Home; you and Chicago
Sesuai yang Johnny katakan waktu itu, ia akan mengajak Ten menghabiskan waktu libur natal di rumah orangtuanya.
Johnny lahir, tinggal, dan besar di kota yang bernama Chicago. Ia melanjutkan studi di luar kota, dan akan mengunjungi orang tuanya di setiap hari libur.
Kali ini ada yang berbeda. Memang bukan pertama kali Johnny mengajak Ten mengunjungi rumahnya di Chicago, namun sekarang ia membawa Ten sebagai kekasihnya.
Mereka akan menginap beberapa hari di rumah orangtua Johnny. Keduanya sudah mempersiapkan tas berisi berbagai barang, terutama pakaian. Dan mereka pergi menggunakan mobil Johnny.
Sampai di tempat tujuan, kedatangan mereka langsung disambut oleh eomma Seo. Rencana mereka sudah dibicarakan, dan Johnny bisa melihat asap dari halaman belakangnya yang menandakan sang appa tengah mempersiapkan bakaran BBQ.
“Annyeonghaseyo...” Seperti biasa, Ten membungkuk 90°. Ten pernah tinggal di Korea, maka dari itu ia bisa berbahasa Korea dan mengerti budaya tata krama orang sana.
“Annyeonghaseyo~ omo Ten! Akhirnya kita ketemu lagi yaaa...” Eomma Seo langsung memeluk kekasih putranya itu. Ia sangat menunggu kedatangan Ten karena terakhir kali mereka bertemu sudah lama sekali.
“Hayo-hayo... kalau mau ngobrol jangan di pintu masuk, aku berat loh ini bawain tas.” Muka Johnny masam. Bagaimana tidak, ia sudah menyetir bermil-mil dan harus membawa barang bawaan masuk ke dalam rumah. Sungguh, badannya pegal-pegal, ditambah udara di luar sangat dingin!
Johnny meletakkan semua barang mereka ke dalam kamar yang memang sudah disiapkan eomma. Itu adalah kamar Johnny, ada banyak bingkai foto masa kecilnya dipajang di sana.
Setelah itu Johnny keluar dan melihat Ten sedang membantu eomma-nya menyiapkan makanan. Johnny belum menyapa sang appa sama sekali jadi ia memutuskan untuk mengecek halaman belakang.
“Appa...”
“Hi John, how are you doing?”
“I'm good, how about you?”
“As usual.”
Johnny membantu appa-nya menyiapkan bakaran, sedangkan pria yang lebih tua itu sedang memotong-motong daging yang akan dibakar. Mereka mengadakan acara makan malam bersama dalam rangka menyambut kepulangan putra mereka satu-satunya itu.
Saat api siap, mereka mulai meletakan daging yang sudah di potong menjadi beberapa bagian, dan ada juga yang ditusuk dengan tusuk sate, meletakkannya di atas panggangan panas dan mulai memasak. Di sela-sela itu, Johnny dan ayahnya berbincang kecil tentang bagaimana hari-hari Johnny di kampusnya.
Tadi appa-nya juga masuk ke dalam sebentar untuk menyapa Ten. Johnny tidak melihat appa-nya menyinggung soal hubungan ia dan Ten. Johnny punya firasat kalau eomma-nya mungkin belum memberitahu appa soal apa yang terjadi dengan dirinya dan Ten.
“Jadi, anak appa masih pacaran?”
“Uhm, yeah...” Firasat Johnny sepertinya benar.
“Siapa nama pacarmu? Carol? Itu bukan? Gimana dia sekarang?” Tanya appa Seo sambil membalikkan daging.
“Jo udah nggak berkomunikasi lagi sama dia.”
“Kalian putus? Eomma pernah bilang sama appa kalau kamu sama pacarmu putus, tapi appa belum percaya karena belum tanya langsung sama kamu.”
“Ya Jo putus sama dia, bukan tanpa alasan pastinya.”
“Mau cerita?”
“Jo nggak pernah mempermainkan hati perempuan yang Jo kencani selama ini. Semua mantan pacar Jo yang mutusin hubungan kita dulu. Alasannya kita nggak cocok, most of them bilang begitu. Tapi yang kali ini, Jo bener-bener dicampakin. Jo sebenarnya udah tahu soal dia yang begitu, dan Jo berniat ubah dia jadi lebih baik, tapi ternyata sama aja. Dia nggak pernah dengerin Jo, jadi untuk kali ini Jo yang bilang selesai sama dia.”
“Selingkuh, begitu?”
“She kissed another guy in front of me. Dia yang salah, tapi waktu Jo tegur dia yang marah-marah. Nggak jelas. Jadi kali ini Jo harus jadi tegas.”
“Jadi sekarang?”
“Jo masih trauma sebenarnya, jadi sebisa mungkin Jo menghindar dulu dari perempuan-perempuan yang berusaha deketin Jo.” Johnny menghela napasnya, “but I dated someone recently.”
“Oh, siapa?”
“Jo bener-bener mau bilang ini sama appa karena mungkin appa belum tahu. Tapi Jo agak ragu sekarang.”
“Ada apa, John?”
“Jo bilang Jo menghindar dari semua perempuan yang berusaha deket sama Jo kan?”
“Ya?”
“Appa ngerti maksud Jo?”
Appa Seo meletakkan capitan dagingnya di atas meja dan menatap Johnny penuh arti. “Laki-laki?”
Ucapan appa nya berhasil membuat Johnny diam seribu bahasa. Saat ini Johnny takut setakut takutnya, khawatir akan perasaan appa nya saat ia mengatakan ini.
“Kenapa diam, John? Benar?”
“Maaf...”
“Kenapa harus laki-laki?”
“Jo nggak tahu...”
“Kamu tahu dampak dan konsekuensi sama apa yang kamu lakukan kan?”
“I know.”
“Listen, Jo anak appa satu-satunya. My one and only son.” Appa Seo agak menekan omongannya di kalimat itu. “Seumur hidup appa, appa selalu percayakan semuanya sama anak appa. Jo itu anaknya hebat bahkan sejak ia kecil, appa tahu anak appa pasti tumbuh jadi seseorang yang gentle. Semakin dewasa pasti Jo tahu kalau tanggung jawab yang ada akan semakin besar. Appa nggak pernah sekalipun meragukan anak appa sendiri. Tapi kalau Jo datang ke appa, appa akan selalu buka tangan selebar-lebarnya. Jo butuh apa, semuanya appa akan penuhi selama appa mampu. Appa sama seperti eomma. Orangtua yang punya anak semata wayang pasti melakukan hal yang sama. Mereka cenderung melakukan semua hal untuk anak mereka.”
“Lihat Jo tumbuh hingga sekarang, appa sama eomma sudah berucap banyak syukur sama Tuhan. Itu berarti Tuhan selalu memberkati setiap langkah yang Jo lewati. Bumi tidak akan pernah berputar sebaliknya, kita tidak tahu berapa lama lagi stok waktu yang kita punya. Mungkin beberapa tahun mendatang Jo sudah sibuk dengan masa-masa dimana orang mulai membangun karir. Manusia beraktivitas, bekerja, supaya nanti meninggalkan arti setelah hidup di dunia.”
”....” Johnny tetap diam mendengarkan.
“Setelah anak appa lahir, hidup appa berubah seratus delapan puluh derajat—seakan fokus appa cuma beralih sama anak appa. Untuk appa, hanya ada satu yang appa ingin di dunia ini. Setiap orang butuh orang lain untuk memenuhi bagian yang masih kosong di hidupnya. Walaupun appa nggak bisa berada di samping Jo setiap saat, appa mau Jo menemukan seseorang yang bisa mengimbangi semua yang Jo rasakan. Appa tidak mau anak appa menanggung semua beban sendiri, karena appa tahu rasanya akan sangat melelahkan. Appa kira appa akan terus pulang dari kantor larut malam demi menafkahi keluarga kecil appa—supaya putra kecil appa bisa selalu jalan-jalan ke waterpark favoritnya. Tapi waktu itu memang tidak pernah bicara, John. Mengalir seperti air, tidak kenal yang namanya berhenti.”
“Sekarang di hadapan appa, masih putra kecil appa yang dulu penggemar berat boneka beruang warna coklat. Tapi yang membuat sedikit berbeda itu waktu. Lihat, anak appa sudah lebih tinggi dari appa nya sendiri. Mau bagaimanapun, Jo tetap anak appa walaupun sudah dewasa kan? Appa masih peduli dengan masa depan Jo. Tapi memang, jika anaknya sudah dewasa, penting untuk orangtua menyerahkan semua tanggung jawab pada anak mereka. Setiap pilihan itu milik kamu sendiri. Yang jalani hidup juga kamu sendiri. Hak appa untuk mengatur hal seperti itu tidak ada.”
Kini Johnny kembali buka bicara, “Jo selalu berusaha melakukan segala hal demi buat appa dan eomma bangga. Jo bukan orang yang pandai menunjukkan terima kasih mendalam untuk orang-orang yang sudah mengisi hidup Jo. Kalau sewaktu-waktu Jo gagal, Jo merasa kalau diri Jo itu beban. Jadi mengusahakan apapun itu, dan karakter yang kembang di dalam Jo jadi keras kepala. Tapi selama Jo bisa lihat appa dan eomma bahagia, Jo merasa lega. Tapi, suatu saat Jo kasih appa kekecewaan, itu bisa jadi beban lain buat Jo. Jo tidak mau memaksa appa, tapi Jo juga tidak bisa terlalu keras sama diri sendiri. Apalagi....sekarang Jo sudah menyangkutkan orang lain di hidup Jo.”
“Eomma bilang apa sama kamu?”
“Jawaban eomma mirip appa.”
Appa Seo menoleh ke belakang, melihat ke area dalam rumah yang juga sedang mempersiapkan makan malam. Seseorang yang sedang memotong-motong selada menjadi objek utama saat ini. Appa Seo menarik kedua sudut bibirnya ke atas saat melihat istrinya menghampiri Ten sambil membawa semangkuk tomat yang sudah dicuci.
“Appa selalu ikut jawaban eomma.”
Johnny menatap teduh sang appa. Ia tahu kalau ada raut kekecewaan di wajah appa namun berusaha ditutupi oleh senyuman khasnya.
“Jangan nunduk begitu.”
“Terima kasih, appa.”
“Good choice, John.” Ucap appa setelah mengalihkan pandangannya dari Ten lalu menepuk punggung putranya.
Setelah selesai membakar semua daging yang sudah disiapkan, Johnny dan appa-nya langsung membereskan panggangan dan membawanya kembali masuk ke dalam rumah. Udara di luar semakin dingin, untungnya semua bakaran sudah selesai berkata kerjasama ayah dan anak ini.
Johnny langsung menghampiri kekasihnya. Ia berjalan menuju Ten yang sedang memunggunginya. Johnny langsung melingkarkan tangannya di pinggang Ten dan meletakan dagunya di pundak yang lebih muda.
“Kamu bau asap ih! Jangan deket-deket!”
Bukannya menjauh, Johnny malah mengecup pipi serta leher Ten yang berhasil membuat lelaki berdarah Thailand itu kegelian.
“Diliatin eomma sama appa kamu tau, Jo!”
“Kamu lagi apa?” Tanyanya sambil menyelipkan rambut Ten ke telinga yang sekiranya menutupi pandangan lelaki itu. Rambut Ten semakin memanjang, namun juga membuatnya terlihat lebih cantik di mata Johnny.
“Bossam.” Ten mengambil sebuah daging yang sudah matang, diberi saus ssamjang yang dibalut dengan selada.
“Aakk~” Ten menyuapi bossam tersebut ke mulut Johnny. Ia butuh seseorang untuk dijadikan juri rasa racikan masakannya. “Gimana?”
“I love it.” Puji Johnny sambil mengunyah makanannya. Ini bukan pertama kali ia melihat dan mencoba masakan Ten, namun karena kali ini masakan Korea, rasanya lebih nikmat.
“Yes! Thank you, Jo!”
“Sure, baby.” Ucap Johnny sebelum mendaratkan sebuah kecupan di pipi Ten lagi.
Eomma dan appa Seo yang diberi tontonan gratis itu hanya bisa menggelengkan kepala mereka. Atmosfer rumah tersebut menjadi lebih hangat dengan kehadiran calon anggota keluarga baru. Suami istri pemilik rumah itu pun tidak mau kalah. Karena bukan hanya Johnny dan Ten yang bisa menebar kemesraan!
“Semuanya, ayo bantu eomma tata meja makan. Kalian semua udah laper banget pasti.”
“Ay ay, eomma!”
Setelah makan malam, keluarga kecil itu menghabiskan waktu di ruang tengah. Mereka saling berbagi cerita sambil memakan hidangan pencuci mulut dari eomma Seo.
Dan saat itu juga appa Seo membocorkan banyak memori masa kecil milik Johnny yang masih berbekas hingga saat ini. Seperti Johnny yang merengek minta dibelikan kasur tingkat—namun sang appa tidak bisa memenuhinya karena kasur tingkat diperuntukkan dua orang sedangkan Johnny tidur sendiri. Lalu selama berminggu-minggu Johnny kecil merengek minta adik agar ia bisa dibelikan kasur tingkat.
Saat jam menunjukkan pukul sembilan malam, Johnny dan Ten pamit masuk ke kamar untuk membersihkan diri mereka. Dari datang hingga makan malam, keduanya masih memakai pakaian dari luar.
Mereka mandi menggunakan air hangat. Pastinya sendiri-sendiri, atau lebih tepatnya Ten yang melarang saat Johnny saat lelaki itu menawarkan untuk mandi bersama. Hey ayolah, hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi jika Ten tidak segara mencegahnya. Ten tidak mau hari pertamanya di rumah keluarga Seo berantakan hanya karena anak lelaki mereka sudah mengerti yang namanya kebutuhan biologis.
Ten memakai sweeter warna putih yang ia desain sendiri dengan coretan gambar abstrak yang modis di zaman sekarang. Lelaki itu sangat gemar menggambar. Apapun bisa ia jadikan media asalkan diberi alat-alatnya.
Bacanya sambil dengerin ini https://open.spotify.com/track/1fEGtTZjrjJW8eUeewnNJR?si=U_ExHw4jR6SGKvmiGVQYkQ&utm_source=copy-link
Tangan Ten menyentuh kaca jendela yang terasa sangat dingin. Temperatur udara di luar sudah dipastikan dapat membuat tubuhnya membeku jika tidak dilengkapi jaket tebal. Penghangat ruangan kamar Johnny juga sudah dinyalakan, namun sama saja seperti ruangan ber AC.
Lagu romantis menyelimuti ruangan dengan nuansa coklat krem itu. Hal tersebut adalah ulah Johnny yang menyetel musik lewat hp nya. Sebelum Ten menoleh ke belakang, tubuhnya sudah didekap lebih dulu oleh yang lebih tua.
Hembusan nafas hangat menyapa perpotongan leher Ten. Dari pantulan kaca, ia bisa melihat Johnny menarik senyumnya di sela-sela kecupan yang diberikan untuknya. Ten merasa penuh hatinya. Ia tidak pernah merasakan ribuan kupu-kupu berterbangan di perutnya seperti saat ini sebelum dirinya mengenal Johnny.
Katakan bentuk kebahagiaan itu seperti puzzle yang hanya bisa dilihat oleh pemiliknya. Untuk Ten, lelaki ini adalah bagian puzzle hilang yang kini melengkapi sisi lainnya.
Kalau kata Johnny, mereka itu seperti magnet. Bahkan sebelum menyadari perasaan satu sama lain, keduanya sudah menempel kemanapun. Karena Johnny merasa nyaman setiap Ten berada di dekatnya. Ia lebih banyak membagikan keluhnya karena percaya Ten bisa membantu mengurangi beban pikirannya hanya dengan duduk dan menjadi pendengar yang baik.
Tidak pernah sekalipun Ten mengatakan “aku ngerti perasaan kamu” setiap Johnny bercerita. Lelaki itu lebih banyak diam dan akan memberikan komentar di akhir cerita. Yang Johnny suka saat mengobrol dengan Ten adalah, ia bisa melihat persepsi dari banyak sudut. Seakan Ten memperlihatkan Johnny dunia yang lebih luas, menjadikannya pribadi seperti sekarang.
Ten sebenarnya bukan seseorang yang terlalu bergantung pada janji, namun ia masih manusia yang jikalau memberikan kepercayaan namun dihempas begitu saja, ia akan tetap kecewa berat.
Saat ia datang untuk pertama kali ke kampus dan memiliki teman sekamar, Ten pernah berkata pada Hendery kalau dirinya tidak akan pernah jatuh cinta. Dunianya hanya seputar belajar dan memikirkan apa yang akan datang di esok hari. Sangat sensitif kalau ada nilainya yang tidak memuaskan. Namun siapa sangka, rasa cinta pada seorang Johnny Seo yang datang begitu saja membuatnya seketika terpinggirkan dunia. Mulai dibully semua orang yang tahu dirinya jatuh cinta pada pangeran kampus.
Dan sepertinya Ten jatuh cinta pada orang yang tepat. Johnny mengeluarkannya dari cacian dan menghapus semua cap yang diberikan oleh orang-orang dengki itu. Saat ini mereka terikat dalam ucapan yang berjanji akan menjaga hati satu sama lain.
“Here, I used to be a little boy who's waiting for Santa until midnight.” Lima belas tahun lalu, Johnny berdiri di tempat yang sama seperti saat ini, menatap keluar jendela sambil berharap ada kereta rusa yang terbang di langit dan seorang santa yang masuk lewat cerobong asap rumahnya sambil membawa kado natal.
“You know, when I was 17 years old, I still believe that Jack Frost is real.”
“Why Jack Frost?”
“He's handsome.”
Saat Ten menyebut orang lain tampan, Johnny mengerucutkan bibir tidak suka, “I can be your Jack Frost. Aku cat rambut warna putih, terus pakai hoodie biru, nyeker sambil bawa tongkat kayu.”
“Jangan tersinggung, nanti kamu malah jadi kayak penyihir beneran.”
“Gapapa deh, aku jadi badut pesta ulang tahun buat side job.”
“Pfftt buat apa kamu kerja sampingan? Anak tunggal kaya raya mah nggak perlu.”
“Belajar cari uang. Misal udah punya keluarga sendiri nanti, kalau nggak kerja kamu mau aku kasih makan apa coba? Sekaya kayanya orang kalau nggak kerja duitnya pasti habis. Apalagi kita punya dua bos kecil, makanan Louis sama Leon mahal, Ten.” Johnny terinspirasi oleh Ten yang masih kerja paruh waktu di masa kuliahnya.
“Hahahaha iya deh terserah kamu. Kalau kamu mau mulai sesuatu, apapun keputusan kamu, kalau itu berbuah baik untuk kamu, aku pasti dukung.”
Musik yang sedang berputar sekarang berjudul 'K. – Cigarettes After Sex'. Atmosfer kamar Johnny berputar lagi.
https://open.spotify.com/track/1FWsomP9StpCcXNWmJk8Cl?si=q_SZEKKoS1W3mfv11G3RPw&utm_source=copy-link
Johnny memutar tubuh Ten agar ia bisa melihat wajah laki-laki yang sedang bicara itu. Teringat waktu Ten mengatakan bahwa pertemuan mereka adalah sebuah kesialan, namun dalam lubuk hati Johnny, ia bersyukur bisa mengenal Ten. Siapa sangka, pilihannya untuk berkuliah di luar kota membawanya bertemu dengan seorang lelaki yang datang jauh-jauh dari Thailand demi menimba ilmu.
I remember when I first noticed that you liked me back.
We were sitting down in a restaurant, waiting for the check.
We had made love earlier that day with no strings attached.
Seakan mengerti arti tatapan satu sama lain, lengan Ten otomatis mengalung indah di leher tegas Johnny. Seperti saat matanya tak sengaja bertatapan dengan Johnny waktu pertandingan itu, Ten merasakan dirinya jatuh cinta untuk kesekian kalinya dengan seorang Johnny Seo. Pesona laki-laki itu memang sangat kuat, siapapun yang melihatnya akan langsung terpesona.
Aura dominan terpancar dari pandangannya. Johnny tak bisa mengalihkan hal itu pada objek lain. Ten pemeran utama malam ini.
Tubuh mereka mulai bergerak perlahan. Bersama saling mengimbangi gerakan satu sama lain, dengan lengan Johnny yang melingkar di pinggang ramping Ten. Kedua dahi mereka disatukan hingga pucuk hidup ikut bersentuhan. Memejamkan mata, keduanya berdansa mengikuti irama.
Sentuhan-sentuhan kecil seperti usapan di kepala atau rengkuhan posesif membawa buncahan kuat seperti temperatur yang naik drastis. Melodi yang melantun indah membuat posisi keduanya menjadi lebih intim. Mereka lupa kalau dunia itu tempat umum, tapi disaat seperti ini rasanya bumi berputar hanya untuk mereka berdua.
Johnny meluruskan kedua lengannya tanpa melepas genggaman yang membuat wajah mereka berjauhan, bergerak ke arah kanan lalu memutar tubuh Ten perlahan.
Tubuh Ten kembali ditarik dan direngkuh dari belakang seperti awal tanpa mengurangi tempo yang mengikuti melodi lagu.
Johnny menghirup wangi rambut kekasihnya dan mulai mengecupi dari puncak kepala hingga leher jenjang Ten. Belum ada pembicaraan diantara mereka, hanya sentuhan-sentuhan untuk berbagi rasa cinta yang tengah membakar keduanya.
“You know that I'm so obsessed with you.” Lelaki Februari itu sengaja mengarahkan tubuh Ten menghadap kaca supaya si manis bisa melihat seberapa indah dirinya di mata Johnny.
“The way you smile, the way you move, your body, and everything about you—it's all masterpiece.” Johnny mengisyaratkan Ten untuk melihat ke depan. Ibu jarinya mengusap belah bibir ceri milik Ten, segala pemujaan untuk lelaki manis itu.
“It's so sweet, knowing that you love me,” balas Ten mengusap lengan berurat Johnny. “Though we don't need to say it to each other.” Tangan Ten naik ke belakang kepalanya untuk membelai wajah yang lebih tua dengan sayang.
“Yeah, right?”
“You like 'Cigarettes After Sex' that much?”
“I once thought if we used the songs while we made love.” Dua tangan besar Johnny mulai masuk ke dalam sweeter Ten dan mengelus perut datarnya.
Perlakuan yang tiba-tiba itu tentu memberi sengatan pada tubuh Ten, namun diam-diam ia menikmati sentuhan-sentuhan kekasihnya.
“Not now, Jo.”
“Later?”
“Later.'
“Okay, sweetheart.”
Jujur saat kulitnya bertemu langsung dengan Ten, tangannya dapat merasakan kehangatan di sana. Johnny tidak berniat mengeluarkan tangannya dari dalam sweeter itu—malah semakin memberikan pijatan-pijatan kecil di sana.
“You look cold, Ten.”
“Iya memang dingin banget, padahal penghangatnya udah aku hidupin daritadi.”
“Aku punya opsi lain.”
“Apa?”
Johnny membalikkan tubuh Ten dan langsung memangut bibir plum Ten. Johnny mulai menggerakkan belah bibirnya yang akhirnya menciptakan lumatan diantara mereka. Ten membalas hal tersebut, sambil semakin menekan kepala yang lebih tua untuk meminta lebih dalam.
Suara cipakan basah tak terelakkan, suhu tubuh mereka kembali naik secara bersamaan. Lidah Johnny langsung beraksi kala akses masuknya mulai bisa dirasakan. Untuk pertama kalinya, Johnny dan Ten kembali bercumbu panas setelah malam pesta itu—namun kali ini dalam keadaan sadar dan hati yang sama-sama penuh .
Ten meremas pundak Johnny keras saat dirasa pasokan napasnya mulai habis. Pergumulan lidah yang terjadi sebelumnya menciptakan benang saliva diantara bibir ranum keduanya.
Tanpa basa-basi, Johnny langsung membuka kaos lengan panjang yang ia pakai dan menampilkan tubuh atletisnya di hadapan Ten.
Saat Johnny hendak membuka sweeter Ten juga, lelaki kelahiran Thailand itu langsung menahan, “John.”
“Trust me.”
Karena Ten tidak melihat adanya kabut napsu di mata Johnny, ia mempersilakan lelaki itu melanjutkan aksinya.
Saat bagian tubuh atasnya terekspos, Ten langsung menyilangkan kedua tangannya di dada dengan telinga yang sudah memerah parah.
Namun Johnny langsung mengangkat tubuh Ten ke arah tempat tidur yang membuat si mungil refleks mengalungkan tangannya.
Selimut yang masih tertata rapih langsung ditarik oleh Johnny untuk menutupi tubuhnya dan Ten. Posisi tubuh mereka menempel layaknya stiker, dan suhu tubuh yang mereka hasilkan pada akhirnya dibagi untuk satu sama lain. Itu adalah opsi yang Johnny maksud untuk menghangatkan tubuh.
“Kayak gini, kita bisa tetap hangat.”
Johnny ini memang notabenenya tidak bisa diam, dan pada akhirnya punggung telanjang Ten menjadi korban kecupan-kecupan Johnny lagi, seakan lelaki itu bisa melakukan hal ini sampai esok pagi.
“Stop kissing my back.”
“Why? I like yours. Kamu wangi.”
“Why you don't kiss me instead?”
Mendengar itu Johnny menarik salah satu ujung bibirnya. Mendekatkan wajahnya dengan Ten dan melanjutkan cumbuan nikmat mereka yang sempat terpotong tadi.
Kisah asmara dua anak Adam baru saja dimulai, mereka tidak akan rela melepas satu sama lain jika begini.
“Besok temenin aku beli sama hias pohon Natal ya?”
“Sure.”
“Dari dulu aku selalu pengen hias pohon Natal bareng kesayangan aku. And now, aku punya kamu.”
Ngebosenin ya? Maaf kepanjangan T_T