ia melihat jelas bagaimana pacar Johnny bermesraan dengan anggota tim yang lain. Johnny tentunya melihat dan langsung menegur mereka.
Namun yang dilakukan pacarnya sangat di luar dugaan. Ten yang masih berdiri di bleacher melihat bagaimana pacar Johnny malah memarahi dan menyuruhnya untuk pergi.
Ten sangat ingin menghampiri Johnny saat itu juga. Ia ingin memeluk orang yang biasanya menampilkan wajah ceria seketika menjadi murung.
Tetapi Ten memilih untuk diam, membiarkan Johnny sendiri dulu, dan berpura-pura tidak tahu apapun.
Entah mengapa Ten yakin betul Johnny dan pacarnya sudah putus. Ia tidak mau mengharapkan hal buruk untuk orang lain tetapi hatinya tidak bisa berbohong.
Setiap kali ia melihat sang pujaan hati bersama kekasihnya, Ten selalu mengutuk mereka dalam hati dan ingin segera menggantikan posisi wanita tersebut.
Sejenak Ten mengehentikan kegiatan belajarnya dan menoleh pada roommate nya.
“Hendery, pacarmu sibuk gak?”
Yang dipanggil langsung mengalihkan pandangan dari handphone nya, “I don't know, kayaknya enggak deh, why?”
“I need his help.”
Tak lama setelah Hendery menelepon sang pacar, Xiao Dejun sang mahasiswa sastra Cina itu langsung datang ke kamar mereka.
Ten meminta tolong agar Dejun membantunya bersiap ke pesta. Hendery awalnya mendengar sang kakak tingkat ingin pergi ke pesta tentu tidak percaya.
“Can I see closet?”
“Yeah yeah sure.”
Ten menunjukkan isi lemari pakaiannya. Terlihat tidak ada yang spesial, hanya baju Ten sehari-hari ke kampus dan beberapa baju tidur.
“Kak, punya suit atau kemejanya gitu gak?”
“Jas? Kayaknya ada deh. Wait a minute.” Ten mencari jas yang pernah ia pakai saat ke acara keluarga waktu itu. Ia yakin bahwa setelan tersebut masih disimpan rapih.
Hendery hanya menyaksikan dari atas kasur sambil bermain dengan Leon, kucing peliharaan Ten.
“Cuma ada ini.”
“Hmmm... Not bad. Yaudah kak Ten ganti baju dulu, nanti aku siapin make up nya.”
“Wait... Aku di make up?!”
“Of course kak, gak tebel-tebel lah pastinya. Yang simple aja.” Dejun menunjukkan tas berisi make up miliknya.
Setelah mengganti baju dengan setelan jas, Ten duduk di depan meja rias dengan Dejun yang mengurusi riasan wajahnya.
Ten tidak terlalu banyak komplen, hanya meminta agar tidak dirias terlalu tebal. Setelahnya ia hanya akan terima jadi.
“Rambut kak Ten halus banget.” Puji Dejun ketika merapihkan rambut Ten.
“Oh iya kah? Thanks hehehe...”
“Udah lumayan panjang rambutnya, kak Ten jadinya cantik juga.”
“C-cantik? I'm still a guy anyway. Aku bahkan gak percaya diri setiap liat kaca. Semua orang terus manggil aku cupu.”
“Maybe because of your glasses. It's okay, they're just jealous of your sexy brain. Aku bakal kasih kak Ten lensa kontak.”
Setelah selesai, Ten memberanikan diri untuk melihat dirinya ke cermin, “how do I look?”
“I'm captivated—WOAAAAHHH!” Dejun ikut melihat hasil riasannya.
“YOU LOOK AMAZING KAK!” Puji Hendery sambil memberikan kedua jempolnya.
“Meong~” Bahkan Leon setuju.
Ten mendapat semangat dari Hendery, Dejun dan Leon sebelum pergi tadi. “Kak aku boleh nginep kan?” Tanya Dejun.
“Kak Ten kalo gak pulang kabarin ya.”
“Terserah kamu jun. Lagian kenapa aku gak pulang?”
“Yaaaa... Siapa tau aja gituuu~” Ucap Hendery dengan cengiran mengejeknya.
Ten memicingkan matanya tajam ke Hendery yang sangat menjengkelkan itu. Setelah berpamitan, Ten pergi menuju gedung fakultasnya.
Mereka memakai gedung serbaguna yang memang diperuntukkan acara-acara dari kampus. Walaupun ini judulnya “party” mereka boleh memakainya asal membayar uang sewa.
Awalnya Ten gugup. Sangat gugup. Setiap hari ia sering dikucilkan karena penampilan serta rahasianya yang sudah tersebar kemana-mana. Maka dari itu ia sangat terbuka bahwa ia menyukai Johnny.
Mahasiswa terutama seangkatannya banyak yang tidak menyukai Ten. Selain orientasi seksualnya, Ten juga dekat dengan Johnny. Mereka semua iri dan sering kali berusaha menyingkirkan Ten walau pada akhirnya ia tetap bertahan.
Ten melangkah masuk ke dalam. Ini bukan cerita Cinderella, namun Ten tetap berharap tidak ada orang yang mengenalinya.
Dirinya mulai gugup kala satu persatu mata mulai tertuju padanya. Ten tidak peduli tatapan apa yang mereka berikan, kagum, jijik, benci, bingung—ia tidak membalas pandangan mereka.
Ten melihat lalu menghampiri seseorang yang tampak familiar sedang mengambil makanan ke piring. Tangannya menepuk pundak itu.
“Uhm?” Lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya menoleh dengan sebuah donat di mulutnya. Alisnya terangkat, bertanya-tanya siapa yang ada di hadapannya ini.
“Where is he?”
Mark menjatuhkan donat warna-warninya menganga saat sadar bahwa dihadapannya sekarang adalah Ten.
“TEN?!”
“Ssshh jangan kenceng-kenceng nanti ada yang denger!”
“B-but it's you??! Ini bener-bener Ten?!”
“Ish iyaaaaaa, yang kayak aku cuma satu di dunia gak ada lagi.”
“YOU LOOK SO DIFFERENT WOAH AHAHAHAHA OH MY GOD AHAHAHAHAHAAA.”
Raut wajah Ten menjadi datar kala Mark tertawa terbahak-bahak. Apakah penampilan nya itu lelucon?! “HEY STOP LAUGHING! AKU NANYA!”
“AHAHAHAHAHA Oh yeah sorry sorry I just surprised omg. He's outside, talking with his girlfriend.”
“Ah, ok thanks.”
“Anyway—” Saat Ten hendak pergi, Mark kembali memanggilnya. “GOOD LUCK BRO!”
Ten hanya membalasnya dengan anggukan serta senyuman kecil. Dirinya mencari keberadaan Johnny di bagian outdoor gedung.
Ia bersembunyi di balik tembok saat menemukan orang yang dimaksud. Johnny dan pacarnya tengah berbicara satu sama lain. Tidak santai, mereka seperti sedang bertengkar. Pacarnya seakan terlihat sedang memohon-mohon pada Johnny.
Tetapi lelaki kelahiran Chicago itu tetap menepis tangan kekasihnya, berkali-kali mengeluarkan kata penolakan.
“Get the fuck out of here.”
“BUT JO—”
“Go.”
“Please John, I'm so sorry—”
“NOW!”
Perempuan tersebut tersentak saat Johnny meninggikan suaranya. Ten yang melihat dari jauh pun ikut terkejut. Jujur ia belum pernah melihat Johnny semarah itu.
Ten mulai memberanikan diri mendekat ke arah Johnny saat perempuan tersebut pergi sambil menangis. Johnny sedang mengatur naoas serta emosinya. Hari ini sangat tidak baik untuk dirinya.
“Jo...”
Johnny berbalik, mendengar suara yang langsung diterima baik di telinganya. Sejenak Johnny terdiam. Menatap Ten dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Ten?”
“Yes, me.”
Dua insan itu kini tengah duduk ditengah lapangan. Ten menolak untuk kembali ke dalam karena merasa atmosfer disana tidak mengenakan.
“Aku kira kamu bener-bener gak dateng.”
“Aku... Cuma penasaran.”
Johnny masih tidak mengalihkan pandangannya dari Ten. Lelaki yang lebih muda itu tampil sangat berbeda malam ini.
“Ten, you look—”
“What? Am I look so weird? Should I go home?”
“No no no—you look... Gorgeous.”
Semburat merah menjalar di pipinya saat Johnny mengatakan hal tersebut. Seketika Ten jadi salah tingkah. “T-thanks Jo...”
“You know? I'm glad you're here.”
“U-uh?”
“Kalau misalnya kamu gak dateng, mungkin tadi aku udah gak bisa kontrol emosi dan mabuk berat. So, thank you for coming.” Johnny menyunggingkan senyuman khasnya.
“Anytime.”
“You already know right?”
“Know what?”
“About me and my girlfriend—no, ex girlfriend.”
“Kalian putus?!”
“Pasti. Kelakuannya udah kelewatan. Aku gak bisa maklumin dia terus. Trust me, dia gak pernah serius sama hubungan ini. She just play around, you know?”
“So, kenapa kamu pacaran sama dia kalau udah tau kelakuannya?”
“She's pretty—not gonna lie. Dan aku pikir aku bisa ngubah sifat dia jadi lebih baik, ternyata enggak.
Ten hanya mengangguk. Di dalam hatinya ia sudah senang bukan main. Tentang Johnny yang putus dengan kekasihnya benar-benar terjadi. Dan mungkin kali ini ia memiliki sedikit kesempatan lebih dekat dengan Johnny.
Ngomong-ngomong, langit malam ini sangat indah. Bintang-bintang bertebaran, seakan menjadi pertanda bahwa ini hari yang tepat untuk memulai sesuatu yang baru.
“GUYS!” Keduanya menoleh Lucas memanggil mereka.
“Ayo Ten.”
“Noooo... I don't wanna go back thereeee...”
“We're not going back there, ini tempatnya beda. C'mon boy.” Johnny mengajak Ten untuk berdiri dan membersihkan pakaian mereka sehabis duduk tadi. Lalu setelahnya mereka pergi bersama Lucas.
Di ruangan ini, Johnny bersama teman-teman dekatnya melanjutkan pesta. Mereka memiliki tempat sendiri untuk kumpul bersama sehingga tidak harus bergabung di gedung utama.
Ten juga sudah kenal beberapa teman-teman Johnny, sesekali mengobrol dengan mereka hingga kini dirinya tepar di atas sofa karena terlalu banyak minum.
“Jo, I think he's drunk.” Ucap salah satu temannya yang berdarah Jepang itu.
“I think I should go now.”
“Yeah, take care dude!”
Johnny berusaha membangunkan Ten. Lelaki berdarah Thailand itu sudah setengah terlelap dengan pipi yang memerah karena mabuk.
“Hey, wake up.”
“Uh-hm...”
“Aku anter kamu pulang. Condo mu dimana, I don't know.”
“I don't know too... I—forget...” Jawab Ten dengan suara seraknya.
Johnny sudah berkali-kali mencoba membangunkan Ten dan bertanya di mana tempat tinggalnya.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, Johnny lebih memilih menggendong Ten dan akan membawanya pulang ke tempatnya.
Mereka sampai di kamar Johnny. Yang lebih tua langsung menurunkan Ten di atas kasurnya setelah memberikan lelaki tersebut minum air putih.
Ten meraba-raba sekitarnya dengan mata yang masih tertutup. Merasa berada di permukaan yang empuk, Ten langsung saja menjatuhkan dirinya dan langsung terlelap lagi.
Johnny terkekeh lalu menaikan selimutnya sampai menutupi seluruh tubuh Ten lalu dirinya bergegas mengganti pakaian lalu membentang kasur lipat di lantai.
Johnny tinggal sendiri, dan kamarnya tidak terlalu besar. Hanya kamar mahasiswa sederhana dengan kamar mandi dalam.
Selesai membersihkan diri, Johnny melihat Ten yang terlelap dengan damainya. Entah mengapa perasaannya agak terganggu karena Ten masih memakai setelan lengkapnya.
Maka dari itu, Johnny berinisiatif memilih baju kaos dan celana pendek milik mantan kekasihnya yang tertinggal disana.
Karena jika memakai pakaian miliknya, tubuh Ten dapat dipastikan akan tenggelam. Jangan khawatir, semuanya sudah Johnny cuci.
Agaknya Johnny gugup—merasa dilema dengan apa yang ia lakukan. Perlahan Johnny membuka jas Ten lalu membuka satu persatu kancing kemejanya dengan hati-hati.
Johnny mengutuk dirinya sendiri karena merasa seperti orang cabul walaupun sebenarnya niatnya baik.
Johnny meneguk air liurnya sendiri kala badan putih mulus Ten terpampang jelas dimatanya. Dengan segera ia langsung memakaikan baju yang tadi ia ambil pada Ten.
Oh ini bagian terbaiknya—tetapi akan menjadi bagian terburuk untuk Johnny. Lelaki kelahiran Chicago itu mendongakkan kepalanya ke arah lain sambil membuka celana milik Ten.
“Oh my god, finally...” Ucapnya berbisik setelah selesai mengganti semua pakaian Ten.
Johnny berbaring di atas kasur lipatnya, mengucapkan selamat tidur pada temannya itu lalu menyusul Ten ke alam mimpi.
Sekitar lima menit berlalu, Johnny masih memejamkan mata mencoba mengistirahatkan pikirannya yang masih saja berputar itu.
Posisi miring hingga kembali terlentang sampai Johnny merasakan berat di area kakinya.
Johnny menggerakkan kakinya berusaha menyingkirkan benda tersebut. Namun bukannya kembali tenang, malahan sesuatu itu malah naik semakin dekat padanya.
“Huh?—TEN?” Johnny tersentak kala wajah Ten kini berada tepat di hadapannya. Lelaki yang lebih muda itu ternyata merangkak dari bawah, masuk ke dalam selimutnya, dan kini memposisikan wajahnya sangat dekat dengan Johnny.
“Kamu yang ganti baju aku, Jo?” Tanya nya yang entah sudah sadar atau masih di ambang mabuk.
“I-iya... Tapi bajuku pasti kebesaran banget kalo kamu yang pake, so I gave you my ex-girlfriend shirt.” Ucapnya sedikit gugup.
“In conclusion, you already touched my body.”
“Huh wh-what?”
“In here...” Dengan nakal, Ten memasukkan tangannya ke dalam baju Johnny, mengelus pelan perut yang terbentuk indah itu. “Feel so good, isn't it?”
“Ten, what are you doing—”
“Jo.”
Mata mereka terkunci, Ten mengehentikan kegiatannya. “Do you know how much I love you?”
Johnny masih dengan pose batunya, ia bahkan tak bisa bergerak sedikitpun saat Ten berada diatasnya ini.
“Aku udah nunggu, berharap kamu cepet putus sama perempuan sialan itu—kejam tapi, aku gak bisa nutupin semuanya lagi. I always Dreaming about the day when you wake up and find that what you're looking for has been here the whole time.” Ten mengelus dagu Johnny yang tajam dengan bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di sana.
Ten menjauhkan tubuhnya, berubah posisi menjadi duduk di atas perut Johnny. “Aku bahkan benci sama diriku sendiri karena terlahir begini.”
Johnny langsung kembali panik saat Ten menutup wajahnya dengan disertai suara isakan.
“I can't handle this feelings anymore, I'm sorry.”
“Jadi dirimu sendiri, that's enough Ten. Aku suka kamu, aku nyaman sama kamu karena itu kamu. Tolong jangan ngerasa rendah. You already gave me so many effort everyday. You're the happiest person I ever met.”
“You won't love me back, right?”
“I don't know...” Johnny menghapus air mata di pipi Ten lalu menyatukan kedua dahi mereka, “but who knows?”
Kedua tangan Ten menangkup pipi Johnny, tanpa aba-aba apapun ia langsung menempelkan bibirnya dengan Johnny.
Ten bergerak sendiri. Menyesap atas bawah bibir tebal Johnny yang hanya menjadi imajinasi nya saja selama ini.
Ten melepaskan kuluman itu dan bangkit dari duduknya berniat kembali naik. Ternyata tak sempat karena Johnny malah menariknya dan kembali membawanya ke dalam pangutan—panas.
Disini sedikit menjadi lebih brutal. Johnny memaksa benda tak bertulang miliknya masuk ke dalam mulut Ten yang tentu langsung disambut hangat.
Dengan cepat Ten memeluk erat leher Johnny ketika lelaki itu mengangkat tubuhnya dan membawa mereka ke atas tempat tidur.
Pangutan mereka sama sekali tidak terlepas, saling berbagi saliva sampai tidak tahu saliva siapa yang menetes di ujung bibir Ten.
Tangan nakalnya beraksi lagi. Kali ini Ten mengangkat kaos Johnny higga tanggal dari tubuh kekar itu.
“Ten, are you sure about this?”
“Do you want it or not?”
“You're drunk.”
“Yes, I'm drunk in you.” Johnny langsung mengangkat kaki Ten yang melingkar di pinggangnya hingga sang pemilik terlentang di kasur.
Johnny menghisap tiap inci dari kaki ramping itu. Tanpa meninggalkan bekas, Johnny hanya ingin menyicipi hidangannya.
Dengan mudah bibirnya mencapai paha dalam Ten karena celana yang ia pakai sangatlah pendek. Tubuh Ten mengejang kala Johnny menenggelamkan hidung dan bibirnya di area privat nya.
“Eunghh thereehhh!...”
Dengan cekatan Johnny membuka celana yang Ten pakai kini menunjukkan ereksinya.
Johnny menggenggam penis itu lalu mengocoknya dengan tempo yang sangat kaku.
Ini pertama kalinya Johnny akan melakukan seks dengan laki-laki.
“Not like that, Mr. Jo.” Ten menuntun lengan Johnny ke miliknya, lalu menggerakkan tangan mereka bersamaan. “Look at me.”
Ten menggerakkan tangannya dengan cepat, membuat servis Johnny terasa lebih baik dari sebelumnya. Melihat raut wajah Ten yang keenakan, lelaki yang lebih tua mengambil alih permainan.
“Oohhhh fughhh—AHH!”
Teringat waktu itu pernah belajar saat di sekolah bahwa laki-laki memiliki puting yang lebih sensitif daripada perempuan. Jadi tangan Johnny mulai menelusup masuk ke dalam kaos yang Ten gunakan—mengelus lama-lama memainkan tonjolan di dada itu.
Johnny tak tahu apa yang terjadi dengannya. Masih di ambang dilema karena mau bagaimanapun Ten adalah salah satu sahabat dekatnya yang kini mendesah akibat sentuhan-sentuhan yang ia berikan.
Johnny merasa bersalah namun diam-diam menikmati wajah seksi Ten yang terus menerima rangsangan di area-area sensitif nya.
“S-stophhh~” Ten merasa ejakulasinya dekat, ia memutuskan menyuruh Johnny berhenti mengocok kepunyaannya.
Dengan bantuan tumpu bahu Johnny, lelaki berdarah Thailand itu berhasil bangkit dari posisinya dan bertukar dengan Johhny. Kini sang pemilik kamar bersender ke dinding sedangkan Ten berjongkok sambil melihat Johnny yang masih menatapnya lapar.
“Kalau kamu gak mau we can stop. I know this is new and can be nasty for your first time. I don't want disappointing you.”
Alih-alih menjawab, Johnny malah meremas bongkahan milik Ten yang sedikit terangkat itu. Merasa Johnny tidak menolaknya, Ten langsung menungging hingga memperlihatkan lubangnya.
“Kalau aku gak coba, aku gak bakal tau rasanya. Selalu jadi ada yang pertama dari semua hal.” Johnny mengeluarkan penisnya, mengarahkan langsung ke lubang yang sudah menganga minta diisi itu. “But still, I don't wanna hurt you.”
Ten menengok ke belakang melihat apa yang terjadi. Ia langsung kembali menunduk menelan air liurnya susah payah saat melihat milik Johnny yang sangat diluar nalar. Ten sudah tahu hal ini akan terjadi, namun ia selalu membayangkan hal ini akan terjadi.
Ten sedikit memundurkan tubuhnya sampai menabrak Johnny—satu tangannya ia gunakan untuk memegang pipi pantatnya agar lubangnya terbuka lebih lebar. “C'monnn~” Sambil sedikit menggoyangkan bokong mulus nan sintal itu.
Dengan susah payah Johnny menelan air liurnya. Kini Ten bak seorang lacur yang tak sabar diisi penuh oleh penis panjangnya. Semakin lama semakin merengek, libido Johnny sudah berada di ujung kepala.
“Jo—AAGHHH!” Hendak menengok ke belakang karena Johnny tak kunjung bergerak, namun ia malah mendapat kepala penis yang mulai menerobos lubangnya secara tiba-tiba.
Johnny mengerang dengan suara rendah serendah-rendahnya. Tidak hanya Ten yang kesakitan disini, miliknya masuk ke dalam tempat yang sangat sempit membuat penisnya terjepit kuat. Ia ingin segera menyelesaikannya, tetapi juga tak tega melihat Ten kesakitan.
Melakukannya dengan perlahan sambil mengelus-elus punggung Ten yang terekspos karena bajunya melorot saat ia menungging. “I'll do it slowly.”
Ten mulai merasakan gesekan kulit berurat di dinding rektum nya. Ten terus mengalunkan desahannya, dibarengi dengan Johnny yang masih menyesuaikan ukuran lubang Ten.
Desahan itu sangat merdu, telinga Johnny menerimanya dengan baik dari awal. Punggung Ten ikut bergerak seiring dengan tumbukan di hole nya. Dari sisi ini Johnny hanya bisa mendengar serta melihat punggung Ten yang melengkung indah akibat jamahan tangannya.
Lubangnya kembali kosong, baru saja Johnny menarik penisnya keluar. Dengan cepat tubuh Ten dibalik hingga muka merah bergairah itu terlihat jelas dihadapannya.
“W-wait ahh anghh! Jo—AKHHH! Nghhh hhh ah! Oh god mhhhh anghh! Johnnyhh...”
Dadanya terasa gatal, Ten menaikkan t-shirt nya lalu ia gigit agar tetap terangkat, sedangkan tangannya meremas kuat seprai yang sedikit demi sedikit terlepas dari ranjang.
Tidak menyia-nyiakan hidangan, Johnny langsung meraup nipple tegang itu dengan mulutnya. Memainkan bagian sensitif itu membuat Ten mengerang semakin kuat.
Awalnya Ten melampiaskan rasa nikmatnya pada Johnny yang tengah menyusu di dadanya. Namun karena mulut Johnny mulai bermain lebih dalam, Ten menjambaknya kala nipple nya digigit hingga membengkak. Bukannya berhenti, Ten malah mendapat balasan genjotan turbo pinggang Johnny.
Ten kini setengah terduduk di kepala ranjang Johnny. Kedua kakinya sudah terangkat, selangkangannya sudah perih karena tabrakan kulit mereka yang sangat brutal. Anggota gerak Johnny terpakai, tangan kirinya menahan tangan Ten di atas kepala, tangan kanan mengocok penis Ten, pinggangnya tak berhenti bergerak, bibirnya menghisap kuat puting merah muda itu.
Jangan tanya lagi bagaimana keadaan Ten saat ini. Mata nya merem melek, air liur yang mengalir di ujung bibirnya, dan ruam kemerahan menghiasi dada. Ten berantakan sepenuhnya
Beberapa genjotan terakhir, Johnny hampir mencapai pelepasannya. Segera ia keluarkan kejantanan dari lubang Ten, “I wanna cum.”
Ten langsung membuka mulutnya. Johnny yang mengerti isyarat itu langsung mengarahkan penisnya ke mulut Ten, mengocok hingga spermanya tersembur kesana.
Pipi Johnny bersemu merah kala melihat Ten berusaha menelan cairan putih miliknya, menjilati bibirnya dari sisa sperma. Johnny ingin sekali menyatakannya, namun sangat sulit mengatakannya.
Lelaki Chicago itu memindahkan Ten di antara kedua kakinya, sedangkan ia bersandar ke kepala ranjang, menaikkan selimut guna menutupi tubuh naked mereka sambil memeluk Ten dari belakang.
“You're so pretty.” Setelah mengatakannya, Johnny kembali bersemu merah dan menyembunyikan mukanya di perpotongan leher Ten.
Namun hanya dengkuran yang ia dapatkan sebagai jawabannya. Ternyata Ten sudah terlelap sambil bersandar pada dadanya. Lelaki yang lebih muda itu tampak sangat tenang di alam mimpinya. Sangat berbeda saat hari-hari biasa apalagi kala melakukan kegiatan panas tadi mulutnya sangat ringan mengeluarkan kata-kata erotis yang membuat Johnny semakin horny.
Ini kali pertama dirinya melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Yang berbeda hanyalah mereka melakukan seks pada bagian anal. Tidak buruk sama sekali, malahan Johnny menikmatinya. Hole berkedut itu sangat sempit, membuat Johnny ingin keluar berkali-kali setiap Ten sengaja mengetatkan lubangnya.
Apalagi wajah lelaki ini yang semakin lama semakin membuat Johnny terpesona. Tak tau ada apa yang salah, namun Johnny tak bisa berbohong bahwa Ten benar-benar cantik—dan seksi saat mendesah dibawahnya.
Merasa ada yang memperhatikan, Johnny menoleh ke bawah lantai kamarnya.
Disana ada Louis—kucing milik Johnny yang duduk manis dengan muka blank memperhatikan dirinya sedang mengecupi leher Ten secara diam-diam. Sepertinya anak itu terbangun karena suara berisik olahraga malam majikannya.
“Apa? Go back to your bed now.” Ucap Johnny mengusir kucingnya. Louis menurut, ia bangkit dari sana. Namun sebelum pergi, Louis mengangkat bokongnya dengan sedikit goyangan disusul meong-an mengejek.
“Mweooonggg!”
(Dasar manusia tukang colok!)
Ya Johnny setidaknya harus mengajarkan kucing menyebalkan nya itu tata krama.
.
[ Fin. ]
©novadelue🍿