Let's Talk About This

Di kampus tadi setelah selesai kelas, Ten mendapat panggilan masuk dari Johnny. Ia memang berjanji akan bertemu dengan lelaki itu demi menyelesaikan masalah diantara mereka. Namun Ten butuh waktu untuk mengumpulkan keberaniannya.

Ten bukan seseorang yang penuh keberanian untuk menghadapi masalah yang sedang melanda, namun ia cukup bertanggung jawab. Ten baru saja sampai di Amerika dua hari lalu dan ia masih butuh waktuknya sendiri.

Soal panggilan masuk dari Johnny? Tentu Ten menolaknya. Ia belum ingin berurusan dengan pria tinggi itu.

Dirinya berniat pergi ke suatu tempat setelah kelas. Sebelum itu, Ten pergi ke cafe yang menjadi tempat kerja part time nya untuk meminta ijin datang terlambat hari ini.

“Oh, Ten?” Sapa Jeffrey, alias Jaehyun rekan kerja Ten di sana.

“Hi, Jeff... Ekhem—jadi begini... Aku kayaknya datang terlambat hari ini. Pak bos kemana?”

“He's outside.”

“Ohh.... Tolong ijinin ya? Aku harus pergi sekarang, supaya nggak banyak buang waktu nanti.”

“Sure Ten, take your time.”

Ten tersenyum teduh, “thanks, Jeff,” Jaehyun memang salah satu orang yang paling mengerti akan keadaan dan apa yang ia butuhkan untuk saat ini. Ten lega pria itu tidak banyak ikut campur.


Ten duduk di atas pasir putih pantai yang sepi pengunjung. Namun Ten bersyukur karena keadaan saat ini membuat dirinya merasa lebih tenang.

Pikirannya terombang-ambing entah kemana yang lalu diisi oleh ombak yang menerpa pasir pantai. Sudah bulan Desember, udara terasa dingin. Apalagi matahari bersiap mengucapkan selamat tinggal untuk menyapa belahan bumi lain yang masih tertidur.

Benar-benar hanya ingin menetralkan pikiran dan perasaan saja. Akhir-akhir ini sedang kurang tenang. Bahkan di samping Leon sekalipun, kepala Ten masih pusing.

Surai serta wajahnya yang ditiup angin pantai mengajak Ten membayangkan apa yang akan Johnny lakukan saat mereka bertemu nanti. Lelaki itu sangat keras kepala. Satu keinginan getol tidak terpenuhi, semua hal bisa ia jadikan jalan.

Ten menghela napas seraya membenarkan kacamatanya. Ia sudah lumayan ingat tentang apa yang terjadi malam itu. Johnny tidak keberatan dengan perasaan Ten karena lelaki itu sendiri pun sudah tahu sejak lama. Atau Johnny yang melantunkan kata-kata lembut di malam yang panas itu, membuat Ten harus menenggelamkan wajahnya di antara lutut.

Disamping semua itu, Ten juga merasa bersalah. Ia sudah menyeret Johnny ke dalam masalah ini. Salah Ten yang punya seksualitas menyimpang—atau salah Johnny yang terlalu mempesona?

Semua hal yang sudah terjadi Ten arahkan pada dirinya sendiri. Kala Johnny mengatakan 'sorry' dengan nada bersalah, Ten ingin membuat laki-laki itu berhenti melakukannya. Jika dari awal Ten tidak punya ketertarikan pada Johnny mungkin semua ini tidak pernah terjadi.

Drrt drrt~

Kala getaran dari sakunya, lamunan Ten buyar. Nama rekan kerjanya terpampang jelas di layar kunci, Jaehyun mengirimkan pesan.

Tak lama setelah Ten balas, Jaehyun membalas lagi. Ia bingung kenapa Jaehyun menyuruhnya pergi dari sana. Tapi saat lelaki itu mengirim pesan bertuliskan 'maaf' Ten membolakan matanya sambil mengumpat dalam hati.

Apa Jaehyun baru saja berubah pikiran setelah mengatakan keberadaan Ten pada Johnny?

Shit!

Ten mempercayai lelaki itu, namun belum lama ditinggal, Jaehyun sudah membuat masalah.

Buru-buru memasukkan hp nya ke dalam saku, Ten membersihkan celananya dari pasir lalu merapihkan hoodie-nya. Ten punya kemampuan berpikir di atas rata-rata, ia percayakan tujuannya setelah keluar dari sini. Yang pasti Ten sangat butuh tempat!

But guess what? Semakin dihindari, Johnny Seo ini akan semakin dekat. Entah apa prinsip yang lelaki itu punya—jelas jauh ambisius dari yang Ten bayangkan.

Berkeliaran di luar lebih berbahaya, sudah benar Ten diam saja di condo, bermain bersama Leon dan—

“Where are you going?”

Belum sempat menjauh dari bibir pantai, sepasang kaki panjang sudah berdiri tepat di hadapannya.

“Ten.” Johnny tahan lengan Ten sebelum pergi lagi. Ia sudah melesat secepat mungkin dari cafe, bersiap dengan mengambil jaket denim di condo untuk melapisi hoodie-nya. Johnny seperti orang dikejar setan, bahkan tak memperdulikan orang-orang yang menatap aneh sepanjang jalan tadi.

“Jeff udah bilang ke kamu kan?”

“Aku nggak suka sama orang yang ulur waktu terlalu lama.” Suara rendah Johnny buat Ten meremang.

”....”

“Kenapa diam? Tell me, kenapa kamu begini sekarang.”

“Isn't that obvious? Kenapa kamu tanya lagi?”

“What? Karena kita bangun di kasur yang sama, kamu khawatir sama apa yang kita lakukan sebelum itu? That's it?”

“So what, kamu jijik kan sama aku? Memang dari awal seharusnya kita nggak kenal satu sama lain. Kalau iya kenapa kamu nggak jauhin aku sekalian? Jangan siksa aku sama keberadaan kamu yang seakan terus ngejar!”

“Masalah nggak akan bisa selesai instan kayak gitu, Ten. Yang kamu mau aku jadi orang brengsek yang nggak peduli sama masalah yang melibatkan dirinya sendiri? Sorry, that's not me. Aku kejar kamu, karena kamu lari. And I'm here now, because I want us to stay—”

“—we're too different.” Potong Ten.

“Iya, kita berdua memang jauh bedanya. Tapi itu yang buat aku nggak pernah jauh mau kamu lari kemanapun. Kita berdua punya kutub berbeda, dan itu yang buat kita malah tertarik satu sama lain.”

”....”

“Tapi gimana kalau salah satu berusaha menjauh? Yang satu lagi tetap ketarik. Kita kayak magnet, Ten.”

Ten berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menumpahkan air mata di hadapan Johnny saat ini. “Why are you do this, kak Jo?” Ah, panggilan itu keluar lagi. “I mean—aku cuma orang yang tiba-tiba datang ke hidup kamu, dan pada akhirnya kacauin semuanya? Kenapa kamu masih peduli sama ini?”

Johnny menarik napasnya, “otak kamu diatas rata-rata, Ten, tapi kamu masih nggak ngerti penjelasan aku?” Perlahan kaki panjangnya melangkah maju.

Ten mundur.

“Ingat, Ten. Kita magnet.” Tidak ada gunanya jika terus seperti ini, tapi laki-laki berdarah Thailand itu tidak mau berhenti. “Jangan panggil aku kakak lagi—panggil nama aku. Aku lebih suka, rasanya kita lebih dekat.”

Tidak ada pilihan lain selain meraih lengan Ten lagi. “Kalau kamu mundur terus, celana kamu bisa basah. Udara lagi dingin, kamu mau masuk angin?”

Johnny memang terkadang bukan tipe orang yang to the point. Ia lebih sering berusaha menjelaskan sesuatu untuk menyampaikan isi hatinya. Dan Johnny yakin Ten bukan seseorang berotak udang, namun yang lebih muda itu tetap mempertanyakan penjelasannya.

“Ten, listen to me.” Kini tangannya turun menggenggam Ten. “Aku bisa liat jelas dari mata kamu, hari itu, setelah kamu bilang semuanya kamu merasa lega, walaupun setelahnya kamu minta maaf banyak-banyak sama aku karena udah suka sama aku, tapi hati aku tetep sakit waktu dengar kamu merendahkan diri sendiri.”

Yang ditatap hanya bisa menunduk. Johnny mengangkat dagu Ten lalu menghapus air yang keluar dari mata cantik itu. “You're special, Ten.” Johnny merasa sedikit lega karena genggaman yang sudah lama jauh kini dapat dirasakan nyata. “Let's talk about this, okay? Wanna take a walk?”


Mereka berdua berjalan di tepi pantai, lebih dekat dengan laut sambil menikmati angin sore yang lebih sejuk. Sudah bulan Desember, tentu memasuki musim dingin.

Johnny dan Ten berjalan beriringan. Setidaknya Johnny bisa tenang karena keadaan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya dan mereka sudah sepakat jadi lelaki bersurai hitam itu tidak akan kabur lagi.

“So...” Johnny mempercepat langkahnya hingga berjalan di hadapan Ten namun tubuhnya menghadap sang lawan bicara sehingga Johnny harus berjalan mundur.

“Sejak kapan kamu suka sama aku?”

“When I first saw you—I think?”

“Spesifiknya?”

“Kamu beneran mau tau?” Ten memasang wajah ragu.

“Of course! Ayo kita tukeran cerita, aku suka di sini, pantainya lagi sepi, tenang banget.”

Ten menghela napas. Tentu ini rasanya masih sangat aneh karena ia berbicara tentang orang yang disukai dengan orang yang ia sukai. Lebih seperti—hey, kamu itu harus tanggung jawab karena bikin aku jatuh cinta, tapi aku kesal lihat muka kamu yang mudah lempar senyum seakan ini bukan apa-apa!

Ten melanjutkan, “your team first win—remember?”

Johnny mengangguk cepat. Tentu ia sangat mengingat momen saat anggota tim nya memenangkan pertandingan untuk pertama kali. Masih menjadi kebahagiaan tersendiri jika mengingatnya. Johnny tidak akan pernah melupakan itu.

“What happened there?”

“Simple, aku kagum sama orang yang mengharumkan nama tim nya. Dia yang diangkat sambil pegang piala walaupun badannya bongsor abis.”

Johnny terkekeh mendengar kalimat deskripsi Ten. Tubuhnya memang di angkat oleh para anggota tim nya karena mereka sangat antusias merayakan kemenangan. Mungkin karena sangking semangatnya, mereka melupakan bobot Johnny yang memang bongsor—semua beban hilang karena rasa senang luar biasa menjalar di tubuh.

“Waktu mata kita ketemu, nggak sengaja, aku rasa ada cupid yang lagi patroli di sekitar situ dan langsung ngarahin panahnya ke aku.”

“Masa sih?” Johnny mengernyitkan dahi berusaha mengingat.

“Kamu gak inget karena kamu sibuk sama teman-teman kamu. Itu beneran nggak sengaja. I saw you as a person but you saw me as audience.”

“Kamu inget sama hal sekecil apapun yang terjadi antara kita—kamu jatuh cinta sama aku sedalam apa sebenarnya?”

“I don't know, kamu terlalu meresahkan.”

Lagi-lagi Johnny terkekeh. Ia selalu senang mendengar cerita Ten. Laki-laki ini punya nada bicara unik, apalagi Ten membicarakan tentang pertemuan pertama mereka—lebih tepatnya saat Ten menyadari bahwa ia telah jatuh pada pesona seorang Johnny Seo.

“You have a chance, Ten. I told you already. Kamu nggak inget?” Johnny kembali berjalan di samping Ten. “Kalau aku mau balas perasaan kamu, gimana?”

Johnny memberhentikan langkahnya saat yang lebih muda tertinggal karena berhenti. “Kenapa, Ten?”

“You know, kamu nggak harus begitu kalau ngerasa kasihan sama aku.” Jujur dada Ten agak sesak saat mengetahui sahabatnya ini sudah terlalu berbaik hati. “Kamu baru habis putus, nggak perlu buru-buru. Istirahat dulu, siapa tau nanti ada mahasiswi baru yang lebih cantik dari mantan kamu. You like beautiful person, right? You're Mr. Perfect, nggak perlu effort terlalu banyak.”

Lebih baik jika Johnny menemukan perempuan yang sekiranya bisa mengimbangi, dan menjadi partnernya seumur hidup. Daripada Ten diberi harapan namun pada akhirnya tetap kandas dengan tidak baik membuat dirinya akan terhantam banyak batu besar—lagi.

“Look, kalau kamu ngomong kayak gini karena ngerasa ada pucuk rasa di dalam hati kamu yang sekiranya bakal tumbuh, percaya sama aku pucuknya nggak sekuat itu—bisa mati kapan aja, dia cuma numpang sementara.”

Johnny bisa melihat yang lebih muda menatapnya penuh arti. Johnny sudah mengenal baik Ten dalam waktu yang lama. Cukup mengerti bahwa hati lelaki mungil itu (bayangkan) terbuat dari kaca. Dan Johnny bisa merasakan pecahan-pecahan kacanya sudah berserakan namun tetap ditutupi dengan senyuman lembut.

Tidak mudah bagi Ten, penyimpangan seksualitas yang ia miliki membuat dua insan yang kini bertatapan berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki benang kusut antara mereka walaupun mendapatkan tekanan secara batin. Tidak hanya Ten, yang bersangkutan juga merasakan.

“Kamu cuma kasihan sama aku, John. Kamu lihat aku dari sana, aku lebih mungil dari kamu, kan? Aku pasti keliatan lemah banget. Rasa empati kamu kuat, itu kenapa orang sebaik kamu bisa ada.” Tunduk Ten.

Perasaan emosional Johnny kembali melanda. Ia tidak suka melihat Ten menunduk seperti itu dan melontarkan kata-kata yang merendahkan dirinya. Melakukannya lagi, ini bukan kali pertama Ten.

“Aku bilang sama seseorang tentang apa yang aku rasain selama kamu pergi.” Johnny memutuskan untuk mendekat—ini giliran Johnny bercerita. “Aku bilang kalau aku sendiri juga bingung jadi aku putusin buat cerita. Aku ceritain semua, apa adanya. Aku bilang aku nggak tau gimana pandangan orang lain—mungkin karena aku nggak peduli. Tapi aku ngerasa terganggu banget kalau kamu ngomong kayak tadi, kalau kamu nangis, kalau kamu merasa semua yang kamu terima cuma hal buruk—rasanya aku cuma mau datang dan peluk kamu erat-erat. Aku nggak suka, tapi nggak suka dalam arti apa itu aku nggak tau.”

”....”

“Setelah itu aku ngerti, mungkin itu pilihan hati aku sendiri. Kalau manusia udah sayang sama sesuatu otomatis pengen selalu jaga sesuatu itu bagaimanpun kondisinya. Itu sifat alami manusia.”

“Kamu sayang aku?” Bibir Ten berusaha bergerak walau kelu. Kata-kata yang baru saja ia keluarkan agak memalukan untuknya.

“Kamu tau perasaan hati aku waktu kamu tanya begitu?”

Tak ada jawaban, Ten menatap lurus ke mata tajam Johnny.

“Rasanya aku mau teriak sekencang-kencangnya—YES, I LOVE MR. TEN LEE!

“Jo!–” Ten terkejut sekaligus speechless saat Johnny tiba-tiba berteriak. Ia refleks melihat sekelilingnya walau faktanya memang hanya ada mereka di sana. Namun hal itu tidak bertahan lama karena tubuh Ten hampir terhuyung ke belakang saat Johnny tiba-tiba memeluknya erat.

“I love you.”

“No, you're not. Lepasin aku!!'

“I love you.”

“No!”

“Yes.”

“Noooooo!”

“Yeeeesssss!!”

“Lepasin!”

“Nggak mau!”

“Aku nggak bisa napas!”

Johnny memeluk Ten tanpa aba-aba yang menyebabkan lelaki itu tidak siap. Apalagi karena tingginya, wajah Ten otomatis mendarat di dada Johnny. Namun karena terlalu erat, Ten sulit bernafas. Tetap dipeluk dengan sedikit dilonggar.

“Ten, apa yang buat kamu ragu sama semua kalimat aku?”

Ten membiarkan Johnny melakukan apa yang lelaki itu mau. Bahkan dilema antara tidak percaya atau berusaha menghindar masih berputar di kepalanya.

“Selama kamu pergi aku nggak tenang. Aku juga mulai overthinking, kalau-kalau kamu nggak balik kesini lagi, aku nggak bisa ketemu kamu lagi. Aku takut.” Johnny membawa tangan Ten ke dadanya, “ada yang kosong, di sini.”

Suara Johnny sangat lembut, memperlakukan Ten dengan baik membuat bibir lelaki mungil itu bergetar. Kacamatanya sudah basah dengan air mata.

Mendengar isakan Ten, Johnny sedikit menggerakkan tubuh mereka berdua sambil mengusap puncak kepala Ten dengan tangannya seperti menenangkan bayi yang sedang menangis.

“Coba aja waktu itu kamu nggak pergi, kita bisa obrolin lebih awal, aku nggak mau ada salah paham lagi. Maafin aku juga ya? Aku memang keras kepala, tapi aku punya alasan.”

”....”

“Aku tau kamu pasti balik, jadi aku nggak senekat nyusul kamu ke sana. I'm glad you're here.” Senyum teduh Johnny sambil menyelipkan tangannya di bawah rahang Ten. Mata Johnny mengarah ke bibir Ten, sedangkan yang ditatap sudah ketar-ketir wajah Johnny semakin mendekat.

Sret

Sebelum itu terjadi, Ten kembali membawa dirinya memeluk Johnny. Perlakuan yang tiba-tiba itu membuat jantung Ten berdegup kencang dengan muka yang sudah semerah kepiting rebus.

Johnny pun hanya bisa membalas pelukan Ten. Mungkin si manis belum siap untuk melanjutkannya. Mereka juga baru saja berbaikan, Johnny masih berusaha membuat Ten mempercayainya.

“Ten, kacamata kamu basah.” Johnny meminta kacamata di tangan Ten, sedangkan yang habis menangis tengah menyeka pipinya yang basah.

Johnny mengelap kacamata Ten dengan hoodie nya, dan hendak mengembalikannya. Namun saat Ten ingin menerima, Johnny malah mengangkat kacamatanya ke atas.

“John!”

“Apaa??”

“Kacamata aku!”

“Ambil sendiri dong.”

Ten berjinjit namun Johnny semakin mengangkat tangannya. Hingga Ten melompat lompat pun ia tak bisa menggapai tangan Johnny. Oh ayolah, tinggi Ten 172 centimeter sedangkan Johnny 185! Sifat jahil Johnny keluar lagi, itu membuat Ten sebal!

“Johnnyyy~”

“You want this?”

“Please?”

“Cium aku dulu.”

“Ish!”

“Ayooo~” Johnny memajukan pipinya memberi isyarat siap untuk dicium oleh Ten.

Ten menggembungkan pipinya, menahan geli di perutnya karena kupu-kupu yang datang seiring Johnny berperilaku manis untuknya.

Chup~

Kecupan singkat itu membuat Ten membolakan matanya karena Johnny segera memutar wajahnya yang menyebabkan belah bibir mereka bertemu.

“Hey, Jo!!!”

“Coba ambil kalo bisa!” Johnny tertawa renyah sambil berlari menjauhi Ten. Ia masih memegang kacamata laki-laki itu yang membuat Ten harus mengejar Johnny.

“GIVE IT BACK!”

“Ambil sendiri~”

“Oh c'mon, give it back, JOHN!”

Johnny lupa menjaga keseimbangan sehingga dirinya terjatuh di atas pasir yang membuat mereka berdua bertubrukan.

“AHAHAHAHAHA TEN” Ten menggelitiki perut Johnny membuat yang lebih tua kegelian.

“NAKAL! SINI NGGAK!”

“AHAHAHAHAHA OKAY OKAY SORRY!”

Ten memakai kembali kacamatanya dan menatap kesal ke arah Johnny. Pipinya menggembung mirip kucing yang sedang marah.

“Oh God, you look very cute now.” Johnny memencet-mencet pipi Ten dengan telunjuknya. Sungguh, Ten terlihat seperti anak kucing yang sedang marah! “You look so small, I wanna keep you in my pocket.”

Padahal tadi Ten bilang sendiri kalau ia memang mungil. “I'm not small! Kamu aja yang kegedean ish! Makan apa sih—” Sebelum Ten bangkit berdiri, Johnny menarik lengannya. Seketika mulut Ten kembali bungkam.

“Lah kok jadi diem? Ayo dong marah-marah lagi, aku mau liat gemesnya.”

“Aku gak gemes.”

“Hahahaha iya deh iyaaa...”

Johnny tak berniat melepaskan pelukannya. Rasanya tenang saat Ten sudah di sebelahnya. Lelaki itu menidurkan kepalanya di dada Johnny dengan pasrah karena terlalu malas bangkit berdiri.

Mereka berdua menatap langit yang hampir gelap. Sedangkan Johnny tengah menikmati momen menyenangkan ini. Semenjak mereka mulai lebih terbuka satu sama lain—walaupun diawali sebuah insiden—Johnny merasa dirinya terhubung dengan yang lebih muda.

Seperti tidak perlu penjelasan lisan, ia mengerti apa yang Ten rasakan. Bagaimana suasana hati lelaki itu, dan terkadang juga seakan telepati. Mempermudah Johnny memberi kenyamanan untuk Ten.

“Begini dulu sebentar ya? Aku suka suasananya, apalagi sekarang ada kamu. Kita lanjut juga nanti di condo.” Johnny mendapat anggukan dari Ten.

Laki-laki kelahiran Chicago itu menempelkan hidungnya di puncak kepala Ten, menghirup aroma lembut dari shampoo yang Ten pakai. Diam-diam senyum kecil terpatri di wajah Ten. Ia tak mengelak lagj bahwa dirinya merasa sangat senang. Membuang jauh-jauh pemikiran negatif dan memilih mempercayai untuk Johnny sekarang.

“I want you to trust me. We can trust each other, right? We through the storm together. I can be your guard. I can fight those people who wants to hurt you. We'll stay together—like now, forever. Please give me a chance to prove what I said to you. Ten Lee, will you be mine?”

“Okay, I'll go with yes—because you said 'please'.”

Johnny terkekeh, “thank you.”


Maaf kalau Bahasa Inggris gue sejelek itu, tolong maklumi dulu🙏

© novadelue_2021 🍿