HOW'S YOUR PEPERO DAY
I'm sorry for late post. Ini udah telat banget padahal, yang sebenernya buat pepero day waktu itu tapi gue gak sempet nyelesaiin. Oneshoot ini tetep di up karena satu dan lain hal. So, semoga kalian semua enjoy^^
Tepat pada hari ini tanggal 11 bulan 11 alias 11 November bertepatan dengan hari kasih sayang di Korea Selatan—mirip valentine namun ada yang sedikit membedakan.
Hari ini disebut sebagai Pepero Day. Itu adalah sebuah sebutan untuk salah satu hari kasih sayang di Korea. Bedanya orang-orang akan saling bertukar pepero (salah satu merk kue stick seperti pocky), untuk mengungkapkan rasa sayang kepada kekasih atau sahabat.
Atau mungkin hari yang tepat juga untuk menyatakan perasaan kepada seseorang yang disukai?
Namun bagi seorang lelaki berkacamata yang duduk di dekat jendela kelas itu, hari ini tampak tidak ada yang terlalu spesial.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, di sekolah tempatnya mereka ikut serta dalam hari kasih sayang ini. Semua murid diharuskan membawa satu kotak pepero untuk diberikan kepada orang yang mereka sayangi, seperti sahabat ataupun untuk mengucapkan terima kasih pada guru favorit mereka.
Siswa laki-laki yang menggunakan name tag bertuliskan Lee Jeno itu menatap malas keluar jendela disaat murid lainnya di kelas sangat excited menunggu bell berbunyi. Di kolong mejanya terdapat satu kotak pepero rasa stroberi yang ia beli tadi pagi sebelum berangkat ke Sekolah, ia hanya ingin mematuhi peraturan yang ada.
Tak selang beberapa lama, guru di kelas menjelaskan dua baris kalimat terakhir dan saat itu juga bell istirahat kedua berbunyi. Siswa dan siswi kelas Jeno tampak sudah mempersiapkan pepero mereka, ada pula yang tidak sabar untuk keluar dari kelas.
“Baik anak-anak boleh ditutup bukunya, kalian semua boleh istirahat, jangan lupa yang sudah bawa pepero bisa langsung kasih ke orang yang kalian tuju. Pelajaran dari ibu hari ini kita sudahi dulu, kita bertemu lagi minggu depan.”
Satu murid yang duduk paling belakang keluar dari kelas lebih dulu, dengan cepat ia berlari sambil membawa pepero menuju entah kemana. Sedangkan yang lain hanya menatap kepergian lelaki yang tidak pernah mendengarkan pelajaran itu, mereka semua tahu soal dia yang menyukai salah satu siswi populer kelas sebelah. Sedangkan yang lainnya mulai berpergian dari kelas menuju tujuan mereka masing-masing.
“Loh Jeno, kamu gak ikut keluar kelas?” Tanya sang guru saat melihat Jeno masih terduduk di bangkunya saat semua teman-temannya sudah sibuk dengan aktivitas di luar kelas.
“Iya bu, ini baru mau keluar,” ujar Jeno sambil menunjukkan kemasan pepero nya yang masih penuh. Jeno keluar dari kelas, dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah para murid yang sibuk bertegur sapa dengan kawannya.
Jeno yang selama hari pepero tidak pernah menerima bahkan memberikan pepero kepada orang lain. Setiap tahunnya ia akan diam-diam pergi ke atap Sekolah untuk memakan pepero nya sendirian agar terlihat yang ia bawa sudah diberikan pada seseorang.
Lelaki bersurai menopang tubuhnya dengan tangan untuk melihat keluar jendela depan kelasnya. Ia ingin melihat ada apa di halaman belakang Sekolahnya. Tampak sepi tidak ada siapapun sampai iris Jeno menangkap satu sosok yang menarik perhatiannya sedang memegang satu box pepero di tangannya.
Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah benda pipih dan langsung mencari satu nomor kontak yang sudah tersimpan cukup lama di sana.
'친구🐰' (teman🐰)
“Kamu dimana?” Jeno bisa melihat sosok laki-laki itu di bawah sana mengeluarkan ponsel dari saku untuk mengangkat panggilan darinya
“Rahasia.”
“Kamu yakin sama yang semalem?”
“Bukannya kamu yang bilang sendiri kalo aku harus coba daripada nggak sama sekali? Kamu gak lupa kan pernah ngomong itu?”
Jeno mengangguk walau orang di sebrang sana tidak melihatnya. Ia memperhatikan temannya itu yang tengah berjalan kesana kemari untuk melepas gugup. Sudah lama sosok yang ia sebut sebagai teman itu menaruh perasaan kepada salah satu siswi dari kelas 11, dalam kata lain adik kelasnya. Dan semalam mereka berdua sempat berbincang lewat telepon, Jeno berkata temannya itu haru cepat menyatakan perasaan sebelum semuanya terlambat.
Daripada 'tidak sama sekali', Jeno bilang tentang masalah diterima atau ditolaknya itu belakangan. Bisa dibilang temannya itu cukup pengecut untuk menyatakan perasaan yang dirasakan. Maka dari itu sebagai sosok 'teman', Jeno memberikan setidaknya sedikit semangat untuk teman laki-lakinya itu.
“Semoga berhasil.”
“Kamu juga, jangan lupa kasih pepero kamu ke orang lain. Awas aja kalo kamu makan sendiri lagi.”
“Ngatur.”
“Terserah.”
Tut
Masih di tempatnya berdiri, Jeno memperhatikan gerak-gerik temannya itu yang tampak tidak tenang. Lelaki bersurai gelap dengan mata bulat itu tampak sedang berlatih dengan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa.
Menurut Jeno, jika seseorang menyusun kata-kata saat hendak menyatakan perasaannya kepada orang lain, dan sudah berlatih keras untuk itu. Sekitar 80% orang akan cenderung mengatakan apa yang ia rasakan seadanya, dalam kata lain; di luar skenario—setelah berhadapan langsung dengan orang yang dituju. Jadi tidak perlu merangkai kata-kata yang terlalu merepotkan, cukup kumpulkan keberanian dan ketulusan. .
Lelaki di bawah mulai berlatih adegan, seperti membungkuk 45° lalu menyodorkan peperonya, atau memberikannya biasa namun matanya terpejam saat berbicara, atau dengan gaya lain seperti memasukkan satu tangan ke dalam saku dengan satu tangan yang lain menyodorkan kotak pepero yang pada akhirnya membuat lelaki bermata bulat itu geli sendiri.
Dari atas Jeno hanya bisa memandanginya, sesekali terkekeh saat temannya itu melakukan hal konyol. Apapun yang dilakukan teman laki-laki satu-satunya itu dengan sederhana dapat membuat kedua ujung bibir Jeno terangkat. Bahkan kelopak matanya membentuk seperti bulan sabit membuat siapapun yang melihatnya mungkin terpesona.
Oh itu dia, siswi yang sedari tadi temannya tunggu akhirnya datang. Temannya terkejut membalikkan badannya saat namanya dipanggil. Seketika tangannya gemetar, melihat seseorang yang menjadi alasan dibalik semua kegugupannya hari ini berdiri dihadapan.
Mata Jeno berubah serius. Ia menelaah dengan seksama bagaimana temannya itu berbicara terbata-bata, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menjadikan suasana di bawah sana terlihat sangat canggung.
Sekitar tiga menit berlalu, pepero yang hanya dipegang kini disodorkan kepada siswi tersebut. Ada jeda di antara itu, suasana yang sudah canggung tampak memburuk. Jeno mengerutkan dahinya saat temannya itu terlihat sudah pasrah karena pepero nya tak kunjung diterimanya.
Mungkin kata maaf yang dilontarkan siswi tersebut sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi tanpa mengambil kotak pepero itu. Jeno meringis, melihat temannya berakhir seperti itu membuat hatinya mengganjal. Sebenarnya ada rasa bersalah saat mata cerah itu menjadi redup, walaupun Jeno hanya memberikan saran pada awalnya.
Jeno menegakkan tubuhnya, lalu berjalan pergi dari sana. Ia akan menuju ke tempat dimana setiap tahunnya ia akan menghabiskan waktu pepero day nya dengan makan kue berbentuk stick itu sendiri.
Sambil menenteng almamater miliknya, lelaki dengan name tag Na Jaemin dengan lemah melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.
Hari ini ia nobatkan sebagai salah satu hari terburuk dan memalukan di hidupnya. Masalahnya hari yang seharusnya menjadi hari kasih sayang berputar jadi hari kasih penyesalan. Memang seharusnya ia tidak pernah melontarkan isi hatinya kepada orang itu yang membuat dirinya mungkin tak mampu memandang kagum lagi karena terlalu malu.
Dibukanya pintu akses menuju atap Sekolah, tiupan angin yang datang seakan menyambutnya entah dalam rangka “selamat hari ini kamu gagal,” atau “sayang sekali kamu kurang beruntung”.
Jaemin berjalan ke sisi tembok lainnya guna mencari satu sosok yang sudah membangkitkan keberanian konyol itu. Seperti biasa, Lee Jeno dengan kacamata yang masih bertengger di hidungnya tengah memakan pepero sambil menggunakan earphone.
“How's your Pepero Day?” Tanya Jeno saat teman yang sudah ditunggu mendudukkan diri tepat di sebelahnya. Na Jaemin tidak menjawab, ia hanya menyenderkan punggung yang terasa berat ke dinding.
“Ok,” jawab Jeno seakan sudah tahu jawabannya, namun Jaemin tidak mau ambil pusing.
“Apa juga aku bilang dari awal, seharusnya emang nggak usah pernah bilang ke dia.”
“Aku kasih kamu saran bukan nyuruh. Lagipula yang buat kamu akhirnya yakin buat nyatain apa—”
“YA GARA-GARA OMONGAN KAMU LAH! Heran kok bisa sih kata-kata kamu ngelabuhin aku?” Kesal Jaemin sambil menopang dagunya dengan lutut.
“Bukan jawaban. Yang buat kamu yakin itu ya diri kamu sendiri. Kalo kamu udah tau bakal ditolak ya kamu gak bakal ngelakuin. Tapi sesuatu yang ada di otak kamu buat kamu berani sedikit demi sedikit. Yakin adanya peluang, ada harapan di hati kamu semuanya bakal berjalan sesuai ekspektasi. Manusia mana yang tau kalo ada satu kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan itu jawabannya? Kita hidup serba menebak, bahkan satu menit setelah ini kita masih bisa liat matahari atau engga kita gak tau. Apapun bisa terjadi~” Ambil satu stik pepero, lalu dimasukkan ke dalam mulut.
Lanjut Jeno, “satu detik setelah ini kamu juga gak tau apa kamu masih dikasih bernapas atau enggak.”
Jaemin menghirup udara, “masih kok.”
“Satu detik lagi.”
“Masih.”
“Satu detik lagi.”
“Masiihhhh...”
“Satu detik lagi.”
“Masih Jenooo ih!”
“Terus apa kamu tau di besi itu bakal ada siapa setelah ini?”
“Gak ada, karena cuma ada kita berdua di sini.”
Setelah mengucapkannya, mata Jaemin mengikuti arah burung yang terbang mendekat lalu bertengger di atas besi pembatas itu.
“Selamat atas kesalahannya~”
Tak bisa dipungkiri lagi, mau sekecil apapun hal itu pasti memiliki beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Ada yang bisa di terka dan ada yang rahasia semesta.
“Aku pernah baca artikel tentang multiverse. Daughter universe, pernah denger?” Tanya Jeno yang dapat gelengan dari lawan bicaranya.
“Ada universe lain selain universe yang kita tinggalin saat ini, dan kemungkinan-kemungkinan yang ada terjadi di universe yang berbeda. Mungkin burung itu sekarang bertengger, tapi di universe lain dia lebih milih buat lanjut terbang cari bangunan lain. Mungkin saat ini aku bicara soal multiverse sama kamu, mungkin di universe lain kita cuma duduk diem-dieman. Mungkin di universe ini kamu ditolak, tapi di universe lain kamu diterima dan kamu nggak bakal naik ke rooftop, aku bakal tetep makan pepero sendirian. Semua hal di dunia punya sisi cacat dan sebaliknya.”
Jeno menengok ke arah Jaemin yang menunduk lesu sambil membuka bungkus pepero nya dengan lemah. Satu stik ia masukan ke dalam mulut lalu mengangguk—dalam arti Jaemin mengerti soal perkataan Jeno barusan.
“Masih malu, tapi seenggaknya kamu nggak sendirian hari ini.” Jaemin menemukan sisi lain yang ia dapatkan tentang apa yang terjadi hari ini. Dengan dada yang masih sesak, ia masih bisa mengisi kekosongan di sebelah Jeno.
“Boleh minta?”
Mengangguk kecil, Jaemin berbagi pepero nya dengan Jeno. Yang awalnya suka mengejek soal Jeno yang selalu memakan pepero bawaannya, sekarang Jaemin memakan omongannya sendiri.
“Kenapa harus stroberi?” Tanya Jaemin.
“Karena cuma tinggal ini tadi pagi, yang lainnya udah abis. Kamu mau?”
“Aku nggak suka stroberi.”
“Oke.”
Keheningan menyelimuti keduanya beberapa saat. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing, apalagi otak Jaemin yang masih memutar ulang rekaman yang seharusnya tidak ia ingat lagi. Tapi hanya itu spotlight kejadian hari ini yang akan terukir dalam untuk sementara waktu.
“Iya, aku di tolak.” Jaemin mulai membuka cerita. Ia menceritakan secara rinci kronologi kejadian memalukan itu. Jaemin terus menyebutnya memalukan karena ia sadar dirinya cukup tampan dan disegani, namun spesial hari ini sang adik kelas cantik menolak pernyataan cintanya. Wajah tampannya merasa dihianati.
“Aku nggak bakal ngelakuin itu lagi.”
“Jadi kamu nggak bakal punya pendamping hidup.”
“Bukan begitu maksudnya, aku—... Ah nggak tau deh! Pokoknya aku nggak mau lagi! Nggak akan pernah! Never! Nggak ada lagi yang namanya confess! Malu-maluin aja ta—”
Lidah Jaemin tercekat saat wajah Jeno tepat berada di hadapannya dengan sebuah poki terjapit diantara bibir.
Jeno bisa melihat arah netra Jaemin menuju kemana. “Kenapa nggak dilanjutin misuh-misuhnya? Kok berhenti?”
“E-enggak—udah kok...” Apa yang barusan terjadi membuat lidah Jaemin sedikit tercekat, sampai-sampai bicaranya tergagap. Hal yang aneh mulai terjadi, belum pernah ada kecanggungan diantara mereka sebelumnya.
Entah apa yang Jaemin pikirkan, yang jelas lelaki bersurai sama gelapnya dengan Jeno itu tengah merutuki dirinya sendiri.
“Itu—kenapa nggak dimakan?” Tanya Jaemin saat melihat Jeno belum menggigit pepero nya, lelaki itu malah memainkannya sampai bibirnya maju-maju.
“Kenapa, kamu mau gigit juga?” Arag pepero itu kembali ke posisi beberapa saat yang lalu. Jeno mendongak sekilas demi memberi isyarat. Menyuruh Jaemin menggigit ujung pepero cokelat itu.
Krk~
Jaemin menoleh ke arah lain setelah menggigit ujung snack Jeno. Namun kepalanya tidak bertahan lama, ia kembali ke semula dan—
—WOAH Jeno masih di posisinya! “Apa?” Tanya Jaemin ke lelaki yang sedikit mencondongkan badannya itu, seakan memberi isyarat Jaemin untuk menggigit pepero itu lagi.
Digigitnya kembali pepero itu, namun kali ini Jaemin terlonjak dikarenakan Jeno juga ikut menggigit yang membuat wajahnya mendekat.
Mengerjapkan matanya, Jaemin memberanikan diri untuk melanjutkan. Dilihat dari iris Jeno yang seakan menantangnya, jiwa kompetitifnya tak mau kalah.
Walaupun setelahnya Jeno mendekat sedikit, kini reaksi yang diberikan tubuh Jaemin bertambah. Sesuatu berdegup cepat di dalam sana.
“Kayaknya nggak panas-panas banget, kenapa muka kamu merah?”
Ya pikir saja sendiri! Jaemin memang tidak memiliki reputasi buruk sebagai laki-laki, namun kini ia mengumpat dalam hati karena seorang laki-laki membuatnya gugup untuk pertama kai.
“Kamu mau berhenti?”
Jeno mengangkat salah satu ujung bibirnya. “Payah.”
Ah, kata-kata Jeno memang mudah mengelabuhi Jaemin. Bahkan satu kata terakhir berhasil membuat pertahanannya untuk berhenti malah runtuh seketika.
Helaan napas semakin terasa jelas, jarak wajah keduanya hanya tersisa beberapa senti saja. Pandangan terkunci tepat di mata satu sama lain. Jaemin menyadari mata Jeno terlihat lebih tegas saat berada di situasi serius.
Eh?
Apa tadi?
SERIUS?
Satu tangan Jeno terangkat untuk menahan tengkuk Jaemin agar lelaki itu tidak bisa menjauhkan kepalanya lagi. Dan pada saat itu juga Jeno menggigit jarak terakhir diantara mereka sambil menutup kelopak matanya.
Tidak tahu apakah ini bisa dikategorikan sebagai ciuman atau tidak, ujung bibir mereka hanya bertemu sebab habisnya gigitan terakhir itu. Mata Jaemin terbelalak, seketika ia memundurkan kepalanya cukup kencang.
“J-JENOOO!!!”
“Apa?” Jeno mengambil satu pepero milik Jaemin lagi. “Aku menang,” sambil menempatkan ujung pepero di belahan bibirnya.
“Apa-apaan?!”
“Protes, payah.”
“ARGH BIBIR SUCI AKU!!!”
“Kalah diem.”
“Stop ngomong kayak gitu!”
“Kalo gitu kamu harus menang.” Sambil mengarahkan pepero nya ke Jaemin. Namun kali ini Jeno melepaskan kacamatanya.
“Kenapa—dilepas...?”
“Ganjel.” Jeno menggeser duduknya agar lebih dekat, dan memindahkan lengannya ke belakang Jaemin. Satu pepero di bibir siap disantap! “Ayo.”
”...”
Jaemin mengusap wajahnya kasar, dan ia lebih memilih untuk berhenti berbicara dan—FUCK IT!
Krek!
Chup!
Coba tebak? Sepertinya Jaemin lebih agresif kali ini. Bahkan mata Jeno terbelalak saat Jaemin tidak memberikan aba-aba apapun dan langsung mematahkan pepero di bibir Jeno menjadi dua bagian yang membuat ranum keduanya bertemu—lagi.
Ia rasa otaknya tidak bekerja dengan baik, atau memang Jeno yang bisa mempengaruhi orang lain dengan kata-katanya. Jaemin curiga bahwa Jeno memasukkan mantra di dalamnya.
Buktinya Jaemin seakan lupa akan fakta bahwa mereka berdua sahabat sesama laki-laki dan seharusnya tidak melakukan hal seperti ini. Bahkan di Korea pun, tetap tidak bisa di normalisasikan. Apa jadinya jika pihak Sekolah mengetahui ada dua siswa yang tengah memainkan pepero game berujung saling menyesap belah bibir satu sama lain?
Ya, kalimat yang terakhir bukanlah kebohongan, mereka, Jeno dan Jaemin benar-benar melakukannya. Dengan Jaemin menutup matanya serapat mungkin, dan Jeno yang berusaha menenangkan sahabatnya dengan mengusapkan lembut ibu jarinya di pipi Jaemin.
“Kamu bikin kaget—”
“Diem.”
Jaemin menjauhkan wajahnya kala tautan mereka akhirnya terlepas. Wajahnya semerah udang rebus, asap keluar dari telinganya menandakan afeksi yang Jeno berikan membuat dampak.
Kepalanya terasa berat karena jantungnya tidak bisa bekerja sama, apalagi perasaan menyesal yang mendalam karena hal tidak lazim yang barusan ia lakukan membuatnya 100x lipat lebih malu.
Tidak bisa berkata-kata, Jaemin bangun dari duduknya sambil menenteng almamater yang sedari tadi terlupakan.
Grep
“Mau kemana?” Tanya Jeno seperti tidak ada apapun yang terjadi.
“Aku menang, bentar lagi bel bunyi aku harus balik ke kelas.”
“Kata siapa kamu menang? Yakin mau turun ke bawah pas muka kamu lagi merah banget kayak gitu?”
”...”
Jaemin tidak bisa membalas perkataan Jeno, tangannya sudah lebih dulu ditarik untuk kembali duduk di lantai. Genggaman hangat itu masih belum terlepas, Jaemin menundukkan wajahnya yang hanya dilindungi rambut poni sambil meremat jaket almamaternya kuat-kuat.
“Badan kamu tegang.”
“Pernyataan yang gak harus diperjelas lagi penyebabnya.”
“Gimana kalo kita bolos hari ini?”
“Juara kelas yang ini lagi kerasukan apa sebenernya?”
“Sini,” Jeno menepuk pahanya. “Kita bobo siang aja sampe pulang.”
Karena temannya yang tak kunjung berkutik, Jeno menarik lengan Jaemin untuk membawa kepalanya beristirahat di pangkuan Jeno.
Kepekaan Jeno tergolong cukup tinggi untuk seukuran hubungan antar teman membuat siapapun yang diberikan perhatian olehnya merasa nyaman dan aman. Tapi tidak untuk ketenangan karena Jeno bisa membahayakan hati siapapun. Jaemin tidak mengetahui dari mana Jeno mendapat semua kepribadian lembut ini, dan sudah berapa banyak perempuan yang ia perlakukan layaknya seorang putri.
“Temen aku satu-satunya ini ternyata keren juga.”
“Huh?” Jaemin memutar kepalanya menghadap ke arah Jeno.
“Kamu nggak perlu malu karena di tolak, aku bisa liat kalo kamu itu gentleman, Jaemin Na.” Tak henti-hentinya Jeno mengelus surai Jaemin. Tangan Jeno bisa saja menghancurkan benda di sekitarnya, namun di sisi lain juga bisa merubah menjadi wilayah yang nyaman untuk orang lain.
Kalau ia bisa, Jaemin berjanji akan memfokuskan dirinya terlebih dahulu ke Jeno sebelum mencari kekasih. Nyatanya hubungan yang semakin dekat membuatnya tak rela melepaskan lelaki April itu. Jika ia fokus memiliki pacar, waktunya dengan Jeno akan berkurang. Ia akan gunakan semuanya untuk mengenal temannya ini lebih baik.
Terus seperti ini.
Kemungkinan juga ia akan melebihkan sedikit dosis perhatiannya untuk Jeno, si lelaki senyum bulan sabit. Dan jangan biarkan saat-saat seperti ini berjalan dengan cepat karena momen-momen berharga dalam hidup bukanlah film yang dapat diputar kembali.
·
·
·
[ FIN. ]
P.s: thank you for reading, dan jangan lupa kasih kritik dan sarannya di sc atau cc~
© novadelue_2021 🍿