All I Ask • Chenji 🔞
⚠️ Content Warning ⚠️ bxb nsfw mature baku angst
Chenle berada di dalam kamarnya, bersiap dengan pakaian formalnya, dari atas hingga bawah semua barang-barang itu ber merk, cukup biasa untuk seorang Zhong Chenle.
Baba meminta Chenle memakai pakaian formal malam ini. Chenle sudah menebaknya, pasti babanya mengundang kolega kantornya maupun seorang yang penting sehingga Chenle diharuskan memakai setelan seperti ini.
“Huft...” Chenle sudah terbiasa dengan ini. Makan malam, mengobrol ringan, dan yang Chenle lakukan hanyalah duduk dan bersikap sopan didepan orang-orang tersebut.
“Semoga aku bisa kabur ditengah-tengah obrolan mereka.” Monolog Chenle seraya merapikan sedikit bagian kerah kemejanya.
“Mengapa aku harus bergabung dengan mereka. Aku bisa saja melakukan kegaduhan disana jika aku mau. Aku akan melakukannya jika bukan karena semua aset komunikasi ku akan disita.”
Chenle meratapi nasibnya yang kurang bahagia ini. Terlahir di keluarga kaya raya dengan harta melimpah bukanlah suatu hal yang spesial bagi Chenle.
Jika bisa memilih keluarga seperti ini atau keluarga sederhana yang tak memiliki aturan ruwet, Chenle akan senantiasa memilih pilihan kedua.
Chenle benar-benar akan keluar saja dari jendela kamarnya, dan pergi menemui sahabatnya untuk menghabiskan waktu bersama—jika salah satu pelayan tidak memanggil Chenle untuk segera keluar karena baba dan mamanya tengah menunggu di ruang makan.
“Ck. Aish, benar-benar!” Dengan perasaan jengkel, Chenle keluar dari kamarnya menuju ruangan tempat dimana kedua orangtuanya sudah menunggu.
Chenle duduk di kursi dengan ukiran cina klasik itu dengan wajah datar berusaha tidak membuat orangtuanya lebih mengaturnya.
“Zhong Chenle, bersikaplah baik, jangan membuat baba malu.” Ucap baba Chenle pada anaknya yang duduk dengan pikiran yang entah kemana.
Tak lama, terlihat tiga orang yang masuk kedalam ruang makan itu, satu pria dan dua wanita. Baba dan mama Chenle langsung menyambut mereka dengan ramah, tetapi tidak dengan sang tuan muda.
“Chenle, rupanya kau sudah besar sekarang.” Ucap pria yang kini duduk di hadapan babanya.
Chenle hanya mengangguk dan tersenyum canggung. Chenle bahkan tidak mengenal orang ini, bagaimana caranya merespon ucapan pria tersebut?
Menurut Chenle, pria itu sok kenal, seakan sudah kenal Chenle sejak lama. Tetapi Chenle tidak punya ingatan bahwa ia pernah bertemu dengan orang ini.
“Orang aneh.”
Dan wanita di sebelah pria sok kenal itu, Chenle tebak pasti itu adalah istrinya, dan perempuan disebelahnya lagu, hmm... Itu pasti anaknya. Terlihat masih muda, seumuran dengan Chenle.
Tidak tertarik dengan topik obrolan, Chenle lebih memilih melahap habis makan malamnya tanpa mengeluarkan suara selain mengunyah dan menyendok.
Chenle merasa, perempuan yang duduk di hadapannya itu sedari tadi memperhatikannya—Chenle merasa risih dan ingin segera komplen.
“Bisa kah kau jaga matamu itu? Aku tidak suka diperhatikan oleh orang asing!” Gumam Chenle dalam hati
“Chenle.”
Chenle ingin segera pergi dari orang-orang ini. Waktu berharganya terbuang sia-sia untuk mendengarkan obrolan yang tidak ia mengerti.
“Bahkan berdiam diri di toilet akan jauh lebih baik daripada duduk dengan orang-orang ini.”
“ZHONG CHENLE.” Untuk kedua kalinya, baba Chenle memanggil anaknya yang sedang melamun itu. Baba Chenle adalah tipe orang yang tidak suka memanggil orang berkali-kali.
“Ya.”
“Cobalah untuk berkenalan dengan gadis dihadapanmu.”
“Nǐ hǎo, aku Chenle, senang bisa melihatmu.”
“Aku tidak senang melihatmu. Bisakah kau dan kedua orangtumu beranjak dari tempat ini? Aku ingin bermain game dikamarku.”
“Nǐ hǎo, aku Ningning, senang bisa berkenalan denganmu.” Ucap gadis itu dengan senyuman ramah.
“Cih, bahkan senyumanku jauh lebih manis darimu.” Chenle memutar bola matanya malas.
“Kami sebenarnya sudah lama membicarakan ini.” Semua orang menoleh pada baba Chenle, kecuali Chenle yang lebih asik memainkan jari-jarinya.
“Aku akan menjodohkan Chenle dengan Ningning.” Mendengar itu, Chenle langsung menoleh cepat dengan kedua alis yang dikerutkan.
“Apa maksud baba?”
“Dijodohkan. Apakah itu kurang jelas?”
“Aku dan babamu sudah membicarakan hal ini sejak lama. Kami berdua sepakat untuk menjodohkan kalian, aku tidak keberatan memberikan putriku padamu.”
“Tapi aku keberatan.” Ujar Chenle menatap tajam pada ayah Ningning.
“Ningning sudah lama suka padamu, aku memperbolehkannya untuk mendekatimu.”
“Ck, berani-beraninya perempuan sialan itu menyukaiku. Sepertinya aku harus mengatakannya sekarang.” Chenle bangun dari kursinya yang membuat semua orang menaruh pandangan padanya.
“Aku memang belum pernah mengatakan ini, tetapi aku akan jujur dihadapan kalian semua sekarang. Dari awal, aku tidak memiliki ketertarikan pada perempuan manapun, aku kira itu normal tetapi sampai aku menyadari bahwa aku tidak menyukai perempuan.”
Mama Chenle, mama Ningning, dan Ningning terkejut bukan main.
“Dan kau,” chenle menunjuk kearah Ningning. “Aku tidak memiliki ketertarikan dengan gadis sepertimu. Tak peduli apakah kau seorang gadis populer maupun prom queen disekolahmu, aku tetap tidak akan pernah menyukaimu.”
“ZHONG CHENLE!”
“APAKAH BABA BISA MENGERTI AKU SEKALI SAJA?!” Chenle meninggikan suaranya dan menatap tajam pada babanya.
“Berani-beraninya kau berbicara seperti itu dihadapanku! Apakah ini semua karena ulah si Park Jisung itu?!” Baba Chenle memundurkan kursinya lalu berdiri.
“B-bagaimana...”
“Chenle, dengarkan paman...” Kini ayah Ningning membuka suara. “Kami berdua sudah lama tau tentang hal itu. Itulah mengapa aku mengijinkanmu untuk menikahi anakku. Menjadi gay adalah suatu penyakit yang harus disembuhkan. Putriku akan membantu mu sembuh dari penyakit ini, bukankah begitu nak?”
“I-iya...” Ningning mengangguk perlahan.
“Penyakit? Penyakit katamu?! Bahkan aku tidak tau mengapa Tuhan memberikan ku hal yang kau bilang “penyakit” itu. Aku bahkan tidak pernah berharap dilahirkan ke dunia jika memang orang-orang tidak bisa memberikan respect sedikitpun padaku!”
Suasana semakin menegang dengan ketiga lelaki yang saling adu mulut.
“Hei, aku bahkan pihak bawah yang mendesah, kau yakin masih ingin denganku?” Chenle tersenyum remeh seraya menatap Ningning.
“Hentikan hubungan tidak sehatmu dengan Park Jisung itu jika kau ingin tetap berada di keluarga ini.”
“MENGAPA BABA TIDAK MENELANTARKANKU SAAT KAU TAU BAHWA AKU INI SEORANG GAY?!” Chenle benar-benar meluapkan emosinya disana.
“Itu karena kami sayang dengamu, Chenle...”
“JIKA KALIAN SAYANG DENGANKU TUNJUKANLAH! KALIAN MALAH MENYURUHKU MENIKAH DENGAN GADIS SIALAN ITU!”
“ZHONG CHENLE, JAGA UCAPANMU!”
“APAKAH BABA DAN MAMA PERNAH BERTANYA SEKALI SAJA APA YANG AKU SUKA?! APAKAH BABA DAN MAMA PERNAH MENEMANIKU DISAAT KEADAAN KU TERPURUK?! KEMANA SAJA KALIAN SAAT ITU HAH?!”
Ruangan itu kini dipenuhi oleh suara mereka. Para wanita lebih memilih untuk diam karena keadaan disini semakin melonjak naik.
“C-chenle ge...”
“DIAM KAU!” Chenle menatap Ningning dengan tajam seraya menunjuk tepat di matanya.
“Ohh... Disaat baba mengetahui bahwa anakmu ini seorang gay, itu mengapa kau langsung menjodohkanku dengan perempuan yang bahkan tidak kukenal ini. Kalian tidak sayang padaku, kalian hanya peduli dengan reputasi dan image keluarga, tidak pernah ada yang namanya kasih sayang di rumah ini!”
Chenle melangkahkan kakinya pergi dari depan meja makan itu. Ia menuju pintu keluar rumah, ia tidak ingin berurusan dengan orang-orang ini.
Chenle sudah lelah dengan semuanya. Jika orangtuanya membiarkan ia pergi, Chenle tidak keberatan. Ia bisa tinggal dimana pun, Chenle memiliki banyak kenalan. Sekarang yang Chenle lakukan hanyalah pergi dari sini.
“ZHONG CHENLE!”
GREP
Baba Chenle menahan lengan Chenle yang hendak pergi dari rumah. “Kemana kau pikir kau akan pergi hah?! Apakah kau ingin menjadi gelandangan diluar sana?!”
“Lebih baik menjadi gelandangan dan hidup bebas daripada mendekap didalam rumah ini yang mati pengertian!”
“Jangan melawan baba!”
“Aku tidak akan melawan jika baba memiliki toleransi sedikit saja!”
“Keluarga ini hanya boleh memiliki keturunan berdarah Cina murni. Kau tidak boleh memiliki hubungan seperti itu dengan yang lain, apalagi seorang laki-laki!”
“DIA SEORANG LAKI-LAKI TETAPI IA SELALU ADA UNTUKKU!”
“APAKAH DIA YANG MEMBERIKANMU FASILITAS, HUH? APAKAH IA YANG AKAN MEMBERIKANMU WARISAN DAN JAMINAN MASA DEPAN?!” Mama Chenle menghampiri suami dan anaknya yang dilanda percekcokan lagi.
“DIA MEMANG TIDAK SEPERTIMU! SETIDAKNYA IA MEMBERIKANKU SEGALA SESUATU YANG TIDAK PERNAH BABA DAN MAMA BERIKAN!”
Chenle melepaskan genggaman tangan babanya, lalu membuka pintu untuk segera keluar.
“Aku bisa melenyapkan Park Jisung mu itu.” Omongan babanya membuat Chenle mengentikan langkah.
“Aku bahkan tau semua informasi tentang dirinya. Tidak terlalu menarik, hanya anak miskin yang tinggal dirumah kecil peninggalan kedua orangtuanya. Dengan mudah aku bisa memanggil para bawahanku untuk melenyapkannya bahkan hingga anak itu seakan lenyap ditelan bumi.”
Kini Chenle menoleh pada babanya.
“Dia bukan siapa-siapa, tidak akan sulit menghilangkan jejak kehidupan anak itu.” Baru kali ini Chenle mendengar babanya berbicara seperti itu.
Chenle bahkan tidak mengenali orang dihadapannya ini, Chenle hanya melihat seseorang yang menunjukkan sisi psikopat nya.
“Bagaimana?” Babanya berjalan mendekat. “Turuti semuanya atau kehilangan Park Jisung kesayanganmu selamanya?”
Chenle menunduk memejamkan matanya. Ia tidak bisa membayangkan jika Jisung menghilang selamanya.
Chenle tidak melihat sedikitpun kebohongan di mata babanya. Omongan lelaki itu tampak tidak main-main, Chenle tidak ingin terlibat dengan semua ini dan malah menjadi korban.
“Baiklah...” Chenle sadar bahwa ia sedang mengambil keputusan besar. “Aku akan mengikuti apapun keinginanmu tetapi jangan sedikitpun kau lukai Jisung.”
“Bagus... Sekarang kembali ke kursimu.”
“Dengan satu permintaan terakhir.” Baba Chenle yang sudah berbalik kini menatap Chenle .
“Biarkan aku bertemu dengannya untuk terakhir kali, aku akan kembali besok.” Chenle mengepalkan tangannya hingga bergetar.
“Ini permintaan terakhirku, setelah ini aku tidak menuntut apapun lagi darimu.” Ucap Chenle final.
Chenle keluar melewati pintu besar itu, dan menutupnya dengan kasar sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.
Chenle keluar menjauh dari lingkungan tempat tinggalnya. Tujuannya kini hanya satu, bertemu dengan Jisung.
Chenle membuka ponselnya, dilihat baterai nya hanya tinggal beberapa persen lagi. Chenle mengetik pesan pada Jisung, bahkan ia mengirimkan pesan spam agar lelaki itu membacanya.
Chenle akhirnya mencari kontak Jisung dan langsung meneleponnya. Sudah beberapa kali, tapi lelaki itu tetap tidak mengangkat telepon Chenle.
“Jisung-ah, tolong angkat teleponnya.” Chenle berjalan hingga menuju halte bus yang terletak tak jauh dari tempatnya sekarang.
“Sial.” Saat sedang melakukan panggilan keempat, ponsel pintar milih Chenle malah mati. “Sial! Sial! Sial! Hari ini aku sangat sial!” Chenle mengusap wajahnya frustasi.
Chenle benar-benar tidak tau harus apa sekarang. Ia tidak tau Jisung sedang berada dimana. Tanpa komunikasi yang jelas, tentu ia tidak dapat menemukan Jisung.
Saat sedang dilanda keputusasaan, Chenle merogoh saku celananya. Ia merasakan tekstur keras lalu langsung mengeluarkannya.
Ternyata itu adalah dua buah koin yang kebetulan berada disana. Chenle menatap sekitarnya. Hanya ada dirinya, jalanan sepi halte bus, dan sebuah telepon umum.
Telepon umum.
Yak betul sekali!
Tanpa berpikir panjang, Chenle langsung berjalan kearah telepon umum itu dan memasukkan sebuah koin lalu menekan nomor Jisung.
Tut...Tut...
Percobaan pertama tetap sama. Jisung tidak mengangkat telepon Chenle. Kini hanya ada koin terakhir di sakunya, harapan terakhir Chenle untuk bertemu seseorang yang sangat ia sayangi.
“Jisung-ah, kumohon jawab aku...” Chenle berharap di lubuk hati paling dalamnya. Ia berdoa agar lelaki berdarah Korea itu menjawab panggilan terakhirnya.
“Halo?” Saat sedang memejamkan matanya dengan telepon di tangannya, Chenle mendengar suara briton tepat di telinganya.
“J-jisung...”
“Chenle? Apakah ini Chenle?”
“Ya Jisung! Ini aku Chenle!”
“Apakah kau memakai telepon umum?”
“Ya, dan aku tidak punya waktu banyak. Sekarang dimana dirimu?”
“Aku baru selesai bekerja.”
“Aku akan menyusulmu.”
“Tidak, jangan, dimana kau? Aku akan menjemputmu.”
“Halte bus dekat rumahku...”
“Baiklah tunggu disana, jangan kemana-mana. Aku akan sampai beberapa menit lagi.”
“Jisung-ah...”
“Ya?”
“Hati-hati...”
“Tentu saja, tunggu aku Chenle-ya...”
Tut
Sambungan telepon diputus oleh Jisung. Chenle meletakkan kembali telepon itu pada tempatnya dan duduk di bangku halte menunggu Jisung datang.
Berselang beberapa menit setelahnya, seseorang yang mengendarai motor berhenti tepat di depan halte. “Chenle-ya, ayo.” Jisung membuka helmnya dan menyuruh Chenle naik.
“Pakai ini.” Jisung memakaikan helm nya pada Chenle. Ia ingin memastikan agar Chenle terlindungi sampai tujuan.
“Ayo pulang Jisung-ah...”
“Bukannya ini dekat rumahmu?”
“Maksudku pulang ke tempatmu.” Chenle melingkarkan lengannya di perut Jisung, kepalanya ia senderkan nyaman ke punggung sang lelaki berdarah Korea itu.
Mereka berdua kini berada di rumah Jisung—lebih tepatnya rumah peninggalan orang tua Jisung. Jisung tinggal dan memenuhi kehidupan sendiri. Kadang Chenle akan menemaninya dirunah.
Sedari tadi pemuda Cina ini tidak melepaskan tautan tangannya dengan Jisung seakan jika tautan itu terlepas, ia akan kehilangan Jisung selamanya.
“Chenle-ya...” Setelah menghidupkan lampu rumahnya, Jisung menatap Chenle yang sedang menunduk itu.
“Hiks...”
“C-chenle...” Jisung meletakkan tas ranselnya diatas sofa. “Hei, jangan menangis...” Kini tangan besar Jisung menopang dagu si mungil.
“Aku tidak mau berpisah dengamu, hiks...” Setiap mengingat fakta bahwa ia akan berpisah dengan Jisung, Chenle merasa sangat sesak hingga air matanya tak mampu ia bendungi lagi.
“Mengapa mereka sangat jahat Jisung-ah?” Mendengar Chenle yang terus terisak dengan keadaan seperti ini, Jisung mengalungkan kedua tangan dan kaki Chenle di pinggangnya lalu membawa lelaki manis itu menuju kamarnya.
“Katakan padaku apa yang terjadi Chenle-ya...” Jisung benar-benar tidak tau apa yang terjadi dengan Chenle. Kini Jisung duduk diatas kasurnya dengan Chenle yang masih setia dengan isakannya.
“Sejahat itukah takdir hingga ia juga merenggut satu-satunya kebahagiaanku?”
Jisung mengusap surai hitam Chenle berusaha menenangkan si mungil di pelukannya. Jisung siap mendengar semua keluhan Chenle malam ini.
“Apa mungkin mereka yang paling jahat sehingga menghalangi takdir yang sebenarnya ada di depan mata?”
“Chenle-ya... Kita hanya manusia yang menjalani hidup. Tuhan memiliki rencananya sendiri, takdir itu tidak bisa ditebak.”
“Setidaknya jika mereka memiliki sedikit respect kepadaku, mungkin kita bisa menikmati hari demi hari hingga rambut kita berdua memutih.”
“Apa maksudmu?”
“Baru saja aku dijodohkan dengan perempuan yang bahkan tidak aku kenal hiks... Mereka tau semua tentangmu, dan aku tidak mau kau terseret ke dalam semua ini Jisung-ah! Hiks...” Air mata Chenle semakin deras dan ia semakin mengeratkan pelukannya.
“Aku benci mereka! Aku benci semua orang! Aku benci semuanya! Aku hanya menyayangi dirimu! Aku hanya ingin itu, aku tidak meminta hal lain selain dirimu!”
“Chenle-ya... Kau tidak seharusnya seperti itu...”
Hubungan Chenle dan Jisung memang hanya sekedar teman—tidak, sahabat, mereka terlalu dekat untuk disebut sebagai sepasang teman.
Dua tahun lamanya mereka melakukan hubungan sebagai best friend with benefits. Disaat Chenle muak dengan rumahnya, ia akan pergi pada Jisung.
“Hiks... Besok mereka akan mengirimku kembali ke Cina. Mereka akan menikahkan ku dengan gadis itu. Aku tidak mau, Park Jisung! Aku tidak mau! Hiks...”
“Chenle-ya... Setidaknya dengarkan apa kata orangtuamu...”
“Aku sudah melakukan semuanya yang mereka inginkan! Mereka tidak pernah membiarkan aku bahagia, mereka hanya peduli dengan harta, tahta, dan reputasi. Mereka tidak pernah menyayangiku hiks...”
Jisung membalas pelukan Chenle. Ia juga merasa tidak rela jika kehilangan sahabat satu-satunya itu. Tetapi Jisung melakukan apa yang harus ia lakukan.
Katakan Jisung munafik. Ia ingin bersama dengan pemuda mungil ini selamanya walaupun tidak ada jaminan. Jisung tidak bisa memaksa keinginannya itu.
“Jisung-ah...”
“Hm?”
“Aku ingin melakukannya.”
“A-apa...”
“Untuk malam ini... Aku hanya ingin bersamamu...”
Chenle menyatukan kedua belah bibirnya pada bibir Jisung. Tak hanya menempel, ia langsung melumatnya lembut.
Jisung yang mendapatkan pergerakan tiba-tiba tentunya tak tinggal diam. Ia langsung membalas lumatan bibir Chenle. Bibir manis yang sudah menjadi candu Jisung setiap kali ia menyesapnya.
Chenle melepaskan jas hitam ber merk nya itu dan membuangnya ke sembarang arah. Tangannya mengalung indah di leher Jisung, tangannya mengelus sensual tengkuk Jisung.
Ciuman mereka semakin memanas kala Jisung melumat bibir yang terasa manis itu dengan kasar dan mencoba memasukkan lidahnya.
Tentu Chenle memberikan akses bagi Jisung untuk mengabsen deretan giginya. Jisung juga menyesap lidah Chenle hingga pemuda Cina itu menjambak rambut brunette Jisung untuk menyalurkan rasa nikmatnya.
“Eunghhh... Jisungie...” Chenle membuka sleting jaket Jisung dan membuka jaket yang selalu menemani lelaki jangkung itu setiap pulang kerja.
“I just want you for tonight, Mr. Park...”
“My pleasure, Mr. Zhong...” Jisung membuka kancing kemeja Chenle yang memperlihatkan leher serta dada mulusnya.
Lidah Chenle dan Jisung bergulat hingga air liur mereka tercampur, tercipta benang saliva diantara keduanya, hingga mengalir di ujung bibir Chenle—entah itu sudah punya siapa.
Chenle memukul-mukul dada Jisung kala merasa pasokan oksigennya sudah habis. Jisung melepaskan tautan mereka dan langsung beralih ke leher jenjang Chenle.
“Mhhhh... Jisungie~” Chenle mendorong kepala Jisung seakan meminta lebih. Saat Jisung menyesap, menjilat, dan mengigit kecil leher itu menyisakan tanda ruam kemerahan.
“Buatlah sesuka hatimu, buatlah sebanyak mungkin.” Ucap Chenle yang meminta Jisung agar membuat tanda cinta lebih banyak.
Cinta?
“Jisungie...”
“Hm?” Jawab Jisung tanpa mendongakkan kepalanya dan tetap fokus membuat karya seni di leher serta dada Chenle.
“Ini terlalu telat untuk mengatakannya.”
“Aku mendengarkanmu.”
“Bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku mencintaimu?”
Jisung menghentikan kegiatannya sejenak. Ia menatap tanda-tanda yang telah ia buat memenuhi kulit putih itu.
Jisung mendongakkan wajahnya menatap Chenle yang juga sedang menatap lekat pada iris nya.
“Kau tau hubungan antara kita hanya sekedar friends with benefit? Kau mengatakannya, apakah kau tidak takut akan jatuh terlalu dalam?” Tanya Jisung.
“Pada akhirnya kau akan bertemu seseorang yang akan menjadi pendampingmu seumur hidup, aku disini hanyalah orang yang menemanimu sejenak.”
“Pada akhirnya... Cepat atau lambat, kita akan berpisah. Bukankah aku sudah pernah mengatakannya?” Jisung menyeka air mata Chenle yang mulai membasahi pipinya.
“Maafkan aku sudah membuatmu menangis lagi.”
“Aku mencintaimu Jisung-ah... Hiks...”
“Aku juga...” Ucap Jisung pelan tetapi Chenle masih bisa mendengar kata-kata itu.
“Aku mendengarmu. Aku ingin melawan takdir bersamamu, tapi aku juga tidak mau kau terseret kedalam semua ini.”
“Aku sudah terseret, Zhong Chenle, dan aku tidak keberatan selama itu kau.” Jisung mengusap puncak kepala Chenle.
“Mereka akan menyakitimu jika aku tidak menuruti kata-kata baba.”
“Semua terserah padamu. Aku tidak peduli jika mereka melakukan itu.”
“TAPI AKU PEDULI, JISUNG-AH!” Mata Chenle kembali memanas.
Jisung menyadari betapa pemuda Cina itu menyayanginya. Jisung pun juga tak kalan sayang dengan si mungil ini.
“Baiklah-baiklah... maafkan aku, nee?...”
Chup
Chenle mendaratkan bibirnya diatas bibir Jisung. Mereka kembali melakukan ciuman panas.
Jisung mengelus punggung mulus Chenle dengan sensual, sedangkan si lelaki manis membuka kancing baju Jisung hingga memperlihatkan tubuh atletisnya.
Jisung langsung membawa Chenle keatas ranjangnya dan merebahkan lelaki Cina itu dengan perlahan.
“Sebentar, aku akan mengambilnya.”
“Kita bisa melakukannya tanpa itu, dan jangan matikan lampu, aku ingin melihat wajahmu sepanjang malam.” Ujar Chenle sambil mengalungkan tangannya dan mengelus perut kotak-kotak Jisung yang terbentuk dengan alami.
Jisung menatap Chenle yang kini tengah berbaring dengan kedua tangan disisi kepalanya menatap dirinya dengan tatapan sayu.
Jisung tertarik dengan dua tonjolan yang sudah menegak di dada Chenle itu. Tidak tunggu lama, Jisung langsung meraup nipple Chenle untuk memberikan rangsangan lebih untuk si manis.
“Angghhh Jisunghh!...” Chenle mengerang nikmat disaat Jisung menghisap kuat nipple nya. Area sensitif seorang Zhong Chenle yang membuat libido nya semakin naik.
Jisung mengelus kenjantanan Chenle yang kian mengeras dibawah sana. Jisung membuka resleting celana Chenle lalu memijat penis yang masih terbalut dalaman tetapi sudah basah karena cairan pre cum nya.
“Jisung akhhh!... Chenle mendongakkan kepalanya daat Jisung memijat penisnya dan mulai mengocoknya dengan tempo lambat.
“Lebih cepat Jisung eunghhh.... Ngahhh....” Chenle sudah merasa melayang hanya dengan sentuhan tangan Jisung saja, bagaimana disaat kegiatan inti nanti?
“Aakhhhh Jisuuuuungghhhhh!...” Cairan putih Chenle mengotori tangan lelaki Korea itu. Jisung memijat-mijat kecil penis mungil itu, membiarkan Chenle menikmati pelepasannya.
Dengan cekatan, Chenle membuka celana Jisung serta dalamannya, mengeluarkan penis yang sudah menegang hebat itu, dan meremasnya.
“Chenle argghhh...“
“Cepat masuki aku, Ji...” Selain panggilan”Jisungie”, Jisung juga menyukai panggilan “Ji”.
Mendengar panggilan favoritnya, Jisung tentu langsung membuka bawahannya dan Chenle seluruhnya.
Dari sperma Chenle tadi, Jisung mengoleskannya pada hole Chenle sebagai pelumas. Jisung belum membeli lube karena baru saja habis dipakai beberapa hari yang lalu—dengan Chenle juga.
Jisung menaikkan kaki Chenle ke pundaknya, mengecup paha bagian dalam Chenle, tak lupa memberikan sedikit tanda disana.
“Jisungie... Anghhh.... Shhh...” Chenle semakin merasa pening dengan sentuhan-sentuhan memabukkan Jisung.
“Akhhh! Ngghhh...” Chenle semakin mendesah saat satu jari Jisung menerobos masuk hole nya. Tah hanya itu, Jisung menambah jari telunjuknya hingga ia melakukan gerakan menggunting.
Jisung ingin mempersiapkan lubang Chenle sebelum ia masuki oleh kejantanannya. Walaupun sudah sering ia masuki, Jisung selalu memastikan agar Chenle tidak terlalu kesakitan nantinya.
“Cepatlah Park Jisung!” Chenle tidak sabaran. Jisung selalu bercinta dengan perlahan untuk menikmati setiap lekukan tubuh Chenle.
“As you wish, Chenle-ya...” Jisung mengocok dan mengarahkan penisnya ke hole berkedut Chenle. Lubang Chenle selalu sempit setiap Jisung mencoba memasukinya.
“Ahhh-Jisungie ngghhh...” Chenle cukup merasa kesakitan saat kepala penis Jisung sudah memasuki lubangnya.
Jisung menatap bagaimana lubang Chenle mulai melahap penisnya itu. Tak ingin melihat Chenle yang terus kesakitan, Jisung memasukkan penisnya dengan sekali hentak.
“AKKKHHH PARK JISUNGHHHH! Angghhh mhhhh....” Jisung mengelus pinggang serta tengkuk Chenle yang sudah basah dengan keringat, menunggu Chenle agar terbiasa dengan penisnya.
“Bergeraklah Ji...” Mendapat izin, Jisung langsung menggerakkan pinggulnya dengan tempo pelan, merasakan betapa hangatnya lubang itu, dengan dinding rektum yang menjepit kejantanannya.
“Masih sempit Le...” Jisung meremas bongkahan sintal Chenle, sesekali menampar gemas saat ia menaikkan tempo genjotannya.
“Ngghhh!... Ahh! Akh! Mhhhh... Jisung-ah!” Chenle semakin meracau tidak karuan, Jisung sudah bergerak dengan liar sehingga tubuh Chenle berkali-kali terhentak.
Nipple menggemaskan Chenle tentunya tidak dianggurkan begitu saja oleh Jisung. Untuk membantu Chenle pelepasan, Jisung juga melakukan handjob pada penis mungil Chenle.
Chenle menggeleng dan terus mengerang tidak karuan. Ia tidak kuat dengan segala kenikmatan yang diberikan Jisung.
Chenle ingin mengeluarkan cairannya untuk kedua kalinya karena rangsangan berkali-kali lipat itu. Jisung membiarkan Chenle mengeluarkan cairan didalam sana.
“Jisung AKKKHHH!” Chenle sudah dua kali pelepasan, sedangkan Jisung masih setia menggenjot lubang hangat itu.
Chenle mengetatkan lubangnya agar pemuda berdarah Korea itu cepat mencapai ejakulasinya. “Chenle-ya, jangan diketatkan akhhh!”
Jisung merasakan miliknya semakin menggembung didalam sana menandakan ia akan menyemburkan cairan semennya beberapa saat lagi.
“Anghhh!... Aku ingin keluar lagi Ji! Mhhh... Ngaahh!...”
“Bersama, Chenle-ya...”
“Park Jisung Akkhhh!...”
“Chenle ahhh!...” Keduanya mencapai putihnya secara bersamaan. Chenle keluar mengenai perut Jisung sedangkan cairan Jisung tertampung di lubang Chenle, walaupun sedikit mengalir karena terlalu banyak.
“Eughhh...” Chenle masih merasa sensitif setelah pelepasannya itu. Ia dengan cepat menukar posisi menjadi diatas Jisung.
Chenle mulai menggerakkan tubuhnya naik turun. Ia meracau hebat karena Jisung bergerak dari arah berlawanan membuat penis Jisung menumbuk tepat di prostat Chenle.
“Akh! Ahh! Anghhhh.... Mhhhh!.... Jisungie ahhh....”
Jisung mengerang rendah saat penyatuan tubuh mereka terdengar jelas. Bahkan Jisung tak berniat berkedip, ia ingin terus melihat pemandangan panas dihadapannya ini.
Tanpa mengurangi tempo gerakannya, Chenle lagi-lagi mengeluarkan cairannya yang mengenai perut atletis Jisung.
Dengan cekatan, Jisung mengubah posisi Chenle jadi menungging, dan ia dibelakangnya menahan kedua lengan Chenle dibelakang punggung lelaki manis itu dan mulai menggerakkan pinggulnya secara brutal lagi.
“Jisung ahhh!... Ngghhh.... Jis—anghhh!... Ahh! Ahhh!”
Jisung menarik tengkuk Chenle dengan tangan besarnya agar menghadap ke cermin lemari di hadapan mereka. “Lihatlah kesana Chenle-ya...”
Chenle melihat wajahnya yang sudah merah padam, kedua mata yang sayu, mulut yang terbuka dan terus mendesahkan nama Jisung, tak lupa juga dengan tubuhnya yang dipenuhi hickey.
“Kau anak baik, Chenle-ya...”
“Terus Jisunghhh... Nghhh!... Ahhh! Anghh! Ahh!”
“Kau berhak mendapat yang lebih baik.” Jisung menahan pinggang Chenle agar lelaki itu tetap dalam keseimbangannya.
Plak
“Kau tau betapa berharganya dirimu, hm?”
“Jihhh.... Anghhh!... Mhhhh... Ngaaahh! Ahhh!”
“I don't deserve this, Chenle-ya...” Jisung meraih dagu Chenle, membawanya ke ciuman panas.
Mereka bercinta hampir empat jam lamanya. Tentunya karena Chenle yang memintanya. Jisung tau bahwa lelaki itu sudah lelah tetapi Chenle tetap saja meminta lagi dan lagi.
Entah sudah berapa ronde yang mereka lakukan, dan berapa gaya yang sudah mereka coba malam ini, semuanya tak terhitung.
Kini Chenle berbaring disebelah Jisung dengan rangkulan erat. Mereka menikmati saat-saat selesai bercinta seperti biasanya.
Yang membuat berbeda, malam ini adalah malam terakhir mereka bersama dan menghangatkan satu sama lain. Besok Chenle akan pulang ke Cina tak tau sampai berapa lama.
“Jisung-ah, aku tidak mau pergi...”
“Tapi kau harus...”
Chenle memeluk Jisung dengan erat, tidak ingin melepaskan pemuda itu begitu saja. Chenle tau ini adalah malam yang panjang, tapi terasa sangat singkat bagi mereka berdua.
Mereka selalu pillowtalk dan membicarakan hal-hal yang menyenangkan ataupun yang membuat mereka semakin dekat satu sama lain.
Tapi kini, mereka lebih banyak sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali Chenle manangis lagi saat mengingat hari esok akan datang.
This is my last night with you.
Hold me like I'm more than just a friend.
“Bolehkah aku mencintaimu lebih dari sekedar sahabat maupun friends with benefit, Jisungie?”
“Aku juga mencintaimu lebih dari yang kau kira, Zhong Chenle. Aku tau kita terlalu terlambat menguapkannya, tetapi ini lebih baik daripada kita terjatuh lebih dalam.”
Jisung membuka laci nakas disebelah tempat tidurnya. Ia mengeluarkan sebuah gelang dan memakaikannya pada Chenle.
“Apa ini, Ji?”
“Aku membuatnya sendiri saat di tempat kerja. Maafkan aku karena hanya bisa memberikan ini, aku harap kau menyukainya.”
“Tentu saja Ji, aku akan menjaganya seperti halnya kau menjagaku.”
“Kau sempurna, Zhong Chenle...”
Jisung terbangun saat cahaya matahari tampa permisi memasuki jendela kamarnya. Tangannya terasa kosong, ranjangnya terasa sejuk, hanya ada dirinya disana.
Jisung mengingat semua hal yang terjadi tadi malam. Ia menyadari bahwa semuanya benar-benar terjadi.
Hari ini dirinya merasa sepi, kosong, seperti ada yang kurang. Setiap pagi setelah malam yang panas, ia akan bangun dengan seseorang berwajah malaikat yang terlelap disebelahnya.
Kini hanya terlihat seprai kusut tanda seseorang berada disana sebelumnya. Jisung meraba bagian itu, mengingat Chenle yang selalu bangun dengan keadaan tersenyum.
Kamar Jisung Jisung memanglah bukanlah tempat pertama kali mereka menghabiskan malam bersama, tetapi menjadi tempat terakhir sekaligus saksi bisu kedua anak adam yang malang ini
Jisung melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya berada diatas meja nakas. Jisung meraih secarik kertas putih itu, dan sebuah cincin diatasnya.
“Jisungie, ini aku, Chenle. Aku minta maaf karena tidak bisa mengucapkan selamat tinggal pagi ini. Aku bangun lebih dulu, dan kau masih terlelap berada di alam mimpimu. Maafkan aku yang tidak mampu mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya karena hatiku terlalu lemah untuk itu. Aku harap kau menjalani hari-harimu lebih baik dari sebelumnya. Tetaplah tersenyum dan berjuang, aku selalu ada disini mendoakan kebahagianmu.”
“Aku mencintaimu, Park Jisung.”
Jisung melihat ada tulisan kecil di ujung kertas tersebut.
“Aku masih ingin berharap satu harapan terakhir. Semoga kita masih bisa bertemu lain waktu. Tolong jangan lupakan aku, nee?”
Jisung menatap jendela berhordeng dihadapannya sambil menggenggam cincin Chenle ditangannya.
Tentu sinar matahari itu tidak sebanding dengan pancaran sinar senyuman manis pemuda Cina itu saat pagi hari.
Jisung sudah merindukannya—Zhong Chenle.
Ia menenggelamkan wajahnya diantara tangan dan lututnya yang ditekuk. Jisung tidak bisa berbohong bahwa sebenarnya ia tak kalah lemahnya dari Chenle—bahkan mungkin lebih lemah.
Walaupun notabenenya Chenle beberapa bulan lebih tua dari Jisung, ia tidak ingin Chenle melihat sisi kelemahannya.
Jisung lebih memilih merengkuh, memeluk lelaki yang lebih mungil itu semalaman hingga ia melepaskan seluruh isi hatinya pagi ini.
Jisung akhirnya kembali ke seharian nya menjadi lelaki kesepian yang hidup di Seoul.
“Thank you for give me the memory I can use, Chenle-ya...”
[ Fin . ]