Narasi 3


Atas tawaran Axel kemarin, kini Julian kembali datang ke kediaman sang dosennya. Simpelnya, tawaran yang diberikan Axel adalah jika Julian ingin bertemu lagi dengan Mario.

Axel merasa mugkin Mario merasa nyaman mengobrol bersama Julian. Setelah pembicaraan mereka tempo hari, Axel ingin anaknya bisa mengobrol lebih banyak dengan Julian.

“Riooo..... papa pulang....” Mario yang sedang duduk di depan tv dengan sebuah buku berukuran A3 dihadapannya pun mendongak kala Axel datang dengan Julian di belakangnya.

“Lagi ngapain, nak?”

“PR. Buat PR.”

Axel melihat halaman yang hanya berisi garis tepi buatan Mario, yang artinya sedari Mario memulai PR nya ia belum melakukan apapun. Tampaknya anak laki-laki itu sedang mencoba menggambar sesuatu.

“Kak Julian?” Orang pertama yang mengalihkan atensi Mario tak lain dan tak bukan adalah lelaki yang saat ini masih berdiri di belakang Axel.

“Hai Mario, ketemu lagi kita hehehe...” Bisa dilihat sepercik keantusiasan di mata Mario.

“Kamu disuruh buat apa emangnya, bang?” tanya Axel yang kini duduk di sebelah anaknya.

“Disuruh buat poster menjaga lingkungan, dikumpulin lusa.” Mario menghela napasnya. Menggambar bukanlah sesuatu yang ia sukai. Karena sejak awal ia hanya menyukai pelajaran yang tidak berhubungan dengan seni. Apalagi biasanya tugas gambar menggambar diberikan waktu sampai seminggu. Mario benar-benar tidak memiliki kemampuan tersebut walaupun papanya sangat sangat mahir dalam melukis.

Satu hal yang tidak diturunkan oleh Axel. Mario lebih banyak mencerminkan Jonathan.

“Perlu papa bantuin?”

Mendengar itu, si anak laki-laki beralis camar langsung menggelegkan kepalanya. “Rio bisa sendiri, pa.”

“Yaudah kalo gitu papa ke kamar, kamu disini ditemenin kak Julian dulu ya,” ujar Axel yang lalu dibalas anggukan oleh Mario.

“Tolong jagain Mario sebentar, saya ada meeting sama dosen lain. Gak lama kok.”

“Baik pak,” Julian membalas senyuman Axel sebelum lelaki bersurai coklat gelap itu pergi ke kamarnya. Setelah itu, Julian meletakkan tasnya di atas sofa dan duduk di sebelah Mario yang masih belum melakukan apapun dan hanya menatap buku kosongnya.

“Bisa gak?”

“Aku gak bisa gambar kak.”

“Loh tadi papamu nawarin buat bantuin katanya udah bisa sendiri.”

“Biasanya aku juga sendiri, tapi gambarnya ngasal yang penting jadi.” Mario selalu memastikan bahwa ia mendapatkan nilai sempurna di setiap mata pelajarannya. Walaupun ia kurang dalan pelajaran membuat kesenian ia selalu berusaha semaksimal mungkin. Tak jarang Mario akhirnya menyerah dan lebih memilih mendapat nilai seadanya daripada tidak dapat sama sekali.

“Coba kamu mau pikirin dulu, pertama kamu mau gambar konsepnya kayak gimana?”

“Aku kepikirannya sih kayak ada gambar orang lagi buang sampah, terus ada gambar tempat sampahnya juga, abis itu dikasih tulisan 'Jagaah Kebersihan, Buang Sampah Pada Tempatnya'.”

“Hmm... Bagus kok itu. Terus kenapa kamu belom mulai gambar?”

“Gak bisa gambar orang kak.”

Julian hanya terkekeh mendengar jawaban dari Mario.

“Yaudah sini deh kakak bantuin gambar orangnya.”

“Emangnya kakak bisa?”

“Bisa dong, gambar muka kamu aja kakak bisa.”


Axel meregangka tubuhya setelah menyelesaikan pertemuan online dengan para rekan kerjanya. Ia pun berniat untuk mengambil segelas air putih, merasa perlu membasahi tenggorokannya yang mulai kering.

“Nah kayak gini, coba kamu lanjutin gambar jarinya.”

“Yahh susah kak, keligkingnya lebih gede dari jempol masa.”

“Hahahaha.... Nih apus lagi, abis itu coba lagi sampe bentuknya bener.”

“Aaaaa jarinya gak sengaja keapus satuuu...”

“Tuhkan udah kakak bilang hati-hati, kamu sih buru-buru jadinya keapus lagi kan.”

Percakapan mereka pun berlanjut selama proses membuat PR itu.

Axel belum jadi mengambil gelas minumnya. Langkahnya terhenti saat mendengar obrolan antara mahasiswanya dan sang anak yang terliat akrab. Julian membantu Mario dalam pekerjaan rumahnya, sedangkan yang lebih tua menuntun anak laki-laki itu di setiap garis yang dibuat, memastikan bahwa Mario melakukan yang terbaik.

Kedua orang yang tengah sibuk menggambar itu tidak menyadari keberadaan Axel. Lelaki yang sudah berkepala tiga itu diam-diam tersenyum melihat kebersamaan mereka berdua. Ia sudah lama tidak melihat Mario seaktif itu saat bicara.

Tak bisa ia pungkiri bahwa ia sangat merindukan pemandagan seperti ini. Sekilas ia teringat bagaimana Jonathan memangku Mario saat bocah itu masih berumur empat tahun dan sedang belajar cara memegang alat tulis dengan benar.

Jonathan tak pernah bosan mengajari putra tuggalnya itu sampai Mario berhasil menggambar satu bentuk diatas selembar kertas putih yang sudah dipenuhi coretan-coretan.

Bukan. Axel bukan merindukan Jonathan. Namun ia merindukan kasih sayang yang diberikan Jonathan pada Mario setiap harinya. Mengingat bahwa Mario sudah lama tidak mendapat kasih sayang dari seorang ayah selain Axel selama 6 tahun lamanya.

Axel pun kembali dengan tiga gelas air minum di atas sebuah nampan yang ia bawa. Dirinya menghampiri Julian serta Mario yang sudah memasuki tahap pewarnaan dalam sketsa gambar yang mereka buat.

“Asik banget nih kayaknya, gak haus kalian?”

“Eh? Makasih pak Axel.” Julian mengambil gelas yang diberikan oleh Axel.

“Ini minum dulu biar abang gak haus,” ujar Axel.

“Makasih, pa.”

“Nih pak, bagus kan? Mario loh yang gambar.”

“Apaan orang kak Julian yang gambarin.”

“Tapi kamu berhasil gambar tempat sampah sama pohonnya.”

“Susah banget tau.”

“Tapi berhasil kan?”

“Iya sih...”

“Itu tandanya kamu gak gampang nyerah. Walaupun susah tapi kalo kamu mau coba terus, cepat atau lambat pasti berhasil, iya gak pak?”

Julian menoleh ke arah pak Axel yang duduk di sampingnya.

Tanpa disangka, pemandangan pertama yang ditangkap oleh netra Julian adalah pak Axel yang sedari tadi sedang tersenyum ke arahnya.

Mata mereka pun bertemu. Sekali lagi Julian bertatapan dengan mata bulat milik Axel yang berhasil membuat dirinya jatuh cinta pada pandangan pertama saat lelaki itu masuk ke kelasnya.

Tak perlu waktu lama, Axel baru menyadari apa yang telah ia lakukan barusan. Sungguh, Julian membuatnya lupa bahwa pemandangan hangat ini hanyalah interaksi antara sang anak dengan salah satu mahasiswa yang tengah mengunjungi kediamannya.

“I-iya bener kok.” Axel benar-benar malu karena Julian berhasil menangkap basah dirinya yang tadi secara tidak sadar memperhatikan bagaimana yang lebih muda berbicara.

Setelah itu mereka lanjut menemani Mario yang sedang sibuk memberikan gradasi warna pada gambarnya.

Tanpa ada yang ketahui bahwa saat ini Julian tersenyum, mengingat tadi sang pujaan hatinya menatapnya dengan penuh cinta. Apalagi Julian bisa melihat pipi Axel mulai memerah setelah menyadari apa yang telah ia lakukan.