Narasi 2


Julian tengah berdiri di depan sebuah mesin minuman kaleng di salah satu sudut kampusnya. Ia membeli dua kaleng minuman bersoda, karena niatnya setelah ini ia ingin jalan-jalan sebentar sebelum pulang ke apartemen, jadi ia membeli satu minuman lagi untuk perbekalan.

Karena cuaca yang cukup panas, Ian langsung membuka minuman kaleng tersebut untuk membasahi tenggorokannya. Ia bahkan melepas jaket denimnya yang membuat tubuhnya semakin gerah. Kini ia hanya memakai kaos putih polos.

Melangkahkan kakinya menjauh dari mesin itu, Julian hendak menyalakan hp nya namun pandangan matanya teralihkan pada sesosok pria yang tak asing baginya.

Pak Axel.

Dengan tumpukan dokumen di ditangannya, pria yang berstatus jadi dosen sementaranya itu sedang berjalan sendirian melewati para mahasiswa/i lainnya sampai pandangan mereka bertemu satu sama lain.

Sebenarnya Julian tidak ingin bertemu dengan Axel lagi jika tidak ada keperluan yang penting. Ia sadar akan posisinya sekarang yang hanya seorang mahasiswa biasa sedangkan rasa cintanya pada sang dosen yang sudah memiliki keluarga itu masih sangat besar.

Julian tidak ingin menyakiti dirinya sendiri untuk kesekian kalinya. Ia sudah beberapa kali gagal dengan kehidupan percintaannya, dan sekarang ia sedang dalam fase mencoba move on dari sang dosen muda.

“Julian!”

Ia tak mengira bahwa dosennya itu akan menyapanya setelah mereka bertemu lewat pandang tadi.

Julian berjalan ke arah Axel yang juga sedang menuju ke arahnya, “iya pak?”

“Sendirian? Chat saya kok gak kamu balas?”

“H-hah?” Julian buru-buru melihat hp nya, dan benar saja ada notifikasi chat di layar kuncinya namun tidak ia ketahui karena Julian belum membuka hp nya sedari tadi ditambah ia mematikan suara notifikasi hp nya. “Maaf pak saya belum liat ternyata.”

“Oh gitu...”

Mereka diam untuk beberapa saat sampai Julian menyadari bahwa dokumen-dokumen yang dibawa Axel cukup banyak dan terlihat berat. “Pak, mau saya bantu bawain?”

“Ini?”

“Iya.”

Axel yang mendapat tawaran bantuan dari mahasiswanya tentu tidak ingin menolak. Karena ia pun mengakui bahwa kertas-kertas yang dirinya bawa semakin lama membuatnya lelah.

“Boleh.” Axel memberikan bawaannya sebagian pada Julian.

“Ini pak sekalian kalau bapak haus.” Julian menyodorkan minuman kaleng dingin yang tadi ia beli.

“Makasih, ian.”

Julian agak terkejut setelah sang dosen memanggil nama panggilannya. Biasanya yang memanggil dia dengan sebutan ian hanyalah teman-teman dekatnya atau mahasiswa/i lain yang menyapa. Tidak pernah ada dosen yang pernah menyebut nama panggilannya.

Namun ini adalah Axel, dosen sekaligus pujuaan hati Julian yang sedang dicoba untuk direlakan. Mengingat lagi akan fakta bahwa Axel sudah menikah dan memiliki keluarga.

Sialnya Axel berucap sambil menunjukkannya senyum manisnya dengan mata bulat yang membuat Julian jatuh cinta pada pandangan pertama. Ini benar-benar membuat hatinya tidak karuan.

Axel berhasil mengacaukan perasaannya untuk kesekian kalinya.


Jika kalian berpikir mungkin Julian akan pergi setelah membantu Axel meletakkan semua dokumen itu pada tempatnya.

Nyatanya kini mereka berdua duduk di bangku di bawah pohon untuk berteduh setelah menempuh perjalanan cukup jauh dari gedung fakultas satu ke fakultas lainnya.

Mereka sama-sama meneguk cola yang Julian beli sebelumnya. Entah apa yang membuat dua insan itu menjadi semakin dekat padahal mereka hanya sebatas dosen dan mahasiswa.

“Saya baru tau ternyata bapak udah punya anak.”

“Loh, emangnya kamu kira belum?”

“Iya soalnya bapak keliatannya masih muda banget. Saya juga gak liat ada anak bapak di postingan-postingan twitter bapak. Jadi saya kira bapak jomblo.”

“Hahahaha... Anak saya udah kelas 6 SD, bentar lagi masuk SMP.”

“Istri bapak kerja juga? Saya gak liat ada istri bapak di rumah kemaren.”

“Saya gak punya istri, saya menikah sama laki-laki.”

“O-oh? Jadi...”

“Iya, saya yang mengandung dan melahirkan Mario.”

Julian mengangguk paham.

“Tapi saya tinggal berdua aja sama Mario, saya single parent.”

Mendengar hal tersebut, Julian langsung menolehkan kepalanya.

“Saya pernah menikah, tapi sudah bercerai. Hak asuh Mario jatuh ke saya, dan saya sudah jadi orang tua tunggal semenjak Mario kelas 1 SD.”

Seakan mendapatkan keajaiban, batu-batu yang sebelumnya menghantam Julian hilang seketika.

Ada rasa lega dalam hati setelah mengetahui bahwa saat ini Axel benar-benar tidak memiliki pasangan. Itu artinya, Julian masih memiliki kesempatan untuk mendekatkan diri pada sang pujaan hatinya yang satu ini.

“Ya biasa lah, ian. Namanya juga saya dijodohin.”

“Kalau boleh tau, kenapa pak?”

Axel menaikkan satu alisnya, membalas tatapan Julian, “emangnya kamu mau dengerin saya cerita? Mungkin bakal agak panjang.”

“Saya dengerin, pak. Ceritain aja semua yang mau bapak ceritain. Saya pendengar yang baik kok.”

Axel tersenyum, ia pun meletakkan kaleng minumannya di sebelahnya lalu menumpu tubuhnya dengan tangan posisi di belakang, pandangannya menuju ke langit siang ini yang terlihat biru dan cerah.

“Saya dulu pernah menikah sama anak temen mama saya. Nama dia Jonathan. Jonathan blesteran, makanya kata kamu kemaren Mario agak bule kan? Kami berdua sekedar kenal. Waktu pertama kalu kenal, saya masih sekolah dan dia sudah jadi mahasiswa. Kita awalnya temenan aja, beberapa kali ketemu karena mama saya sama temennya lumayan deket juga. Tapi setelah saya lulus dan jadi mahasiswa juga, saya mulai sibuk kuliah. Saya terlalu fokus membangun karir, bahkan saya waktu itu gak punya pikiran buat menikah. Jonathan kakak tingkat saya, jadi kita lumayan deket.”

“Singkat cerita mama saya jodohin saya sama Jonathan. Alasannya pun sepele, karena takut saya terlalu sibuk belajar sampai lupa buat menikah. Padahal karir itu yang utama kan, ian? Tapi mama saya memang mau saya cepet-cepet nikah, jadi beliau jodohin saya sama Jonathan.”

“Kita berdua sama-sama menolak pada saat itu. Orang kalau cari pasangan pasti mau pilihan sendiri kan? Saya sama Jonathan juga maunya seperti itu. Tapi semakin lama, saya sama Jonathan ngerasa kalau kayaknya memang kita udah takdir ketemu satu sama lain. Soalnya diluar janji, kita sering ketemu gak sengaja dan berakhir jalan berdua dan dia selalu anterin saya pulang sampai rumah. Saya makin deket sama Jonathan. Udah ngerasa sama-sama cocok kita berdua memutuskan untuk menikah, setelah itu kami punya Mario.”

“Tapi yang namanya pernikahan pastinya ada kala goyahnya kan? Setelah kurang lebih 7 tahun menikah, kita berdua sempet berantem dan pisah ranjang. Udah coba buat baikkan dan mulai dari awal lagi kayaknya gak bisa. Karena udah gak ada progres, kami berdua memutuskan untuk bercerai, dan itu tepat sekali sebelum Mario masuk SD pertama kali. Waktu itu masa-masa terberat saya karena harus memulai jadi orang tua tunggal sementara disaat bersamaan harus liat anak saya sendiri yang masih kecil nyoba buat ngerti kalau orangtuanya udah gak bisa sama-sama lagi. Mario suka sedih karena liat temen-temennya dianterin kedua orangtua ke sekolah hari pertama sedangkan dia cuma dianter sama saya. Lama-lama Mario jadi pendiam, padahal awalnya dia mirip Jonathan banyak ngomong dan berbaur sana-sini.”

“Tapi menurut saya Mario masih banyak ngomong kok pak.”

“Iya?”

“Kemaren waktu pertama kali ketemu saya emang malu-malu anaknya, cenderung lebih ke diem. Tapi saya ajak dia ngobrol pelan-pelan. Saya nanyain tentang gimana dia di sekolah, terus saya bilang juga kalau saya mahasiswa arsitektur. Terus abis itu dia mulai nanya-nanya sendiri, kayak gimana rasanya kuliah, gimana rasanya jadi mahasiswa, apa bedanya kuliah sama sekolah, terus apa aja yang harus dia siapin dari sekarang. Mario bilang nanti dia kalau kuliah mau masuk teknik. Dia pengen bongkar pasang mesin. Sering nonton di tv soalnya.”

“Mario bilang itu ke kamu?” Keliatan muka Axel yang agak terheran.

“Iya pak. Memangnya kenapa?”

“Dia gak pernah bilang saya soal itu. Dia gak pernah ngomongin soal cita-cita dia. Dan selama saya balik ngajar ke universitas, beberapa kali saya bawa dia juga, tapi dia gak pernah nanya-nanya sebanyak itu ke saya.”

Axel merasa sedikit penyesalan sekaligus lega. Menyesal karena ialah yang harus menjadi orang tua Mario, dan lega ternyata anaknya bisa mulai terbuka sama orang lain.

Dalam satu sisi dirinya menganggap Mario berhak mendapatkan orangtua yang lebih baik darinya. Axel merasa gagal—

“Dia lagi belajar pak. Ya, setelah semua yang Mario lewatin dia pasti punya keinginan buat terbuka lagi sama orang lain walaupun dia harus mengajari dirinya sendiri. Apalagi Mario udah masuk masa remaja, dia juga belajar buat mengatur emosinya sendiri. Mario hebat loh pak. Dia mau coba bangkit dari zona yang dia buat. Mario pasti sayang banget sama bapak.”

Axel bisa merasakan matanya yang mulai berair. Tak ada seorangpun yang pernah mengatakan hal semacam itu padanya. Dirinya juga sudah berkali-kali mencoba bangkit walau kenyataannya sangat sulit. Selama ini Axel selalu melewati semuanya sendirian. Ia tidak lagi punya seseorang untuk bersandar dan menceritakan segala keluh kesahnya. Namun entah dari mana seseorang yang tak disangka-sangka akan datang ke kehidupannya dan mengatakan kalimat yang sudah lama ingin ia dengar.

“E-eh pak Axel?” Julian agak panik saat melihat dosennya itu menutup wajahnya dan mengeluarkan suara isak.

Tak ada yang bisa Julian lakukan selain mengangkat tangannya dan mengusap lembut punggung punggung Axel yang tengah bergetar.

Walaupun agak ragu, Julian perlahan mendekat, dan mulai menggeser tangannya ke lengan kanan Axel. Dengan lembut ia mendorong tubuh Axel pada dirinya, dan Axel langsung menyenderkan kepalanya pada dada Julian.

Siang itu menjadi hangat, mereka lewati bersama-sama hanya sekedar menemani satu sama lain sementara. Axel yang mencoba menuntaskan tangisannya dengan Julian yang setia menenangkan dirinya.